Sabtu 15 Mar 2014 12:00 WIB

Freeport dan Pemerintah Belum Sepakat

Sejumlah truk milik PT Freeport Indonesia terparkir di Grasberg, Tembagapura, Timika, Papua.
Foto: Antara
Sejumlah truk milik PT Freeport Indonesia terparkir di Grasberg, Tembagapura, Timika, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - PT Freeport Indonesia (PTFI) dan pemerintah masih belum menemui kata sepakat dalam renegosiasi kontrak karya. Perseroan masih keberatan dengan sejumlah poin dalam kontrak baru yang diajukan pemerintah.

VP Corporate Communications PTFI Daisy Primayanti mengatakan, pihaknya masih terus berdiskusi dengan pemerintah mengenai renegosiasi kontrak karya. “Kami bahas semuanya, mengenai operasi kami saat ini, rencana ke depan, dan seluruh aspek kontrak karya yang ditawarkan,” kata dia kepada Republika, Jumat (14/3).

Daisy berkata, pihaknya dengan pemerintah meninjau kontrak dengan mempertimbangkan kebutuhan investasi jangka panjang dan aspirasi nasional. Hasil diskusi, kata dia, akan disampaikan setelah peninjauan selesai dilakukan.

Sebelumnya, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto menjelaskan, masih terdapat beberapa isu yang menjadi ganjalan bagi Freeport. Salah satunya adalah soal pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam negeri.

Menurutnya, sekarang sekitar 35 sampai 40 persen barang tambang Freeport telah diolah di smelter yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur. Rozik pun menjelaskan, Freeport sedang melakukan pembicaraan dengan calon investor yang berminat membangun smelter di Indonesia.

Isu lainnya yang dibahas dalam renegosiasi kontrak tersebut adalah soal perpanjangan kontrak karya. Rozik menjelaskan cadangan mineral Freeport di permukaan akan habis pada 2015 mendatang. Sementara dari cadangan mineral sejumlah 2,5 miliar ton, 87 persen berada di bawah tanah.

Oleh karena itu, Freeport harus mengonversikan produksi 70 persen dari permukaan tanah dan 30 persen dari bawah tanah, menjadi 100 persen dari bawah tanah. Rozik mengatakan, sejak 2012 sampai 2021, Freeport merencanakan investasi sebesar 9,8 miliar dolar AS atau Rp 96,7 triliun untuk persiapan tambang bawah tanah.

Namun, kontrak perseroan akan berakhir pada 2021. Sehingga, perseroan meminta perpanjangan waktu agar tetap bisa mengelola tambang tersebut setidaknya sampai 2041. Menurutnya, tambang ini akan menjadi tambang bawah tanah yang mungkin terbesar di dunia dan cadangan terbukti yang sudah ada saat ini cukup sampai 2057.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R Sukhyar menyatakan, sejauh ini masih ada 87 perusahaan pertambangan lain yang renegosiasinya belum tuntas, termasuk PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Kementerian ESDM bertekad agar renegosiasi kontrak dengan seluruh perusahaan pertambangan beres sebelum Oktober.

Bila ada pengusaha yang tidak terima dengan kontrak baru maka kementerian mempersilahkan mereka untuk mengadu ke arbitase. Meskipun demikian, dia berharap pengusaha tambang dapat sedikit mengalah dan mengikuti undang-undang yang ditetapkan pemerintah. n n aldian wahyu ramadhan/muhammad iqbal/antara ed: fitria andayani

Informasi dan berita lain selengkapnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement