REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM — Usia pernikahan dini di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masih cukup tinggi. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3KB) Nusa Tenggara Barat (NTB), Wismaningsih Drajadiah, mengatakan bahwa rata-rata usia pernikahan dini di bawah 19 tahun.
“Pernikahan dini di NTB ini masih tinggi dan cukup parah. Jumlahnya mencapai ribuan,” ujarnya kepada wartawan di sela-sela lokalarya pendewasaan usia pernikahan dini di Kota Mataram, Kamis (26/3).
Menurutnya, berdasarkan data BPS pada 2013, jumlah pernikahan dini di NTB mencapai 51,8 persen dari total jumlah pernikahan. Persentasi yang lebih dari separuh pernikahan di NTB itu dilakukan oleh pasangan dengan usia di bawah 19 tahun. Jumlah terbanyak mayoritas di bawah usia 15 tahun yang mencapai sekitar 20 persen.
Ia menuturkan, dengan kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB yang masih tetap berada di urutan bawah. Pasalnya, pernikahan dini cenderung membentuk keluarga yang tidak disiapkan secara optimal.
Wismaningsih mengatakan bahwa IPM NTB banyak dipengaruhi oleh angka harapan hidup dan kematian ibu dan anak. Selain itu, kematian ibu dan anak dipengaruhi oleh pembentukan keluarga yang masih dini.
Oleh karenanya, ia menyatakan, pihaknya mendorong agar adanya perubahan Undang-Undang No 7 Tahun 1974. Yaitu, usia pernikahan dinaikkan menjadi 21 tahun dari yang awalnya 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Wismaningsih menegaskan bahwa pernikahan dini tidak membuat pihak laki-laki dan perempuan siap dalam membentuk keluarga yang utuh. “Kita sudah membuat rekomendasi dan mengusulkan ke pusat agar UU tersebut diubah,” katanya.
Ketua MUI NTB Syaiful Muslim mengatakan, pihaknya mendukung program pendewasaan usia pernikahan. Pasalnya, usia pernikahan dini ditengarai hanya bisa bertahan selama satu tahun.
Syaful mengatakan, MUI mendorong agar pemuda berpikir jernih terhadap usia perkawinan. “Pendewasaan usia perkawinan lebih banyak maslahat ketimbang mudharatnya,” ujar Syaiful.
Ia menuturkan, keberadaan media sosial menjadi salah satu pemicu terjadinya pernikahan dini. Pasalnya, masyarakat dengan mudah bisa mengakses informasi dan menerima pengaruh-pengaruh yang kurang sesuai dengan budaya masyarakat setempat pada khususnya. rep: Muhammad FAuzi Ridwan ed: Andi Nur Aminah