Rabu 26 Oct 2016 14:00 WIB

Perbaiki Ekses Pemilu

Red:

JAKARTA — Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu harus mengantisipasi ekses negatif sistem proporsional yang dipakai Indonesia sejak 1955 dibanding memperdebatkan sistem terbuka atau tertutup.

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indoenesia (UI) Sri Budi Eko Wardani mengatakan, masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangan. Dani menjelaskan, Indonesia pada era Orde Baru memilih menggunakan sistem proporsional tertutup. Kelemahannya saat itu sistem tersebut digunakan untuk penguatan kekuasaan parpol pemerintah.

Sementara, sistem proporsional terbuka lebih mengakomodasi suara pemilih sebagai faktor yang paling menentukan. Dani melihat usulan pemerintah dalam RUU Pemilu saat ini, yakni proporsional terbuka terbatas tak ubahnya seperti sistem proporsional tertutup. Padahal, penyelenggaraan tiga pemilu terakhir sudah mengokohkan sistem proporsional terbuka. "Data KPU juga menunjukkan hampir 65 persen pemilih mencoblos orang, baru sisanya tanda gambar," ujar Dani kepada Republika, Selasa (25/10).

Dani menyarankan, yang harus dilakukan adalah menambal kebocoran dalam sistem proporsional terbuka. Kekhawatiran soal ongkos politik tinggi, munculnya caleg karbitan, dan masalah serupa yang harus ditutup. "Penegakan hukum dikuatkan, dana kampanye diperjelas, penyumbang harus transparan, dan terpenting hulunya diperbaiki soal mekanisme rekrutmen di partai," kata Dani.

Dani juga khawatir, baru masuknya RUU Pemilu ke DPR akan membuat pembahasan menjadi sangat mendesak. Padahal, tahapan pemilu sudah harus dimulai pada 2017. Pembahasan yang serbamepet, papar dia, bukan tak mungkin akan menghasilkan produk undang-undang yang mengecewakan masyarakat sipil.

Penolakan terhadap sistem terbuka terbatas juga disuarakan beberapa partai. Politikus Partai Nasdem di DPR, Johnny G Plate, menegaskan, partainya bakal menolak sistem sistem terbuka terbatas. Menurutnya, Nasdem merujuk hasil pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 22-24/PUU-VI/2008 soal Pasal 5 dan Pasal 215 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif yang menyebut pemilu harus dengan sistem proporsional terbuka. Johny juga berharap fraksi lainnya memiliki pendapat yang sama soal sistem pemilu terbuka terbatas tersebut.

Seharusnya, kata Johnny, keputusan harus didasari putusan Mahkamah Konstitusi, yang memutuskan lolosnya calon anggota legislatif didasarkan pada suara terbanyak.

"Ini merupakan salah satu poin krusial di RUU itu. Sistem terbuka atau tertutup akan menjadi pembahasan yang strategis. Tetapi, harus tetap mengacu pada keputusan MK terkait nomor urut dan daftar terbuka," katanya saat dihubungi, Selasa (25/10)

Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani. Menurut anggota Komisi III DPR RI itu, PPP lebih menghendaki sistem pemilu proposional terbuka. Maka dari itu, pihaknya akan melakukan kajian terlebih dulu apakah sistem ini memang memperbaiki kelemahan dari sistem proporsional terbuka dan tidak memunculkan potensi kelemahan baru.

Padahal, dua pemilihan terakhir selalu menggunakan sistem proporsional terbuka. Kemudian apabila ada kelemahan pada sistem tersebut, yang harus dilakukan adalah perbaikan. "Dengan adanya perbaikan, maka dapat menutup kekurangan dari sistem proporsional terbuka itu," ujarnya.

Bahkan, penolakan juga diutarakan oleh Ketua Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR), Zulkifli Hasan. Secara tegas, ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini menyatakan, dalam demokrasi yang berkuasa adalah rakyat. Maka dari itu, kata dia, jangan sampai direduksi dengan sistem pemilu tersebut. Bagaimanapun rakyat berhak tahu dan memilih calon yang diinginkan.

"Yang mendapatkan suara terbanyak yang berhak memimpin. Jadi, tidak fair apabila yang terbanyak nomor urut satu, tapi yang duduk nomor dua. Jangan beli kucing dalam karung. Biarlah rakyat yang menentukan pilihan, yang terbaik untuk rakyat," kata Zulkifli menegaskan.

Anggota Komisi II DPR dari Partai Golkar, Hetifah Saifudian, mengatakan, amanat dari Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar mengusulkan sistem proporsional tertutup. Tetapi, partainya siap menjalankan proses deliberatif dalam mengkaji sistem pemilu mendatang. "Kami siap mendengar berbagai argumen dari setiap opsi yang ada dan memilih sistem yang terbaik," ujarnya.

Hetifah mengatakan, pertimbangan utama Golkar menentukan sistem pemilu adalah keinginan meningkatkan kualitas calon dan mereka yang terpilih jangan lagi faktor keterpilihan didominasi oleh modal dan popularitas semata.     rep: Ali Mansur/antara, ed: Hafidz Muftisany 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement