Kamis 26 Jan 2017 15:00 WIB

Mencermati Kebijakan Trump

Red:

Ada yang menarik untuk dicermati dalam pidato inagurasi pelatikan presiden ke-45 AS Serikat (AS) Donald Trump, pada 20 Januari 2017. Dalam pidatonya yang berdurasi sekitar 17 menit, pria berusia 70 tahun itu berjanji kepada 800 ribu warga AS yang menyaksikan secara langsung, bahwa mereka akan selalu menjadi prioritas utama atas kebijakan yang dibuatnya.

Baik itu kebijakan di bidang perdagangan, pemberlakuan tarif pajak, imigrasi, maupun kebijakan luar negeri akan dibuat untuk memberikan manfaat bagi pekerja dan keluarga di AS. Namun di antara kebijakan itu, hanya kebijakan luar negeri yang tidak disinggung Trump secara perinci. Padahal, kalau boleh saya istilahkan, presiden AS itu adalah presiden kebijakan luar negeri.

Dalam konteks ini, Trump hanya menyebut bahwa Negeri Paman Sam akan tetap menjalin persahabatan dan niat baik dengan seluruh negara di dunia. Tetapi pada praktiknya, Trump menambahkan, hal itu harus dilakukan dengan menempatkan kepentingan AS sebagai prioritas.

America First

Meski kebijakannya miskin retorika dan terkesan plinplan, Trump memiliki konsistensi sikap dalam hal kebijakan luar negeri. Pada 1980-an silam, misalnya, Trump pernah mengkritik kebijakan pertahanan AS dan mendesak agar negara itu berhenti mengeluarkan anggaran untuk membela negara lain, yang mampu membela diri sendiri. Ini sama dengan apa yang diucapkannya sekarang, baik ucapan ketika ia masih menjadi capres Republik maupun saat terpilih menjadi Presiden AS.

Trump sebagai contoh pernah mengatakan, "Negara-negara yang kita lindungi mesti membayar ongkos perlindungan ini.  Jika tidak, AS harus bersiap untuk membiarkan negara-negara ini melindungi diri mereka sendiri. Kita tidak punya lagi pilihan. " Bahkan, ketika mengomentari hubungan Jepang-AS, Trump menegaskan, "Jika kita diserang, mereka tidak perlu datang untuk membantu pertahanan kita. Jika mereka diserang, kita harus datang untuk sepenuhnya membantu pertahanan mereka." Dan ini menurut Trump merupakan persoalan bagi AS.

Tak hanya itu, Trump juga mengatakan bahwa pembahasan baru akan diadakan bersama dengan sekutu-sekutu AS di NATO, demi mempertajam lagi struktur organisasi pakta pertahanan ini serta membahas penyeimbangan kembali pendanaan AS dalam pakta ini.

Thomas Wright (2016), seorang pakar kebijakan luar negeri dari Brookings Institution di Washington, pernah meneliti puluhan wawancara, pidato, pernyataan, serta iklan surat kabar untuk memahami kebijakan luar negeri Trump. Hasil dari penelitian itu menyebutkan bahwa pandangan politik dunia Trump tidak pernah berubah selama tiga dekade terakhir.

Pandangan Trump yang tidak berubah itu disebut Wright sebagai "isolationist ideology". Wright setidaknya membagi ideologi isolasionis Trump ini menjadi tiga komponen: opposition to US alliances;  opposition to free trade; dan support for authoritarianism. Dalam penilaian Wright, tiga pandangan ini, jika diterjemahkan ke dalam kebijakan luar negeri Trump, bisa menyingkirkan tatanan internasional liberal AS  yang telah dibangun setelah Perang Dunia II.

Itu berarti, Trump akan mengembalikan realisme kebijakan luar negeri AS dengan lebih bergigi. Hal yang menurut Trump tidak tampak dalam kebijakan luar negeri Barack Obama.

Terkait pandangan pertama, Trump akan kritis terhadap aliansi internasional AS dan mungkin akan dilepaskan. Kedua, Trump akan menentang setiap perjanjian dagang dengan negara lain yang merugikan dan ingin menggunakan tarif serta sanksi, untuk mereformasi tata ekonomi internasional agar sesuai dengan kepentingan ekonomi AS. Dan ketiga, Trump akan menjadi lebih dekat dengan sejumlah rezim otoriter yang bersahabat, khususnya Rusia.

Merujuk pada Wright, tak berlebihan kiranya jika perkataan Trump tentang America First atau AS Serikat, yang didahulukan sangat pas disebut sebagai doktrin kebijakan luar negeri Trump.

Respons Indonesia

Doktrin kebijakan luar negeri Trump yang akan mendahulukan kepentingan AS (America First), memiliki konsekuensi besar terhadap negara lain yang dinilai tidak bersahabat dan tidak menguntungkan AS. Banyak arena internasional yang akan dipertaruhkan, mulai dari NATO dan aliansi keamanan AS dengan Jepang dan Korea Selatan sampai Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Trump rupanya akan 'menambah tingkat ketidakpastian yang tinggi' di seluruh dunia.

Jika ini tidak dicermati dengan taktis dan cerdas, Indonesia pun bisa terkena imbas dari kebijakan luar negeri Trump. Menurut hemat penulis, di antara tiga komponen Wright soal kebijakan luar negeri Trump, yang mungkin bisa memberikan imbas besar pada Indonesia adalah yang kedua: opposition to free trade.

Trump diketahui memang sangat antiglobalisasi. Jadi, arah kebijakan luar negerinya pada arena perdagangan internasional cenderung isolasionis dan protektif. Trump, misalnya, berencana untuk tidak melanjutkan perjanjian kemitraan ekonomi strategis Trans-Pasifik atau TPP. Kebijakan ini memang tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap Indonesia. Namun, Pemerintahan Jokowi harus tetap waspada dan terus memperhatikan dengan saksama karena di bawah Trump, AS akan lebih selektif dalam membangun kerja sama perdagangannya dengan negara lain.

Selain itu, langkah Trump untuk melindungi produk dan lapangan kerja warga AS juga bisa memberikan efek bagi Indonesia. Efek ini mencakup pengurangan investasi AS di negara-negara, yang upah buruhnya murah sebagai cara untuk menyerap tenaga kerja di dalam negeri AS. Apalagi, sebagian pemilih Trump adalah golongan pekerja yang mengandalkan kekuatan fisik, dan tenaga kerja ini tidak terlalu begitu diuntungkan oleh proyek-proyek global.

Sebagaimana diketahui, setelah mencapai puncaknya pada 2013, investasi AS Serikat di Indonesia terus mengalami penurunan periode 2014-2016. Investasi asing yang berasal dari Negeri Paman Sam pada 2013 mencapai 2,4 miliar  dolar AS, meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Namun, setelah itu, terus mengalami penurunan meskipun jumlah proyeknya bertambah. Hingga triwulan III 2016, nilai investasi AS di Indonesia hanya mencapai 430 juta dolar AS dengan 343 proyek. Ketidakpastian ekonomi global serta turunnya harga minyak hingga di bawah  30 dolar AS per barel, membuat investasi AS di Tanah Air menyusut (katadata.co.id). 

Investasi AS di Indonesia sepanjang Januari-september 2016 berada di urutan 10, dan masih jauh dari Investasi asing terbesar di Indonesia yang berasal dari Singapura dengan nilai 7,1 miliar dolar AS. Tetapi sejak Oktober 2016, AS telah berniat melakukan peningkatan investasi ke Indonesia sebesar 2,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 32 triliun. Investasi tersebut meliputi sektor makanan, minuman, dan tembakau; hilirisasi agro; alat berat; serta sektor kertas dan percetakan (katadata.co.id). Oleh karena itulah, Presiden Jokowi dituntut responsif dan bisa memastikan serta meyakinkan Presiden Trump, agar rencana investasi AS itu tidak diturunkan, apalagi jika sampai dibatalkan.

Asrudin Azwar

Pengamat Hubungan Internasional dari The Asrudian Center

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement