Rabu 26 Mar 2014 12:07 WIB

Mandeknya Pengembangan Biodiesel

Biodiesel (ilustrasi)
Foto: olipresses.net
Biodiesel (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) agar memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan adalah peningkatan porsi penggunaan biodiesel dalam solar. Upaya ini merupakan bagian dari paket kebijakan stabilisasi ekonomi yang diluncurkan pada Agustus 2013.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, terdapat empat kendala utama yang membayangi upaya peningkatan porsi biodiesel hingga 10 persen dalam penggunaan energi di dalam negeri.

Pertama, konsistensi dan koordinasi lintas pemerintah dalam mendorong pemanfaatan biodiesel lemah. Fadhil mencontohkan perbedaan kebijakan yang diambil oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Perindustrian. Di satu sisi, Kementerian ESDM mendorong penggunaan biodiesel. Sementara, di sisi lain, Kemenperin mendorong produksi mobil murah dan ramah lingkungan (LCGC).

Kedua, harga biodiesel. Menurut Fadhil, sebelumnya biodiesel disubsidi oleh pemerintah karena harga yang lebih tinggi dibanding solar. Akan tetapi, saat ini subsidi tidak lagi diberikan. Selain itu, PT Pertamina (Persero) saat melakukan tender biodiesel selalu menggunakan patokan Mean of Plats Singapore (MOPS) dalam menentukan harga biodiesel.

“Sehingga, produsen biodiesel yang mau jual ke Pertamina pasti rugi. Ini jadi persoalan dalam pemanfaatan biodiesel. Seharusnya, di negara manapun yang maju dalam biodieselnya, pemerintah harus beri insentif, subsidi. Di Indonesia, pemerintah belum mau memberi subsidi sehingga menggunakan MOPS. Padahal, ini dua pasar yang berbeda. Satu pasar solar, satu pasar biodiesel,” ujar dia, Selasa (25/3).

Ketiga, minimnya upaya untuk meningkatkan permintaan (creating demand). Fadhil menjelaskan, seharusnya pemerintah membuat kebijakan, seperti mewajibkan industri otomotif mengembangkan teknologi flexi fuel vehicle (FFV). Teknologi tersebut memungkinkan penggunaan dua jenis bahan bakar sekaligus, yaitu biodiesel dan nonbiodiesel.

“Pemerintah tidak berani wajibkan ini. Yang dikembangkan adalah LCGC yang bukan mobil ramah lingkungan karena masih menggunakan BBM,” kata dia. Keempat, masalah infrastruktur. Stasiun pengisian bahan bakar yang menyediakan biodiesel hingga 10 persen baru dapat ditemukan di beberapa tempat.

Menurut dia, bila keempat kendala tersebut dapat dipecahkan pemerintah dan terjadi substitusi BBM ke bahan bakar nabati (BBN), akan terjadi revolusi dan memberi dampak ke berbagai indikator makroekonomi, terutama yang terkait defisit transaksi berjalan. Dengan 10 persen saja, defisit transaksi berjalan bisa turun. Dampak lainnya adalah penciptaan tenaga kerja hingga kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) Indonesia di pasar internasional.

Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo menambahkan, realisasi biodiesel pada 2013 berada di kisaran 100 ribu sampai 150 ribu kiloliter (kl). Jika dikalikan dengan 125 dolar AS per barel, impor BBM yang berkurang sebesar 78,6 juta dolar AS sampai 98,25 juta dolar AS. “Sebab, berapa pun jumlah biodiesel yang dicampur ke solar, jelas mengurangi impor,” kata dia. Untuk 2014, rencana pengurangannya sekitar 4,2 juta kl atau sekitar 3,1 miliar dolar AS.n muhammad iqbal ed: fitria andayani

Informasi dan berita lain selengkapnnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement