Jumat 31 Oct 2014 13:00 WIB

UU Perubahan Iklim Mendesak

Red:

YOGYAKARTA — Regulasi pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk mencegah perubahan iklim di Indonesia dinilai tumpang tindih. Badan Pengelola (BP) REDD+ Indonesia, lembaga kepanjangan tangan PBB terkait pencegahan perubahan iklim, menilai Undang-Undang (UU) Perubahan Iklim perlu segera direalisasikan.

Deputi Operasi BP REDD+ Indonesia William Sahbandar mengatakan, legal framework dalam mengatur pengelolaan SDA secara berkelanjutan di Indonesia sangat dibutuhkan. "Yang terjadi saat ini UU yang tumpang tindih," ujar William, Kamis (30/10), di Yogyakarta.

William mencontohkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bernuansa eksploitatif. Selain itu, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan sangat proaktif.

Kedua UU yang bertentangan tersebut, Willam melanjutkan, akan jadi masalah pada masa datang. Oleh sebab itu, RUU Perubahan Iklim ia nilai penting untuk menjadi payung hukum terkait pengelolaan dan pemeliharaan SDA.

Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo mengatakan, RUU Perubahan Iklim sedang disusun dan dipersiapkan agar dapat menjadi pegangan. Menurutnya, isi dalam RUU tersebut harus lengkap karena isu perubahan iklim sangat luas.

Ia mengatakan, hal yang diatur dalam RUU tersebut, di antaranya regulasi soal faktor yang mendorong perubahan iklim. Selain itu, berisi bagaimana mengendalikan faktor pendorong perubahan iklim. "UU perubahan iklim harus memperjelas mitigasi dan adaptasi serta adaptasi yang disesuaikan dengan sektornya," katanya.

Desa hijau

Selain itu, program Desa Hijau yang dicanangkan BP REDD+ mulai menunjukkan hasil di Kalimantan Tengah. Hasil positif tersebut ditunjukkan dengan adanya pemetaan tematik kawasan hutan, gambut, dan aset lahan masyarakat.

Di samping itu, tersusun tiga modul belajar dan kurikulum sekolah hijau untuk siswa SD serta rencana pembangunan jangka menengah desa untuk akomodasi lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Sekda Provinsi Kalteng Siun Jarias mengatakan, hasil yang dicapai dalam implementasi Desa Hijau REDD+ membuktikan, masyarakat Kalteng responsif dan siap menghadapi isu global perubahan iklim. Provinsi ini, katanya, merupakan proyek percontohan di Indonesia.

"Pemprov Kalteng berharap BP REDD+ memprioritaskan pelaksanaan program nasional perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat pada 1 September 2014 lalu," ujar Siun di Palangkaraya, kemarin.

Program tersebut merupakan hasil kerja sama antara United Nation Development Program (UNDP) bersama BP REDD+ dan Kemitraan. Selain itu, kegiatan ini juga mendapat dukungan dari Pemerintah Norwegia, pemerintah daerah, dan LSM lokal. n c67 rep: andi muhammad ikbal ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement