Kamis 24 Jul 2014 12:00 WIB

Memahami Tragedi Palestina

Red:

Hari-hari ini daratan Palestina menjadi saksi bisu tragedi kemanusiaan.  Jalur Gaza yang umumnya dihuni warga sipil minus otoritas keamanan negara seolah menjadi penjara hidup bagi warga sipil tak berdosa. Gaza semakin terpuruk karena di tengah suasana bulan suci Ramadhan mereka harus berhadapan dengan agresivitas militer Israel, padahal dalam kondisi normal sekalipun mereka kerap mengalami kesulitan pasokan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga setempat. Mesir memang menjadi jalur paling mungkin untuk memasok kebutuhan warga Gaza namun sayang rezim baru Mesir di bawah Presiden Sisi memiliki kebijakan yang jauh berbeda dengan pendahulunya. Ia tidak begitu bersahabat dengan otoritas Palestina.

Gaza seolah menjadi martir bagi ketidaksukaan rezim Israel dan pendukungnya terhadap kelompok Hamas yang memenangi pemilihan umum dengan instrumen demokrasi yang diakui telah menjadi nilai internasional.  Hamas sebagai rezim boleh saja tidak disukai namun menjadikan warga sipil sebagai korban ketidaksukaan sangat melukai nilai kemanusiaan yang diakui semua bangsa.

Jika konsisten melihat peristiwa ini sebagai kejahatan atas kemanusiaan maka gelombang protes warga dari berbagai penjuru dunia mulai dari Amerika Utara, Amerika Selatan, Uni Eropa, Asia, Afrika tanpa memilah suku atau agama adalah ekspresi paling jujur dalam melihat agresi militer yang memiliki kemampuan di atas rata-rata terhadap warga sipil yang tidak memiliki mekanisme perlindungan dan pertahanan diri yang cukup memadai (BBC, 12/7).

Penulis asal Israel Gideon Levy sekalipun dalam artikelnya pada harian Haaretz berjudul "Israel does not want peace" beberapa saat setelah rezim Netanyahu memerintahkan serangan mengakui tindakan rezim Israel adalah bentuk kekejian di abad modern, melanggar perjanjian internasional, menabrak batas-batas terlarang hukum perang internasional, menghindari solusi damai dua negara adalah bukti bahwa rezim Israel memang tidak pernah mau menjadi bagian dari perdamaian (Haaretz, 4/7).

Sejauh ini korban dari hari ke hari terus bertambah, semakin pemimpin dunia dan sekjen PBB mengutuk semakin warga Palestina menjadi ajang pamer jet tempur, tank merkava, dan atraksi senjata canggih, dan perkenalan drone menghujam target tanpa ampun. Masyarakat boleh mengecam milisi Hamas yang menyerang atau membalas serangangan dengan roket, namun kesalahan yang mereka lakukan tergolong minor jika dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh Israel.

Tragedi saat ini tentu saja menambah dokumen kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina. Sementara hasil investigasi tim independen PBB atas aksi mematikan Israel pada tahun 2010 oleh Richard Falk belum rampung karena pihak Israel tidak memberikan akses penuh kepada penyelidik PBB hingga akhirnya dilanjutkan oleh Dubes Makarim Wibisono asal Indonesia.

Solusi darurat

Kecaman dunia seolah tidak terdengar oleh para penentu kebijakan di Israel, sementara berbagai protes berlangsung, Israel justru memerintahkan penyerangan dari jalur darat dengan ribuan serdadu dikawal tank-tank Merkava. Ketika para pemimpin negara lain mengkritik secara keras mereka menyebutnya sebagai tindakan anti-semitisme.

Pelanggaran hukum perang adalah konsen dari keberadaan institusi internasional di bawah komando PBB, namun sejauh ini instruksi PBB tidak pernah efektif jika berhadapan dengan Israel.

Namun demikian, di tengah krisis kemanusiaan yang menghujam warga sipil maka tidak ada cara lain untuk waktu saat ini adalah menginisiasi gencatan senjata antarkedua belah pihak dengan melibatkan pihak ketiga di bawah supervisi Dewan Keamanan PBB.

Masyarakat dunia juga perlu menguatkan koneksi untuk membatasi kerja sama dengan rezim Israel jika tidak mengindahkan norma internasional. Sebab, reaksi lemah hanya akan membuat negara Israel melakukan pengulangan seperti sebelumnya.

 

Solusi jangka panjang

Pada titik tertentu Isral-Palestina perlu membicarakan perdamaian yang bersifat retroaktif dan dipatuhi oleh kedua pihak dan menguntungkan dua pihak yang sedang terlibat dalam konflik tak berujung ini. Perdamaian dari satu kubu tidak akan menghasilkan perdamaian. Kesepakatan yang menguntungkan satu pihak bukanlah etika perundingan masyarakat internasional.

Israel tidak bisa membantah bahwa selama proses perundingan untuk membahas pembagian wilayah mereka tetap pada rencana membangun permukiman. Israel dan negara pendukungnya tidak akan mampu membohongi publik bahwa terjadi represi terhadap warga sipil di Palestina untuk alasan "national security" versi Departemen Pertahanan Israel (IDF). Agresi udara dan darat yang dilakukan tanpa membedakan target baru-baru ini dilakukan Oleh Israel tidak bisa lagi disembunyikan sebab seluruh media di dunia tanpa memandang perbedaan sudut pandang berita mengamini kekejaman di Gaza.

Noam Chomksy  dalam bukunya Chronicle of Dissent jauh-jauh hari telah mengingatkan kita tentang solusi duna negara di kawasan ini. Chomsky melihat bahwa konflik  Palestina-Israel adalah perang klaim dua pihak yang menginginkan kemerdekaan dan menjadi negara berdaulat. Di satu sisi Palestina adalah penghuni tetap tanah Palestina sejak ratusan tahun silam sementara di sisi lain Israel yang merupakan negara bentukan diisi oleh kaum Yahudi pendatang asal Eropa dan Timur Tengah. Ketika Israel berdiri justru mereka mengusir para penduduk tetap Palestina dan lebih dari itu menjadikan daratan konflik itu sebagai penjara hidup bagi para penduduk Palestina (Noam Chomsky, 1992).

Solusi dua negara adalah keniscayaan jika kawasan ini ingin menciptakan perdamaian yang menenteramkan bagi kedua belah pihak. Kritik terhadap Israel, sebagaimana ditulis Chomsky,  jangan dilihat sebagai bentuk rasisme sebab begitulah kenyataan yang terjadi hari ini.

Akhirnya, perang dan konflik kekerasan akan terus membara di Gaza dan bagian lain di tanah dua bangsa yang berebut klaim ini jika kedua belah pihak tidak memiliki komitmen untuk perundingan. Dan lebih penting dari kesediaan dua belah pihak adalah komitmen serius PBB dan negara-negara sekutu yang selama ini menjadi tulang punggung dukungan terhadap segala tindakan Israel.

M Sya'roni Rofii

Mahasiswa S-3 Ilmu Politik dan Hubungan Internasional, Marmara University, Istanbul, Turki

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement