Sabtu 30 Aug 2014 21:00 WIB

Pesan Bagi Calon Haji

Red: operator

Mulai 1 September 2014, para calon jamaah haji (calhaj) Indonesia akan mulai diterbangkan dari seluruh embarkasi. Harapan mereka para calon haji itu, adalah ingin menjadi haji yang mabrur, diterima Allah SWT.

Ada banyak `iming-iming' untuk para calhaj. Mulai al-Hajju al-mabrur laisa lahu al-jaza' illa al-Janah(haji mabrur tiada balasan kecuali surga), ongkos naik haji sama dengan ongkos berjihad di jalan Allah. Satu dirham akan diganti dengan 700 kali lipat, dan lainnya.

Dengan harapan itu, banyak masyarakat Muslim, termasuk di Indonesia, yang berlomba-lomba (fastabiqul khairat) untuk menunaikan ibadah haji. Tidak seperti minatnya orang-orang dalam ibadah yang lain seperti untuk zakat, sedekah, dan infak, yang terkesan masih ogah-ogahan.

Sehingga, walaupun sejak 1998 sam pai sekarang Indonesia masih dilanda krisis, namun jumlah orang yang ingin menunaikan haji menurut data statistik makin bertambah. Bahkan, hingga 15 tahun ke depan.

Terkait hal ini, pemerintah sebenarnya sudah berupaya untuk mengajukan penambahan kuota haji, namun belum dikabulkan Pemerintah Arab Saudi. Kondisi ini, di satu sisi cukup mem banggakan karena semangat beribadah haji Muslim Indonesia sangat tinggi.

Namun, pada sisi yang lain sangat memprihatinkan, karena bertambahnya jumlah hujjaj(mereka yang sudah haji) belum memberikan implikasi positif terhadap perubahan perilaku dan kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik.

Padahal, menurut Imam Hasan dalam kitab Minahus Saniyah, ciri haji mabrur adalah setelah berhaji, perilaku mereka dalam kezuhudan dunia (kepekaan sosial) dan amal keakhiratan makin bertambah.

Titel sosial Di Indonesia sudah menjadi tradisi sosial bahwa setiap orang yang telah menunaikan ibadah haji, namanya ditam bah dengan haji atau hajjah. Mengapa ketika ada orang yang rajin melaksanakan ibadah shalat, namanya tidak ditambah gelar Mushalli?Mengapa tidak disebut Muzakki, ketika ia selalu berzakat, atau shaim bagi yang rajin berpuasa.

Padahal, pada zaman Rasulullah, pa ra sahabat dan tabiin, tidak ditemukan adanya tambahan gelar (nama atau panggilan) haji atau hajjah bagi yang sudah berhaji. Sebab, gelar itu bisa me rusak ketulusan niat ibadah haji (riya)yang bisa menghapus pahala ibadah.

(Lihat Abdul Wahab al-Sya'rany dalam kitab Minahus Saniyah).Pada dasarnya, titel haji dapat men jadi bagian dari legitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang. Namun, mampukah ia menjaga dan merawat titel itu?Nabi Muhammad SAW bersabda, "Allah tidak melihat (kualitas iman) kamu sekalian dari pakaian dan titel (gelar), tetapi dari keimanan yang ada dalam hati kamu sekalian."

Ibadah haji pada dasarnya sama dengan ibadah lainnya seperti shalat, puasa, dan zakat, yakni sebagai fondasi agama (rukun Islam). Semua mempunyai misi yang sama yakni terakumulasi dalam ajaran yang selalu responsif terhadap sosial kemanusiaan (antroposentris).

Persentasi ibadah haji hanya 25 persen dari ajaran Islam, dan itu pun sebagai tiang fondasi, belum pada subtansi ajarannya. Namun demikian, di masyarakat Muslim Indonesia terkesan ibadah haji adalah ibadah prioritas dan prestige. Ibadah haji dianggap mampu mengangkat citra sosial.

Walaupun realitasnya, masih ada orang yang sudah berhaji, tapi shalat atau zakat atau puasa wajibnya belum berjalan dengan baik. Ini merupakan akibat dari pemahaman terhadap agama yang terlalu ritualistik simbolis--hanya menekankan pada aspek ritual ibadah mahdah tanpa diimbangi secara proporsional kontekstual subtantifdari de mensi sosial keagamaan yakni nilai-nilai kemanusiaan (humanistic).

Karena pada dasarnya, haji merupakan ibadah dalam rangka pelatihan bagi manusia untuk membangun kesalehan sosial. Menurut Ali Shariati, ibadah haji sebenarnya harus penuh dengan semangat kemanusian yang anggun dan mendasar dengan simbol-simbol yang ada pada ritual ibadah haji.

Hal ini dapat dilihat dalam acara-acara ritualnya, kewajiban-kewajiban atau larangan-larangannya. Seperti, ditanggalkannya pakaian keseharian seraya menggunakan pakaian ihram yang sederhana. Ini merupakan simbol yang berfungsi menanamkan moral dan perilaku dengan membuang sekat kaya miskin, ningrat-jelata, penguasa-rakyat, dan status sosial lainnya. Egoisme ke"aku"an lebur dalam ke"kita"an, kebersamaan dan kesamaan hanya kepada Allah (lihat Alquran [2]: 196, [24]: 42, [22]: 27).

Di samping itu, Nabi Muhammad SAW pada haji wada' (perpisahan), menekankan pentingnya persamaan, mengharuskan memelihara jiwa, harta, dan penghormatan orang lain, serta larangan menindas kaum lemah baik dalam bidang ekonomi maupun bidang lainnya.

Ukuran kemabruran haji

Jacob Vredenbregt pernah melakukan penelitian perilaku jamaah haji Indoesia. Salah satu temuannya, sebagian masyarakat memandang haji sebagai ritus kehidupan dan transisi pada status baru dengan mempertegas memakai nama baru atau penambahan nama dari Makkah.

Sebagaimana perilaku kelompok santri, menurut klasifikasi Clifford Geerts, ibadah haji merupakan penutup ideal setelah pendidikan di pesantren sekaligus upaya mengakhiri masa remajanya (baca Dick Douwes dan Nico Kaptein dalam buku Indonesia dan Haji).

Namun, tetap saja ukuran kemabruran haji tidak dilihat dari gelar haji yang disandangnya, tetapi dari aktualisasi simbol-simbol humanistic(kemanusiaan) dalam perwujudan sikap dan tingkah laku sehari-hari (Quraish Shihab: 215).

Jika sifat-sifat kemanusiaan itu tidak meningkat secara kualitatif-kuantitatif, atau sebaliknya makin angkuh, sombong, dan membanggakan diri, tentu semua pengorbanannya selama berhaji menjadi sia-sia di hadapan Allah dan manusia. Jika demikian, apakah ia akan disebut haji mardud (tertolak), atau mabrur (haji yang diterima).

Semoga calhaj Indonesia 2014 menjadi haji mabrur dan umrah yang mab rurah, sehingga dapat menjadi spirit untuk pengawal pemerintahan Indonesia yang baru ini. Amiin. Wallahu a'lam.

AHMAD IZZUDDIN MAG

Kepala Sudit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat Kemenag RI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement