Jumat 29 Jul 2016 14:55 WIB

Perompakan di Laut Indonesia Tertinggi

Red:

JAKARTA — International Chamber of Commerce's International Maritime Bureau mencatat, serangan perompak terhadap kapal di perairan Asia Tenggara meningkat tajam. Kejadian yang paling banyak ada di perairan Indonesia.

"Mencapai dua kali lipat per tahun. Pada 2014, enam dari setiap 10 kejahatan laut di seluruh dunia terjadi di Asia Tenggara," ujar Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris, dalam diskusi tentang penanganan perompakan bersenjata di Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (28/7).

Berdasarkan data yang dimilikinya, Asia Tenggara menempati posisi teratas dalam kasus perompakan. Hal ini dinilai memprihatinkan. Sebab, Indonesia yang dikenal sebagai bangsa pelaut, ternyata menyumbang angka perompakan terbesar di dunia, khususnya Asia Tenggara. Dari 141 kasus perompakan di Asia Tenggara, seratus kejadian perompakan terjadi di Indonesia.

Persentase yang sama juga terjadi pada 2015. Dari 190 kasus perompakan di dunia, mayoritas kasus itu terjadi di perairan Indonesia. Politikus PDIP ini mengatakan, data tersebut menunjukkan Indonesia adalah surga dan target perompak.

Belajar dari Somalia, menurunnya kasus perompakan di wilayah Afrika Timur dikarenakan kapasitas dan kapabilitas penegakan hukum di laut yang dilakukan oleh negara dan pemerintah meningkat. UNCLOS sudah diratifikasi oleh Indonesia. Akan tetapi, tidak kontekstual, karena dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang diatur hanyalah perompakan yang terjadi di laut lepas.

Indonesia juga sudah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism (SFT), tahun 1999 melalui UU No. 6 Tahun 2006. Pemerintah juga perlu melakukan langkah konkret lain, yaitu menjadi inisiator effective legal framework againts piracy and maritime crimes in Southeast Asia. Tujuannya, untuk menghasilkan komitmen bersama untuk mencegah, menangkal, menangkap dan menghukum perompak.

Perlu juga mendirikan pusat informasi bersama (intelligence sharing). Indonesia harus menjadi motor penggerak terwujudnya kesepakatan atas mekanisme yang efektif di ASEAN dalam memerangi perompakan dan kejahatan di laut.

Di sisi lain, pemerintah juga harus berkomitmen untuk membangun sistem koordinasi internal yang kuat antar lembaga dan kementerian, dengan misi untuk mewujudkan rezim keamanan laut, sebagai langkah menuju visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Pejabat Senior Kementerian Luar Negeri, Bebeb AK Nugraha Djundjunan mengatakan, penyelesaian persoalan perompakan membutuhkan kerja sama lintas negara. Lalu lintas laut perlu diatur dengan baik, agar perompakan tidak terjadi.

Dia menyarankan untuk belajar dari pengalaman sukses pengamanan Selat Malaka. Lalu lintas laut ditentukan dalam bentuk koridor dari pintu masuk Selat Malaka, dekat Laut Andaman ke laut yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura. Pengamanan seperti ini memudahkan pengawasan. Namun, ini membutuhkan konsultasi yang panjang.

Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan Jakarta, Prof Aleksius Jemadu mengatakan, Indonesia menghadapi persoalan serius untuk mengamankan perairannya. Sebab, kemampuan yang dimiliki terbatas. "Ini yang mengakibatkan pemerintah lemah menjaga keamanan laut dari aksi perompakan," imbuhnya.

Selain itu, penanganan perompakan di Asia Tenggara dinilainya masih belum maksimal. Perompakan yang terbaru dilakukan kelompok Abu Sayyaf yang menyandera 10 warga negara Indonesia (WNI) di Kepulauan Sulu. Penyanderaan ini terjadi yang ketiga kali sepanjang 2016.

Jika penyanderaan disikapi dengan membayar tebusan, maka itu memotivasi perompak untuk terus menyandera WNI. Kejahatan ini akan terus diulang, karena dinilai menguntungkan.

Indonesia tak dapat mengirimkan militernya untuk membebaskan sandera. Konstitusi Filipina melarang ada militer asing beraktivitas di negaranya. "Kendala konstitusional ini tampaknya dimanfaatkan Abu Sayyaf untuk terus mengulang kejahatan yang sama. Mereka meyakini, militer lain tak mungkin masuk ke Filipina," ujar Aleksius.

Dia menyarankan solusi jangka panjang. Tokoh agama, semisal dari Ormas Islam, perlu berdakwah ke Filipina Selatan. Mereka dapat menyampaikan kepada warga Sulu, masyarakat Indonesia adalah keluarga yang harus diapresiasi, bukan malah disandera.    Oleh Erdy Nasrul

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement