Sabtu 30 Aug 2014 21:49 WIB
tajuk

Menimbang Kenaikan BBM

Red: operator

Sejumlah warga masyarakat resah. Penyebabnya tak lain karena munculnya isu soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)bersubsidi. Akibat isu itu, sejumlah pihak pun kemudian membeli BBM tanpa kendali, walau persediaan terbatas karena distribusi BBM sempat dikendalikan demi mencegah jebolnya persediaan BBM.

Dampaknya, antrean warga untuk membeli BBM pun mengular.Tak cukup sehari, dua hari, tetapi hingga beberapa hari. Bahkan, sejumlah warga rela tidur di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) demi mendapatkan BBM bersubsidi. Karena kesulitan mendapatkan BBM bersubsidi, sejumlah warga pun menjerit. Petani kesulitan mengairi sawah dengan menggunakan mesin. Nelayan tak bisa melaut karena tak adanya BBM.

Khawatir menimbulkan dampak yang tidak baik, pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung meminta Pertamina untuk menghentikan kebijakan pengendalian distribusi BBM bersubsidi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)Jero Wacik pun turun tangan untuk menegaskan kepada masyarakat bahwa persediaan BBM cukup, sehingga mereka diminta untuk tak khawatir.

Masalah yang instan berhasil dilewati. Namun, masalah yang lebih besar siap membuat masyarakat kembali menjerit. Besar kemungkinan harga BBM bersubsidi akan kembali naik. Dan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) sudah menegaskan, siap menaikkan harga BBM bersubsidi. Artinya, keresahan yang lebih besar akan kembali muncul.

Tak hanya rakyat, pemerintah pun bakal turut menjerit. Pemerintah harus bisa mencari solusi jangka panjang agar dampak kenaikan harga BBM bukan meresahkan masyarakat, melainkan menyejahterakan mereka.

Arah penyaluran subsidi yang selama ini telah dilakukan, baik dengan bantuan langsung sementara mandiri (BLSM), atau bantuan lang sung tunai (BLT), masih banyak yang salah sasaran. Sebab, bukan rakyat kecil yang merasakan manfaatnya, melainkan kelompok elite, pejabat, dan pengusaha besar.

Inilah tantangan pemerintahan Jokowi-JK usai dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober nanti. Mereka harus bisa menyalurkan subsidi BBM secara tepat kepada rakyat yang benar-benar membutuhkan, bukan pada masyarakat yang kaya dan hedonis.

Bila rakyat menjerit karena harga yang mencekik, sedangkan pemerintah menjerit karena kemungkinan jebolnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014. Sebab, seperti disampaikan Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Hanung Budaya, pada Rabu (27/8), kuota BBM bersubsidi telah dipatok sebesar 46 juta kiloliter (kl) dari total kebutuhan masyarakat.Akibatnya, persediaan BBM bersubsidi diperkirakan akan jebol sekitar 1,35 juta kl. Jika ini terjadi, maka ujung-ujungnya rakyat juga yang terbebani.

Bila membandingkan dengan sejumlah negara tetangga (ASEAN), bisa dikatakan harga BBM di Indonesia cukup rendah.Harga BBM bersubsidi (Premium) di Brunei Darussalam sebesar 0,42 dolar AS/liter (setara dengan Rp 4.153/liter), Malaysia seharga 2,36 dolar AS/galon (setara Rp 6.141/liter), Filipina 4,87 dolar AS per galon (Rp 12.673 per liter), Singapura 6,29 dolar AS/galon (Rp 16.368/liter) dan Thailand 4,42 dolar AS/galon (Rp 11.502/liter).

Dengan alasan ini, maka pemerintah `akan terus menekan' kantong masyarakat untuk membeli BBM nonsubsidi. Sementara, subsidi untuk rakyat akan dialihkan pada bidang yang lebih produktif.

Kita berharap, pemerintah benar-benar jeli, cermat, dan tepat, dalam memutuskan harga BBM untuk rakyat. Sebab, kesalahan dalam mengambil kebijakan akan berakibat fatal bagi nasib rakyat.

Bukannya menyejahterakan rakyat, sebaliknya bisa membuat rakyat semakin miskin. Saat ini saja, jumlah rakyat miskin berkisar pada angka 30 juta jiwa. Kenaikan harga BBM dan pemberian subsidi yang tak tepat, bisa menambah jumlah angka kemiskinan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement