Kamis 23 Oct 2014 12:00 WIB

Penegakan Hukum Pencemaran Citarum Lemah

Red:

BANDUNG -- Pencemaran di Sungai Citarum, Jawa Barat, tak kunjung teratasi. Penerapan hukum yang tak tegas dinilai jadi sebabnya. Bupati Bandung Dadang Naser mengatakan, selama ini tidak ada hukuman yang diberikan dengan tegas kepada para pelaku pencemaran sungai tersebut. Pengawasan dan penindakan terhadap pengusaha nakal dan masyarakat juga ia nilai kurang tegas sehingga tidak menimbulkan efek jera.

''Masih sebatas gertak sambal,'' ucap Dadang dalam rapat koordinasi program Citarum Bestari dan Sabilulungan Raksa Desa, di Gedung M Toha, Soreang, Rabu (22/10). Ia mengungkapkan, para pelaku, terutama dari kalangan industri, lebih memilih menyuap oknum Rp 10 juta–Rp 20 juta ketimbang harus mengeluarkan anggaran Rp 1,5 miliar sampai Rp 2 miliar per tahun untuk pengolahan limbah.

"Nggak ada yang selesai. Selesai tapi tidak dihukum. Dituntut tinggi oleh jaksa, divonisnya ringan. Kasihan rakyat Citarum,'' kata Dadang. Menurut Dadang, pencemaran Citarum dari industri disebabkan sejumlah hal, di antaranya perusahaan-perusahaan yang berdiri di dekat Citarum sebagian tak memiliki instalasi pembuangan air limbah (IPAL).

Kemudian, IPAL yang dibangun perusahaan-perusahaan tersebut juga tak memenuhi standar dan dibuat asal jadi. Selanjutnya, ada perusahaan yang memiliki IPAL, tapi tak dioperasikan. ''Kalau dijalankan takut rugi karena harus bersaing harganya,'' paparnya.

Limbah rumah tangga juga berperan mencemarkan sungai. Saat ini, baru 59,7 persen rumah yang memiliki sanitasi yang baik, 48,2 persen menggunakan septik tank, dan 11 persen masih menggunakan coblong atau langsung ke sungai.

Selain permasalahan pencemaran, ada juga persoalan lahan kritis, sedimentasi, dan banjir. Berdasarkan data Pemkab Bandung pada 2010, lahan kritis di sekitar Citarum mencapai 59.969,39 hektare. Pada 2015, diproyeksikan lahan kritis meningkat hingga 37.892.71 hektare yang tersebar di 25 kecamatan dengan 129 desa.

Luas DAS Citarum mencapai 6.614 kilometer persegi. Ia membentang dari Gunung Wayang sampai Tanjung Karawang sepanjang 269 kilometer.

Dadang juga mengkritisi pola tanam masyarakat yang tidak ramah lingkungan, masih bersifat sporadis, dan tidak menggunakan sistem terasering. Hal tersebut dapat membuat tingkat sedimentasi menjadi tinggi serta meningkatkan potensi terjadinya longsor.

Dadang menambahkan, di daerah Gunung Lodaya sampai Cikembang, sudah tidak ada lagi pohon-pohon dan perkebunan yang jadi tegak. Sebelumnya, di lokasi itu sebelumnya banyak pohon kina yang ditanam perkebunan Nusantara XIII. Penggundulan hutan di sekitar Citarum juga dipengaruhi perambah hutan.

Menurut pendataan Pemkab Bandung, laju penurunan hutan di sekitar Citarum mencapai 8,6 persen per tahun. Sementara, peningkatan lahan permukiman sebesar 11,5 persen per tahun.

Menurut Dadang, penyelesaian persoalan Citarum harus dilakukan secara komprehensif, tidak sepihak-sepihak, maupun secara terpisah. Jika tak demikian, permasalahan sungai terpanjang di Jawa Barat itu tak akan terselesaikan.

''Karena itu, mesti serius dan jangan parsial dalam penanganannya,'' kata Dadang Naser. Pihak-pihak terkait, seperti penegak hukum, dinas pertanian, dinas peternakan, BPLD, serta balai besar wilayah Sungai Citarum, menurut Dadang, harus bekerja sama.

Menurut Kepala BPLHD Jawa Barat Anang Sudarna, kualitas tujuh sungai di sekitar Sungai Citarum tercemar berat. Sungai-sungai yang tercemar itu melintasi lima kecamatan dan sejumlah desa. Di antaranya 11 desa di Kecamatan Majalaya, 12 desa di Kecamatan Paseh, 12 desa di Kecamatan Pacet, 13 desa di Kecamatan Ibun, dan 8 desa di Kecamatan Kertasari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement