Sabtu 23 Jul 2016 16:46 WIB

Inovasi Anak Bangsa Torehkan Prestasi di Cina

Red: Arifin

Satu per satu dari lima pelajar SMA Indonesia tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (20/7).

Mereka disambut sejumlah pegawai Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan disertai pengalungan bunga di lehernya. Sambutan ini memang sederhana, tapi ini tidak mengurangi rasa kebanggaan Indonesia terhadap kelima putra bangsa ini. Kelima anak Indonesia ini sukses mencatatkan sejarah di dunia dalam ajang International Exhibition for Young Inventor (IEYI) yang diselenggarakan di Harbin, Cina, pada 15 sampai 20 Juli 2016.

Karya inovasi sederhana anak bangsa ini sukses mendapatkan satu medali emas dan perak serta sejumlah penghargaan khusus. Medali emas berhasil didapatkan Aan Aria Nanda dan Feriawan Tan dari SMA Negeri 1 Tarakan, Kalimantan Utara. Kedua pelajar ini berhasil menyabet medali tersebut atas karya inovasi berjudul D- Box CC atau Detector Box for CO and CO2. Alat ini mampu mendeteksi kadar kandungan gas karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2).

"Saya benar-benar tidak menyangka," kata Feri saat ditemui wartawan di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Rabu (20/7). Feri menjelaskan, alatnya ini memiliki beberapa fungsi yang baik bagi manusia. Pertama, untuk mendeteksi gas yang berbahaya bagi manusia, karbon monoksida, dan karbon dioksida. Gas ini sangat berbahaya bagi kesehatan, apalagi zat ini tidak bisa dilihat dan dirasakan. Oleh karena itu, dia menilai perlunya alat yang bisa mengukur sistem konsentrasinya.

Fungsi selanjutnya berkaitan dengan sistem indikasi. Hal ini berarti alatnya bisa menjelaskan tingkatan bahaya gas yang berada di sekitar alat tersebut nantinya. Menurut dia, terdapat tiga tingkatan kondisi gas yang diwakili dengan jenis warna, yakni hijau (aman), kuning (sedikit berbahaya), dan merah (berbahaya). Di bawah alat berbentuk kotak dengan ukuran 20 x 10 x 10 sentimeter ini juga terdapat LCD. Bagian ini bertugas menunjukkan seberapa besar bahaya gas di sekitar dalam bentuk persen.

Untuk mengetahui besaran tersebut, Feri memasang dua sensor.

Sensor tersebut, yakni MQ7 untuk karbon monoksida dan MQ135 untuk mendeteksi karbon dioksida. "Kalau besaran paling bahaya itu, di atas 500 ppm (part per milion) bagi karbon dioksida, sedangkan monoksida 12,4 ppm," ujar anak bungsu dari dua bersaudara ini.

Feri menerangkan, alat yang diciptakan selama tiga bulan ini juga memiliki alarm. Alarm ini menandakan apabila gas di sekitar sudah sangat berbahaya. Dia juga menambahkan, alat yang microcontroller-nya arduino unoini sangat mudah dibawa. Meski baru bisa mendeteksi dalam radius dekat, alat ini bisa dipakai di manapun.

Pada awalnya, ide pembuatan ini muncul saat peristiwa kabut asap pada tahun lalu. "Itu kansampai ke kota saya, Tarakan," katanya dengan semangat. Dari sinilah dia bersama Aan mulai mencoba membuat alat baru yang menghabiskan dana Rp 529 ribu ini.

Feri tentu sangat senang dan bangga atas prestasinya. Dia berpendapat, alasan mengapa alatnya bisa menang karena sederhana, bermanfaat, dan memiliki fitur banyak.

"Alat ini bisa mengukur suhu dan kelembapan juga karena ada pengaruhnya untuk mengukur gas," ujarnya. Pada masa mendatang, dia berharap alat ini bisa dijual secara massal sehingga manfaatnya bisa dirasakan masyarakat.

Selain Feri dan Aan, pelajar dari Sampoerna Academy Jakarta, Ryan Timothy Abisha, juga berhasil memperoleh perak. Tak hanya perak, tapi juga mendapatkan Special Award from Japan dan Special Award from Macau. Siswa kelas XI ini banyak men - dapatkan penghargaan atas inovasinya yang berjudul Smart Trash Bin.

Selanjutnya, Indonesia juga berhasil menyabet Special Award from Singapore and Special Award from Thailand terhadap inovasi berjudul Simina atau sistem mitigasi bencana banjir. Alat ini merupakan karya dari Asep Muhamady Anwar Salim bersama Muchammad Alfarisi dari SMK Negeri 2 Cimahi, Jawa Barat.

Sekretaris Umum LIPI Siti Nuramaliati Prijono mengungkapkan kegembiraannya atas raihan prestasi peneliti remaja ini. Dia menilai, keberhasilan ini merupakan indikator meningkatnya kualitas peneliti remaja Indonesia.   Oleh Wilda Fizriyani, ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement