Sabtu 02 Aug 2014 15:00 WIB

Urbanisasi Pasca-Idul Fitri

Red: operator

Perpindahan penduduk dari desa ke kota atau urba nisasi merupakan fenomena sosial yang terulang setiap tahun pascaperayaan Idul Fitri. Bersama kafilah pemudik (kaum urban lama) yang melakukan arus balik ke kota setelah pulang kampung, kaum urban baru beranjak ke kota-kota. Akibatnya, pasca-Idul Fitri, kota-kota besar di Indonesia bertambah padat dibanjiri oleh pendatang baru.

Selama ini, kaum urban masih dipandang sebagai masalah. Ketiadaan keterampilan serta tingkat pendidikan yang tidak ompetitif untuk bersaing di kota, menyebabkan banyak di antara kaum urban akhirnya bekerja serabutan.Jika tidak dikelola, urbanisasi memang menjadi momok. Alih-alih menjadi kekuatan sumber daya manusia potensial, kaum urban kerap hanya membawa masalah baru bagi kota-kota besar yang sebelumnya telah terbelit oleh kompleksitas problem sosial dan ekonomi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/ Yasin Habibi

Stasiun Pasar Senen

Faktor penarik dan pendorong Bila ditelusuri secara mendalam akar musababnya, urbanisasi bukanlah fenomena tunggal. Gelombang massa dari desa ke kota ini disebabkan oleh beberapa faktor penarik. Pertama, urbanisasi menandai kuatnya magnetisme kota sebagai tempat memenuhi kebutuhan ekonomi karena perputaran uang lebih besar. Kota adalah pusat aktivitas bisnis, sentra industri, serta sentrum kebijakan administratif sehingga menyediakan banyak lapangan kerja. Mencari penghi dup an di kota lebih menjanjikan. Kota di pandang sebagai tempat yang tepat untuk membangun mimpi-mimpi ekonomi.

Kedua, ada semacam kesepakatan tak tertulis yang berlaku di tengahtengah masyarakat jika menjadi "orang kota" adalah sebuah prestise tersendiri.

Masyarakat kota dihargai sebagai satu kelas eksklusif di dalam masyarakat kita. Propaganda media televisi, utamanya tayangan film atau sinetron, mengonstruksi satu citra jika menjadi "orang kota" adalah kebanggaan.

Model stratifikasi sosial yang abstrak ini tak lepas dari peradaban kota yang lebih maju karena ditunjang oleh berbagai fasilitas. Kota mampu memenuhi kebutuhan dengan fasilitas berkelas.

Secara rasional, modernisme dan ekslusivisme masyarakat kota dijelaskan oleh kelengkapan fasilitas tersebut.

Selain faktor penarik dari kota tujuan, urbanisasi juga disebabkan oleh faktor pendorong yang dari kampung asal. Faktor pendorong pertama adalah stagnasi pembangunan desa, bahkan cenderung mengalami kemunduran akibat konversi lahan pertanian menjadi perumahan serta peruntukan lain yang tak relevan dan meruntuhkan kearifan lokal.

Kedua, dorongan kesadaran kosmikteologis yang memandang urbanisasi merupakan bagian dari ibadah. Agama Islam, secara tersirat menganjurkan umatnya untuk merantau. Tradisi me rantau bahkan dicontohkan oleh para nabi, ulama, dan orang-orang besar, baik untuk menuntut ilmu maupun menyebarkan kebaikan. Perintah ini yang secara tersirat dan tersurat banyak disebut kan di dalam Alquran dengan frasa dan kisah berbeda. Misalnya "bertebaran di muka bumi" (62:10), "mengutus seorang rasul di ibu kotanya" (28 : 59), atau "dan dia Musa masuk ke Kota Memphis" (28:15).

Di dalam Islam, merantau dengan tuju an untuk menuntut ilmu atau tujuantujuan kebaikan lainnya, bahkan disa makan dengan berada di jalan Allah (fii sabilillah). Dimensi kosmik-teologis ini menjadi sumbu spiritual yang terus menyalakan bara semangat para kaum urban untuk mencapai kehidupan lebih baik.

Ketiga, dorongan kebudayaan. Bagi beberapa etnis masyarakat Indonesia seperti Bugis, Makassar, dan Minang, urba nisasi yang dalam terma budaya disebut merantau merupakan kearifan lokal.Merantau mengajarkan banyak value yang tak diperoleh di kampung halaman.Menjadi kaum urban berarti mematut ritus sakral meluah dimensi nilai tinggi.Urbanisasi yang memperoleh legitimasi budaya akhirnya muncul secara spiritual, sebagai habitus yang tak mungkin dapat dicegah atau diamputasi dari akar kehidupan bangsa Indonesia.

Tuah UU Desa Daripada membatasi animo masyarakat melakukan urbanisasi dengan operasi yustisi atau sweepingpendatang baru lalu memaksa mereka pulang kampung yang akhirnya juga ternyata kurang efektif, lebih bijak jika pemerintah melakukan introspeksi diri aktual secara mendalam.

Yakni melakukan akselerasi pembangunan desa yang secara resmi telah memiliki payung hukum melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang lalu didetailkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Dengan payung hukum tersebut, diharapkan agar pembangunan tidak lagi hanya terkonsentrasi di kota atau pada daerah tertentu saja yang akhirnya mengakibatkan disparitas spasial. UU Desa yang beberapa tahun diperjuang kan dan disiapkan oleh para wakil rakyat adalah kristal harapan akan terwujudnya pemerataan pembangunan dan tercapainya keadilan sosial ekonomi sebagai satu langkah efektif mereduksi gelombang urbanisasi sebagaimana salah satu fundamen spirit pembuatan UU Desa.

Untuk melihat hasil transformasi UU Desa menjadi produk pembangunan yang menyulap puluhan ribu desa di Indonesia menjadi lebih modern dan maju, memang butuh proses dan durasi waktu yang lama. Besar harapan, tuah UU Desa membawa kesejahteraan bagi masyarakat di kampung-kampung. UU Desa adalah upaya sistematis dan jangka panjang mewujudkan ekualitas frekuensi pembangunan dari kota-kota hingga ke desa-desa sehingga urbanisasi untuk sekadar mengubah harkat ekonomi tak lagi menjadi sebuah alasan.

JUSMAN DALLE

Analis Society Research and Humanity Development Institute dan Tenaga Ahli DPR RI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement