Jumat 01 Aug 2014 15:30 WIB

Mudik dan Ketimpangan

Red:

Setelah mudik, lalu apa? Kata mudik kita tahu tidak bermakna statis. Ia lebih kepada satu proses pergerakan sosial. Proses berangkatnya jutaan manusia dari kota ke kampung halaman. Kemudian proses pulangnya mereka kembali ke kota. Dan di tengah proses itu, mudik juga sebuah kata yang melambangkan "masa depan".

Maka dari itu, lazimnya setelah mudik adalah sebuah pekerjaan tambahan bagi pemerintah kota untuk mencacah pendatang baru. Apakah mereka punya tempat tinggal layak? Apakah mereka punya saudara di kota? Apakah mereka akan mendapat pekerjaan. Sebab, kalau tidak, pendatang baru itu akan menimbulkan masalah sosial seperti kekumuhan, kemiskinan, dan kriminalitas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Wihdan Hidayat/Republika

Penyapu Uang Sedekah

Sebagian pemerintah daerah berupaya mencegah dampak pendatang baru itu dengan operasi yustisi. Warga DKI Jakarta mahfum dengan operasi yustisi ini sedari masa pra-gubernur Joko Widodo (Jokowi). Tapi kita tahu, operasi macam itu tak pernah berhasil membendung arus warga daerah untuk datang ke Jakarta atau ke kota-kota besar lainnya.

Kita bisa melihat lebih jernih masalah ini. Urbanisasi adalah persoalan ketimpangan sosial dan ekonomi, ketika laju ekonomi di kampung halaman atau di daerah geraknya kalah cepat dengan yang di kota. Dan memang, ini masalah yang belum terpecahkan dengan benar di Indonesia. Ekonomi menjadi terpusat di beberapa daerah saja, terutama di Indonesia barat. Terutama lagi di Jawa, di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya.

Efek turunannya adalah ketimpangan pendapatan yang menganga. Sejak 1996, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), indeks koefisien gini (alat untuk mengukur ketimpangan) Indonesia menunjukkan tren meningkat.

Pada 2013, angka pengukuran indeks gini terkini oleh BPS sudah mencapai 0,413 (mendekati angka 1 berarti lebih timpang). Artinya, jarak ekonomi dan sosial antara si kaya dan si miskin kian lebar. Artinya juga, kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah belum berpihak ke pembangunan daerah.

Ketika ekonomi timpang, maka perputaran besar uang masih dimonopoli segelintir kelompok. Contoh sederhananya bisa kita lihat dari data Lembaga Penjamin Simpanan (Mei 2014). Berapa banyak nasabah yang simpanannya di atas Rp 5 miliar? Ada 68.077 rekening. Sementara, berapa banyak rekening yang simpanannya di bawah Rp 100 juta? Ada 147,7 juta rekening.

Pemerintah bisa saja berkelit dengan menunjukkan data tren penurunan penduduk miskin, tren penurunan angka pengangguran, peningkatan produk domestik bruto, hingga ke data pendapatan per kapita yang naik mendekati 4.000 dolar AS. Tapi, masyarakat di daerah lebih tahu rasanya bagaimana menjadi "tertinggal" ketimbang masyarakat kota.

Makin menjadi paradoks karena kita tahu momen urbanisasi massal ini terjadi pascaperayaan Idul Fitri, setelah sebuah prosesi pembagian beragam zakat dan sedekah. Triliunan rupiah mengalir pada hari-hari terakhir Ramadhan ke kaum miskin di Indonesia. Sebagian mengalir dari kota ke desa. Tapi toh itu tak cukup untuk menggiatkan pembangunan daerah.

Karena itu, kita berharap pemerintahan yang baru memiliki kebijakan yang lebih efektif untuk menyelesaikan ketimpangan ekonomi. Harus ada terobosan, baik di kabinet maupun di kebijakan ekonomi, untuk menurunkan ketimpangan. Urbanisasi memang tidak dilarang, tapi alangkah eloknya kalau kita melihat Indonesia juga tumbuh dari daerah, dari kampung halaman, dari sawah padi, bukan hanya sawah beton.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement