Selasa 26 Aug 2014 14:30 WIB
tajuk

Terlena BBM

Red:

Ratusan nelayan di Indramayu tak bisa melaut sejak pekan lalu. Tak tersisa lagi jatah solar bersubsidi untuk mereka. Kalau ingin memaksakan diri melaut, mereka harus membeli solar nonsubsidi yang harganya dua kali lipat lebih. Tak ada pilihan terbaik, selain menanti solar bersubsidi mengalir kembali. Mungkin pada awal September nanti.

Kisah para nelayan Indramayu itu mencerminkan persoalan distribusi subsidi di negeri kita. Mereka yang benar-benar memerlukan subsidi harus gigit jari. Sementara di tempat-tempat lain, termasuk di Jakarta, orang-orang dalam kategori mampu tenang-tenang saja menenggak bahan bakar murah.

Berdasarkan APBNP 2014, jatah BBM bersubsidi sebanyak 46 juta kiloliter. Jatah tersebut diprediksi takkan memadai sampai akhir tahun. Solar bersubsidi akan habis pada pertengahan November, sedangkan premium tandas pada pertengahan Desember.

Harga bahan bakar bersubsidi selalu menjadi barang panas. Perlu keberanian besar untuk menaikkannya. Ini selalu menjadi beleid yang tak populer. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah melakukannya dan tentu tak ingin mengulangi di akhir masa jabatannya. Pemerintahan berikutlah yang akan menanggung beban beratnya dalam APBN mendatang.

Kendati demikian, Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih telah mengumumkan arah kebijakan mereka. Sebagian besar subsidi energi, menurut mereka, tidak tepat sasaran sehingga harus dialihkan kepada sektor lain. Sebagai contoh, ke dalam bentuk modal usaha, harga pupuk murah, dan subsidi mesin perahu nelayan.

Data Kementerian ESDM menunjukkan, sebanyak 25 persen rumah tangga dengan penghasilan terendah hanya mendapatkan alokasi 15 persen subsidi energi. Sementara, 25 persen rumah tangga dengan penghasilan tertinggi justru memperoleh 77 persen subsidi. Kendaraan pribadi menyedot 53 persen Premium, sepeda motor menenggak 40 persen. Hanya empat persen Premium yang masuk tangki mobil barang dan tiga persen ke kendaraan umum.

Data lembaga yang sama menyebutkan, sebanyak 89 persen BBM bersubsidi dinikmati transportasi darat dan hanya satu persen yang dinikmati transportasi laut. Rumah tangga menyedot enam persen, perikanan tiga persen, sementara usaha kecil dan menengah satu persen. Timpang.

Kita tentu tak boleh terlena dalam situasi ini karena berdampak pada sejumlah hal. Pertama, alokasi APBN untuk bidang lain terpangkas, termasuk di dalamnya untuk perlindungan sosial dan pembangunan infrastruktur. Kedua, kesenjangan ekonomi melebar karena ketidaktepatan sasaran subsidi. Ketiga, tercipta suasana leha-leha yang menyumbat inovasi tentang energi baru, padahal kita bukan lagi negeri raja minyak.

Di kota-kota besar, BBM bersubsidi dinikmati mobil-mobil mahal untuk pelesir. Sebanyak 40 persen, dipakai sepeda motor yang sebagian di antaranya dikendarai anak-anak di bawah umur. Tak ada alarm yang berbunyi. Kita tidak sadar bahwa situasi ini turut membunuh aktivitas kendaraan umum. BBM murah telah membuat masyarakat memilih kendaraan pribadi. Lalu balon subsidi kian cepat membengkak, menanti saat-saat untuk meledak.

Bagi sebagian besar kita, sekadar mengonsumsi bahan bakar nonsubsidi takkan membuat miskin, takkan membuat harga-harga melonjak. Sebaliknya, kenaikan sedikit saja harga bahan bakar bersubsidi dapat membuat jutaan orang jatuh ke dalam kategori melarat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement