Jumat 28 Mar 2014 12:13 WIB

Partai Islam Menentukan Tiket Capres

Hatta Rajasa
Foto: Republika/Adjie Sambogor
Hatta Rajasa

REPUBLIKA.CO.ID, Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa mendatangi kantor redaksi Republika di Jakarta, Kamis (27/3). Sambil beramah-tamah, Hatta memaparkan pandangan politiknya. Berikut petikan wawancaranya.

Menurut Anda, apa perbedaan kondisi pemilu yang dulu dan sekarang?

Sekarang ini, tinggal beberapa hari lagi pemilu dilaksanakan, belum ada capres yang popularitas dan elektabilitasnya mencapai 40 persen. SBY dulu mendekati 50 persen. Nah, pertanyaan kritisnya kemudian adalah ada apa dengan Indonesia? Saya melihat, ada capres yang dipompa seperti apa pun tidak akan pernah lebih dari 30 sekian persen. Secara scientific, bisa saja orang masih menunggu adanya momentum yang bertemu dengan persepsi yang pas. Maksud saya, publik masih ada yang menunggu munculnya figur kejutan. Kita tidak tahu. Tapi kalau kita diam saja, maka yang ada sekarang ini sudah dianggap terbaik. Ya akhirnya kita ikut saja. Ya sudah sampai di situ. Tapi ingat, ada istilah yang menyebutkan bahwa kualitas buku bagus tapi under value alias nilainya di bawah nilai yang seharusnya. Bagi saya, ini menandakan akan ada perubahan yang sangat cepat. Nanti setelah pileg bisa saja akan ada kejutan yang tidak disangka-sangka. Kita lihat nanti.

Maksud Anda bakal muncul figur baru yang sekarang belum terlihat?

Kalau kita kembalikan kepada sejarah, memang butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengubah situasi. Menggeser peradaban itu perlu ratusan tahun. Reformasi agrarian tercipta setelah 400 tahun. Kemudian revolusi industri juga demikian. Nah, sekarang, perubahan terjadi dalam waktu yang cepat. Di dunia politik sekarang ini, perubahan dapat terjadi dalam hitungan yang sangat singkat. Ada adagium politik bahwa satu hari bisa mengubah dunia. Di Spanyol, perdana menteri yang sangat populer bisa langsung jatuh hanya karena kasus kecelakaan kereta api. Di Mesir juga seperti itu. Ikhwanul Muslimin berkuasa sangat singkat. Ada orang tidak nyaman bersatu yang akhirnya menjatuhkan Ikhwanul Muslimin. Inilah yang saya katakana kalau yang bermain sekarang ini adalah persepsi. Apa persepsinya? Begitu ada peristiwa, momentum, kemudian bertemu dengan persepsi yang pas. Akhirnya, terjadilah (perubahan).

Cara membangun persepsi?

Bangun kebersamaan. Irak memiliki perdana menteri syiah. Wakilnya dari sunni. Presidennya kurdi. Ketua parlemen sunni. Semuanya ini bisa bersatu karena dikemas dengan adanya musuh bersama agar tidak ada penjajahan. Jadi, kita perlu kebersamaan. Ada PAN, PKB, PPP, dan PKS. Kita paling bisa memiliki kebersamaan. Parpol Islam ini bisa menentukan. Apalagi, nanti untuk mengusung calon presiden itu kan butuh syarat 20 persen kursi parlemen. Partai-partai nasionalis relijius seperti PAN, PKB, PPP, dan PKS tentu bisa menentukan capres mana yang maju.

Platform partai Islam mampu menciptakan kebersamaan?

Semuanya sudah berubah. Dulu, di Eropa ada partai yang lahir dari akar komunitas agama. Partai katolik demokrat. Partai sosialis demokrat. Tapi, ada juga yang lahir dari akar yang berbeda. Ketika berkuasa, partai-partai itu sama-sama mengarah kepada kebersamaan yang tujuannya memperbaiki kualitas hidup rakyat. Kualitas hidup yang lebih baik tentu ditandai dengan semakin meratanya kesejahteraan dan keadilan di bidang ekonomi. Saya melihat, Indonesia mengalami hal itu sekarang. Ada partai nasionalis dan relijius. PDIP misalnya, meskipun partai nasionalis, tapi memiliki baitul muslimin. Partai islam juga begitu. Kita ikut menuangkan pemikiran tentang Pancasila. Jadi, jangan lagi berpatokan kepada platform partai karena semuanya sudah berubah. Semakin ke sini, masyarakat juga semakin cerdas. Masyarakat pada akhirnya memiih partai yang memperjuangkan kesejahteraan mereka.

Kualitas hasil pemilu sekarang semakin tidak bagus. Anda setuju?

Pemilu pasti akan menghasilkan orang-orang yang dipilih dari setiap parpol. Semua partai ingin menghadirkan kader terbaiknya. Dulu, ketika awal reformasi, PAN maju ke depan. Ketika itu sistemnya tidak memilih orang. Yang dipilih adalah partai. Lahirlah tokoh-tokoh terbaik berada di depan. Dengan sistem yang begitu saja, PAN hanya memiliki 34 kader di parlemen. Tapi kualitasnya bisa dibilang yang terbaik semua. Demikian juga PKS yang ketika itu hanya tujuh orang. Tapi akhirnya kita bergabung. Semuanya militan dan bagus. Nah, pemilu berikutnya sama, tapi ditambah orang-orang hebat. Cuma, sistemnya berubah. Yang bagus-bagus tadi rontok semua. Mungkin karena terlalu pusing dengan urusan partai dan sibuk memikirkan tugas parlemen. Mereka lupa ada konstituen yang harus diperhatikan.

Salahnya dimana?

Pada 2004 lalu, ada pengambilan posisi. Orang-orang populer direkrut. Akhirnya yang jadi seperti saat ini. Kader-kader terbaik kami seperti Didik J Rachbini, Abdillah Toha, tidak terpilih. Drajad Wibowo bahkan tidak maju. Ditambah lagi pikiran umum orang yang tidak menjadikan partai sebagai first base. Partai dianggap bukan tempat baik untuk manusia terbaik. Depolitisasi terjadi sangay dahsyat. Akhirnya, rekrutmen politik tidak mendapatkan yang terbaik. Kader-kader terbaik justru lari ke LSM. Kan aneh ada yang bilang kalau ada rekrutmen tokoh presiden, maka tidak boleh yang partisan. Orang ingin jadi presiden tapi tidak mau bergabung ke parpol. Ini kan berarti ada masalah yang luar biasa sedang terjadi. Krisis politik inilah yang harus diperbaiki. Karena itu, ke depan PAN akan mengusulkan sistem one man to vote di setiap distrik. Jadi nanti partai yang akan memilih kader mana yang terbaik yang duduk di parlemen. Jadi, nanti kader-kader terbaik partai yang tampil di depan. Kita otokritik juga sama PAN. Kita ingin perbaikan. Indonesia bagus begitu. Kalau tidak, pengurus partai yang hebat akhirnya hanya capek ngurus partai, tidak terpilih. Bisa kalah sama (artis) Soimah nanti.

Kenapa harus melalui parpol?

Parpol punya gagasan. Kami di PAN menggagas reformasi gelombang II. Kita saat ini sedang menjalankan reformasi struktural. Ini reformasi pemikiran, bukan lagi harus mendudukkan parlemen. Fokusnya politik kesejahteraan, pemerataaan kesejahteraan. Ini yang kami usung. Ada delapan agenda. Semuanya terangkum dalam lima agenda reformasi dan tiga konsolidasi. Agenda reformasi pertama adalah reformasi agraria. Arahnya revitalisasi tata guna lahan langsung demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kalau tidak dilakukan maka akan timpang. Ketimpangan jauh. Ada yang menguassai satu juta hektar lahan. Bayangkan, ini sama dengan 150 kali luas Singapura. Tapi ini juga bukan berarti bagi-bagi lahan. Semua bermuara pada keadilan. Harus adil. Selain itu juga harus mengarah kepada peningkatan kesejahteraan.

Kedua, reformasi industri. Arahnya adalah hilirisasi industri dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor. Harus juga membangun industri yang bernilai-tambah. Manufaktur berbasis sumber daya alam lokal. Ini termasuk reformasi pengelolaan sumber daya alam dan energi. Renegosiasi sebagai pilar mengembalikan kedaulatan. Pak Boy (Presiden Direktur PT Adaro Energy Garibaldi Thohir, Red) membayar royalti 13,5 persen. Ini terbesar di dunia. Tapi, ada yang bayar cuma satu persen. Ini kan timpang. Padahal, royalti itu adalah simbol kedaulatan negara. Ada hak negara di sana. Ini adalah hilir sebuah reformasi.

Kemudian reformasi pertanian. Hal ini diarahkan kepada pembangunan kedaulatan pangan demi kesejahteraan rakyat. Kelima adalah reformasi birokrasi. Kita inginkan pelayanan publik yang efisien. Lalu tiga agenda konsolidasi adalah konsolidasi demokrasi yang harus memupus oligarkhi dalam kapitalisme, otonomi daerah yang harus diperkuat, dan konsolidasi semangat nasionalisme baru. Kita tidak bisa hanya berteriak-teriak larang buah ini larang buah itu. Impor ini tidak boleh masuk, impor itu tidak boleh masuk. Karena hal seperti itu hanya akan melahirkan sikap serupa. Kita larang impor jeruk masuk, besoknya sawit kita tidak bisa masuk ke negara lain. Yang perlu dilakukan adalah silakan jeruk impor masuk, tapi saya akan tetap makan jeruk Pontianak. Kita bangun kembali keberpihakan terhadap produk lokal sekaligus meningkatkan kualitas agar mampu bersaing dengan produk impor. Pasar bebas tidak terhindarkan lagi ke depan.n ed: eh ismail

Informasi dan berita lain selengkapnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement