Rabu 05 Mar 2014 12:00 WIB

Bahasa Daerah Semakin Punah

Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).
Foto: Antara/Dewi Fajrian
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA --  Ratusan bahasa daerah yang ada di Indonesia, kian terancam punah. Di Indonesia diperkirakan ada sekitar 746 bahasa daerah. Namun yang berhasil dipetakan oleh Balai Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada 594 bahasa daerah.

Kepala Balai Bahasa DI Yogyakarta, Tirto Suwondo mengatakan, kebanyakan bahasa daerah yang punah berada di luar pulau Jawa.  ‘'Kemungkinan bahasa daerah yang belum dipetakan tersebut punah karena tidak ada pemakainya lagi,’’ kata Tirto di kantornya, Selasa (4/3).

Pemetaan bahasa daerah tersebut dilakukan sekitar tiga atau empat tahun lalu. Jumlah bahasa daerah di Indonesia, menurut peneliti asing maupun dari Indonesia , jumlahnya tidak sama. Data terakhir menyebutkan jumlahnya sekitar 726 bahasa.

Tirto mengatakan, dari 400 lebih bahasa daerah yang berhasil dipetakan, jumlah penutur yang lebih  dari satu juta orang hanya ada 13 bahasa.  Antara lain Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Bugis, Bahasa Minang, Bahasa Bali.

Salah satu penyebab punahnya bahasa daerah karena jumlah penuturnya semakin sedikit. Biasanya, kata Tirto, bahasa daerah hanya dikuasai oleh para orang tua.  Sedangkan anak dan cucu mereka, kehidupannya sudah modern sehingga banyak yang menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing. Tirto mengakui, bahasa daerah bisa tetap hidup selama penuturnya masih ada.

Bahasa Jawa, kata Tirto, pemakainya masih banyak. Namun dalam pergaulan anak-anak sekarang sudah tidak dipakai lagi. Untuk bahasa daerah yang jumlah pemakainya masih besar seperti  Jawa, Sunda dan Bali, di sekolah masih diajarkan. Bahkan untuk bahasa Jawa,  penuturnya tesebar di tiga provinsi yakni DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Karena itu, dia memperkirakan bahasa Jawa belum akan punah namun mengalami penurunan jumlah penutur. ‘’Bahasa Jawa punahnya mungkin masih ratusan tahun,’’ kata Tirto.

Di sekolah formal mulai dari SD hingga SMA, saat ini  masih ada pelajaran bahasa Jawa. Pemda setempat pun, kata dia, masih gencar melakukan pembinaan bahasa Jawa kepada para guru. Disamping penuturnya masih banyak, keuntungan lain bahasa Jawa karena jenisnya tidak banyak.

Berbeda halnya dengan di Nusa Tenggara Barat misalnya, yang memiliki ragam bahasa daerah hingga 20 jenis. ‘’Akibatnya, pemerintah kesulitan untuk memilih bahasa mana yang akan dibina,’’ kata dia.

Meski masih terbilang banyak penuturnya, bahasa Sunda juga tergolong bahasa yang terancam punah. Kepala UPTD Balai Pengembangan Bahasa Daerah Jawa Barat, Husen M Hasan mengatakan, sudah banyak warga atau para pemuda khususnya yang meninggalkan bahasa Sunda.

Menurutnya, salah satu pengaruh yang terbesar adalah budaya asing yang masuk melalui media internet. Hasan mengatakan, globalisasi tidak bisa dihindari tapi upaya pencegahan agar budaya lokal tidak tergerus arus bisa dilakukan. Caranya, kata Hasan, para orang tua diimbau untuk selalu menggunakan bahasa Sunda sehari-hari di keluarganya masing-masing.

Dukungan pemerintah Jawa Barat, melalui pelajaran muatan lokal bahasa daerah yang wajib diajarkan di tingkat SD hingga SMP juga sangat mendukung. ‘’Tapi itu hanya dua jam pelajaran seminggu. Jadi yang paling penting itu dari keluarga sehari-hari,’’ katanya.

Di Sumatera Selatan (Sumsel), ancaman kepunahan bahasa daerah belum terlalu mengkhawatirkan.Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumsel, Aminulatif Ikob, mengatakan berbagai bahasa daerah yang ada di daerah itu masih banyak penuturnya

Bahasa ibu di sejumlah daerah di Sumsel, kata dia, masih terus dipakai untuk berkomunikasi di masing-masing komunitas. ‘’Bahasa Palembang, bahasa Komering, bahasa Kayuagung, bahasa Enim dan bahasa Lintang bisa dengan mudah kita jumpai di tengah masyarakat,’’ katanya.

Peran pemerintah daerah dengan memasukkan bahasa daerah dalam mata pelajaran yang diajarkan setiap satu minggu sekali, diakuinya sangat membantu. Dengan cara ini, pelestarian bahasa daerah ke generasi muda diharapkan bisa tercapai.

Peneliti bahasa dan sastra Lampung, Evi Maha Kastri mengatakan, penggunaan bahasa Lampung secara lisan masih dipergunakan masyarakat terutama di daerah dan pinggiran kota. Sedangkan di perkotaan, ia menegaskan hanya kalangan tertentu terutama sesama orang Lampung yang menggunakannya.

Menurutnya, bahasa Lampung belum bisa dikatakan terancam punah, karena masih terpakai baik lisan dan tulisan di berbagai daerah atau ulun di Lampung. ‘’Saya kurang setuju kalau dikatakan terancam punah. Tapi,kalau terjadi pergeseran barangkali.  Terutama di perkotaan yang masyarakatnya multikultural,’’ ujarnya.  N neni ridarineni/maspril aries/mursalin yasland, c30 ed: andi nur aminah.

Informasi dan berita lain selengkapnya bisa dibaca di Republika, terimakasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement