Senin 30 Nov 2015 13:00 WIB

Merusak Hutan demi Rupiah

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Merusak Hutan demi Rupiah 

Lebih dari separuh hutan di Lampung dalam kondisi rusak. Meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi di sekitar hutan memperparah kondisi hutan. Puluhan korporasi pun menangguk rupiah dengan merusak alam.

Hingga 2015, Dinas Kehutanan (Dishut) Lampung mencatat 542.335 hektare hutan dalam keadaan rusak. Jumlah ini mencapai 53,97 persen dari 1.004.735 hektare total luas hutan di Lampung.

"Anda bisa lihat sendiri, sudah ada rumah perambah, ada kebun, dan di dalam (hutan) ternyata sudah ada kantor kepala desa," kata Kepala Dishut Lampung, Syaiful Bachri, pada sebuah lokakarya di Bandar Lampung, pekan lalu.

Menurut Syaiful, kerusakan hutan terjadi akibat aktivitas degradasi dan deforestasi. Degradasi hutan merupakan perubahan di dalam hutan yang berdampak negatif terhadap struktur hutan. Perubahan ini membuat kemampuan hutan menyediakan jasa atau produk  menurun. 

United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menyebutkan, degradasi menyebabkan penurunan stok karbon (carbon stock degradation) hutan. Sementara, deforestasi hutan, lanjut UNFCCC, yakni aktivitas pengalihan hutan menjadi lahan dengan tujuan lain. Adanya deforestasi membuat pengurangan tajuk pohon di bawah ambang batas minimum 10 persen.

Lampung terbilang kaya akan sumber daya alam hutan dan keanekaragaman hayati, flora, dan fauna. Sayangnya, hutan-hutan Lampung dipenuhi ribuan perambah dan sejumlah korporasi yang bidang usahanya di lahan hutan. Beberapa di antara mereka memiliki izin  hingga puluhan tahun.

 

Dishut mencatat, hutan di Lampung terbagi empat kawasan, yakni hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap. "Kerusakan hutan terparah di Lampung berada di hutan produksi," kata Syaiful yang juga alumnus Institut Pertanian Bogor. 

Di hutan produksi terdapat empat perusahaan besar bercokol dengan mengantongi izin pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI). Luas lahan garapan yang dikuasainya 117.970 hektare dengan lama berkisar 45-60 tahun. Sedangkan, yang mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) ada 11 perusahaan, dengan luas lahan yang dikuasai 9.075,64 hektare. Lama IPPKH dua sampai 20 tahun.

Syaiful mengungkapkan, dari 225,090 hektare luas hutan produksi, tingkat kerusakan mencapai 172,146 ha atau 76,48 persen. Sementara itu, kerusakan hutan konservasi 37,16 persen dan hutan lindung 62,49 persen. 

Padahal, meski banyak korporasi yang mengusahakan hutan produksi, kebutuhan kayu lokal tetap belum terpenuhi. Ia mengungkapkan, kebutuhan kayu lokal mencapai 570.200 meter kubik per tahun. Namun, korporasi hutan di Lampung hanya mampu berproduksi 95.922 meter kubik per tahun. "Sisanya masih dipasok dari kayu hutan rakyat," ujarnya.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung Hendrawan mengungkapkan, kerusakan hutan di Lampung sudah bertambah 0,18 persen menjadi 54,15 persen dalam beberapa bulan ini. Menurutnya, kerusakan hutan produksi sangat mengkhawatirkan karena mencapai hingga 75,48 persen. Belum lagi hutan mangrove yang hanya tersisa sebanyak 15 persen pada 2008.

 

Dia menjelaskan, penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Lampung belum mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Ia menjelaskan, berdasarkan RT/RW Lampung 2009-2029, lebih 60 persen lahan di Lampung dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian. "Ini turut menyumbang jumlah gas rumah kaca di udara karena penggunaan pestisida, alih fungsi lahan, pemakaian teknologi, pemupukan berlebihan, dan pembakaran jerami," ungkapnya.

Dia juga mengkritik aturan dalam RT/RW yang menyebut kawasan hutan lindung di Lampung berada di atas 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl).

n ed: a syalaby ichsan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement