Kamis 24 Jul 2014 12:00 WIB

KPK dan DPD Tolak UU MD3

Red:

JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menolak Undang-Undnag MPR, DPR, DPD, dan DPDR (UU MD3). Dua lembaga itu sepakat akan menguji aturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kepala DPD Irman Gusman mengatakan, pengujian tidak hanya terbatas pada kewenangan DPD dalam UU MD3, tetapi terkait dengan aturan yang akan membatasi peran KPK, Badan Pemeriksa Keuangan, dan lembaga hukum lain.

"Secara menyeluruh. Supaya kita bisa menghasilkan UU yang baik, berkualitas, dan dapat bekerja, tidak menyimpang," kata dia seusai membahas UU MD3 di gedung KPK, Rabu (23/7).

Irman menuturkan, UU MD3 merupakan ruh atau elemen dasar pengelolaan lembaga negara. Kendati demikian, kualitas aturan itu sangat buruk. Adanya pasal-pasal yang buruk bermuara pada proses pembahasan UU MD3.

DPD sudah mempelajari UU MD3 Tahun 2003 dan 2009. Menilik dari dua aturan sebelumnya, Irman menyatakan, proses lahirnya UU MD3 yang disahkan pada 8 Juli lalu kurang transparan, diskriminatif, dan hanya berdasarkan kepentingan diri sendiri serta tidak akuntabel.

Akibatnya, Irman menyatakan, UU MD3 tidak menerapkan prinsip keadilan dan transparan. "Sangat political transactional serta jauh dari hal-hal ideologis yang berdimensi agar Indonesia lebih baik," kata dia.

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, penolakan berdasarkan proses pengesahan UU MD3. Dia menilai, pembahasan dan pengesahan UU MD3 terkesan terburu-buru, yaitu 8 Juni-8 Juli 2014. Teknis pembahasan UU MD3 juga tidak transparan lantaran hanya memberikan waktu sekitar dua jam kepada DPD untuk ikut membahas.

"Secara garis besar, kami sepakat setelah pertemuan ini KPK dan DPD akan bersama-sama melakukan penolakan secara resmi atas disahkannya UU MD3," kata Busyo. KPK menyayangkan isi UU MD3 hanya  menampakkan kepentingan perlindungan internal anggota DPR.

Ada ciri mengorupsi konstitusi dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam UU MD3. Dia mencontohkan, Pasal 224 terkait hak imunitas anggota DPR. Busyro mengkhawatirkan hak ini bakal mengganggu pengusutan kasus korupsi.

Menurut Busyro, UU MD3 juga berpotensi menarik penyidikan tindak pidana korupsi ke delik-delik umum. Karena itu, KPK ingin memulihkan marwah DPR sebagai institusi pilar demokrasi. "Sekaligus memulihkan hak-hak konstutisional KPK, DPD, kepolisian, BPK, dan kejaksaan yang di dalam pasal-pasal tadi betul-betul dibajak," kata dia.

Beberapa pihak sudah menyatakan penolakan terhadap UU MD3. Perlawanan terhadap UU MD3, di antaranya terkait kewenangan DPD. UU MD3 tidak mengakomodasi kepentingan DPD dalam proses pembahasan rancangan undang-undang (RUU). Padahal, menurut Irman, MK sudah mengamanatkan agar DPR melibatkan DPD dalam proses pembahasan RUU yang berkaitan dengan daerah.

Beberapa pasal dalam undang-undang itu juga bermasalah. Selain terkait hak imunitas, yaitu proses pemeriksaan anggota DPR yang bersinggungan dengan urusan pidana harus seizin dengan Majelis Kehormatan Dewan. MKD merupakan  lembaga pengganti Badan Kehormatan DPR.

Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil juga mengritik Pasal 80 mengenai penambahan hak mengajukan anggaran untuk daerah pemilihan. Aturan itu rawan penyimpangan karena tidak jelas mekanisme penganggaran, pengawasan, dan implementasinya.

Kritikan lain, yaitu penghilangan sejumlah pasal seperti kewajiban pelaporan anggota DPR pada basis daerah pemilihan, keberadaan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), dan keterwakilan perempuan dalam posisi pengambilan keputusan dengan menyebutkan frasa "memperhatikan keterwakilan perempuan". n c87 ed: ratna puspita

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement