Senin 02 Jun 2014 18:00 WIB

Jaminan Produk Halal

Red:

oleh:Farid Wajdi

Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan

Kasus biskuit mengandung babi di gerai Indomaret (Republika, 29/5) kembali mengusik suasana kebatinan umat Islam. Kasus itu seolah membuka luka lama kasus biskuit mengandung babi hasil penelitian Tri Soesanto (1988). Kasus itu sempat menyentak kesadaran umat Islam tentang banyaknya makanan yang memakai bahan dari babi.

Lebih kurang sepekan sebelum kasus biskuit mengandung babi di gerai Indomaret, masyarakat diteror dengan dugaan banyaknya rumah potong hewan (RPH) milik pemerintah yang tidak bersertifikat halal. Bahkan, jumlahnya hampir 90 persen di seluruh Indonesia (Republika, 12/5).

Memang kasus lemahnya jaminan dan pengawasan produk halal dari pemerintah bukan hal baru. Kasus produk tidak halal datang secara bergelombang. Silih berganti tiada henti. Kasus Sprite (1996), sapi gelonggongan (1999, 2002), vaksin meningitis (2009), perdagangan daging celeng (2011), Ajinomoto (2001), ayam tiren (mati kemarin) dan bakso tiren (2012).

Belajar dari kasus itu, Indonesia ternyata tidak aman dan tidak bebas dari peredaran produk yang tidak halal. Faktanya pula, banyak produk makanan dan minuman yang beredar di sekitar kita tak berlabelkan halal. Tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan.

Padahal, memperoleh produk halal bagi setiap Muslim adalah perwujudan hak konstitusionalnya. Akses produk halal mestinya dijamin oleh konstitusi. Jadi, pemerintah hendaknya mampu memfasilitasi masyarakat dalam menjalankan syariat agama warganya.

Faktor utama wacana produk halal tak kunjung usai adalah tersebab pemerintah bersifat pasif. Produsen malas mendaftarkan kehalalan produknya. Seterusnya masyarakat acuh tak acuh (apatis). Ketiga hal tersebut merupakan faktor penyebab lambatnya kesadaran masyarakat atas pentingnya kehalalan produk di Indonesia (Muchith A Karim, 2013).

RUU JPH

Posisi serbatidak pasti terkait jaminan produk halal membuat konsumen Muslim kesulitan memilih produk, apakah dalam kategori halal atau haram. Karena itu perlu sikap prihatin atas wacana produk halal di masa kini. Kondisi zaman terus berubah. Jika pada zaman dulu kehalalan dan kesucian atas produk tidak merupakan suatu persoalan serius, karena bahannya jelas-jelas halal dan cara pemrosesannya pun tidak bermacam-macam. Tetapi, kehadiran ragam zat aditif kimiawi pada makanan dan minuman setidaknya menjadi alasan mengapa jaminan produk halal itu diperlukan.

Sementara itu, meskipun kasus produk haram cukup meresahkan umat Islam, pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) terlindas hiruk pikuk pemilu (pileg/pilpres). Energi anggota DPR seolah terkuras buat kampanye atau mendukung calon presiden (capres) pilihannya. Kuatnya dorongan mempercepat pembahasan RUU JPH belum didengar DPR. Suara umat melalui Majelis Ulama Indonesia belum mendapat prioritas yang sepatutnya. Sampai saat ini, pembahasan RUU JPH belum tuntas/mandek.

Ahmad Zainuddin (2013) memandang ada tiga alasan penting untuk mengesahkan RUU JPH. Pertama, secara filosofi, RUU JPH adalah aplikasi Pasal 28 E ayat (1), Pasal 29 ayat (1 dan 2) UUD 1945. Kedua, secara sosiologi, kini banyak peredaran produk yang mengandung bahan kimia biologi, dan itu semua belum terjamin kehalalannya. Ketiga, secara hukum belum ada ketentuan komprehensif dalam menjamin kepastian produk halal di pasaran. Secara hukum UU JPH, dapat memberi kepastian dan jaminan hukum bagi konsumen khususnya umat Islam.

Suwida Tahir (2014) mengatakan RUU JPH merupakan sebuah kebutuhan mendesak untuk melindungi umat Islam dari produk-produk yang tak jelas kehalalannya. Adanya Jaminan produk halal bermakna negara memberikan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kepada masyarakat dalam mengonsumsi atau menggunakan produk. Selain itu, tercipta pula sistem JPH dalam menjamin tersedianya produk halal.

Pemerintah dan DPR bertanggung jawab penuh untuk menyelesaikan RUU JPH. RUU JPH adalah utang yang mesti ditunaikan. Penting untuk merenungi pesan Rasulullah SAW: "Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya"(HR Bukhari-Muslim). Sebab itu, tentu tidaklah elok meninggalkan pengesahan RUU JPH kepada anggota DPR mendatang. Dipastikan RUU JPH bakal terbengkalai.

Bagi umat Islam, eksistensi UU JPH sangatlah penting. Pengesahan RUU JPH mestinya lebih diprioritaskan. Tanpa kehadiran RUU JPH itu, penindakan bagi produsen yang melanggar kehalalan sebuah produk takkan dapat dilakukan. Selain itu, UU JPH adalah wujud pelaksanaan Pembukaan UUD Tahun 1945 yang menyatakan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Semoga !

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement