Senin 24 Feb 2014 12:17 WIB

Hobi Bolos DPR Perlu Aturan Ketat

Sidang Paripurna Sepi
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sidang Paripurna Sepi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kursi-kursi di ruang sidang Kompleks Parlemen Senayan sudah tak lagi menarik diduduki para wakil rakyat. Apalagi, anggota DPR yang kembali mencalonkan diri pada pemilu 9 April. Mereka lebih memilih turun ke daerah pemilihan (dapil) ketimbang mengikuti rapat-rapat rutin di DPR.

Pantauan Republika selama sebulan terakhir, banyak sidang komisi yang didominasi kursi kosong ketimbang anggota DPR yang hadir. Peristiwa paling parah terjadi pada rapat paripurna, Selasa (18/2). Dari 560 anggota DPR, hanya 226 yang datang ke sidang paripurna. Kuota paripurna baru tercapai manakala waktu menunjukkan tengah hari.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung Wibowo mengaku kecewa dengan perilaku sebagian besar anggota DPR menjelang akhir periode. Pramono menilai perlu ada aturan lebih ketat untuk mencegah pemandangan lazim anggota membolos pada masa akhir jabatan.

Aturan perlu diperketat melalui revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD, DPD, dan Tata Tertib DPR. “Undang-undang yang ada sekarang kan sudah mengatur bahwa anggota yang enam kali berturut-turut tidak mengikuti rapat harus diberhentikan,” ujar Pramono, akhir pekan lalu. Menurut Pramono, aturan sanksi membolos ini memerlukan pengaturan perinci, terutama aturan yang memperkuat kewenangan Badan Kehormatan (BK) DPR.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, sepinya aktivitas di DPR menjelang pemilu legislatif merupakan kejadian lima tahunan yang terus berulang. Anggota dewan yang kembali maju pada Pemilu 2014 lebih memilih turun ke dapil masing-masing ketimbang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya di parlemen. “Ini seharusnya menjadi catatan bagi masyarakat agar serius dan tidak terpengaruh rayuan mereka dan tidak memilih caleg-caleg incumbent itu kembali ke DPR,” kata Lucius, Ahad (23/2).

Sikap masyarakat, menurut Lucius, sangat menentukan perubahan wajah DPR mendatang. Apalagi, ketentuan yang mengatur tata tertib anggota dewan yang tertuang dalam UU 27/2009 sudah cukup jelas. Lembaga parlemen yang dilengkapi BK DPR seharusnya bisa mengawasi, menyidang, dan menjatuhkan sanksi bagi anggota dewan yang melanggar aturan tersebut. “Aturan memang sudah ada, tapi belum pernah kami dengar anggota dewan mendapat hukuman karena lebih sibuk di dapil,” ujar Lucius.

Lebih parahnya, BK DPR sama seperti lembaga negara lain yang diisi oleh perwakilan dari partai politik. Lucius menyebutkan, BK DPR cenderung menjadi alat kelengkapan yang mandul. Penyebabnya tak lain karena anggota BK DPR juga diisi oleh perwakilan parpol. BK DPR pun cenderung lunak dan tidak bisa bersikap tegas terhadap rekan sesama kader partai.

Dalam kondisi demikain, masalah kehadiran, persidangan, dan target legislasi yang terbengkalai hanya menjadi catatan di BK DPR. Sedangkan, upaya untuk menyentil dan menghukum anggota yang malas dan curang hanya sebatas wacana.

Karena itu, satu-satunya harapan adalah sikap tegas dari masyarakat untuk tidak memilih caleg pemalas pada pemilu mendatang. Selain itu, kata Lucius, memang perlu aturan yang lebih tegas dengan mengubah UU 27/2009, khususnya mengenai aturan, tata tertib, dan etika anggota dewan.

Wakil Ketua DPR Sohibul Iman meminta fraksi-fraksi untuk memotivasi dan memaksa anggotanya hadir dalam kegiatan persidangan. Minimnya kehadiran anggota di persidangan bisa dicegah secara internal.

Sohibul melanjutkan, pimpinan DPR itu sifatnya seperti juru bicara. Artinya, tidak memiliki kewenangan memaksa dan hanya menjalankan fungsi koordinasi, mediasi, dan fasilitas. Pimpinan DPR, misalnya, hanya proaktif menyediakan perangkat aturan dan kode etik. “Harapannya, ada kesadaran etis atau moral dari para anggota DPR. Karena, sanksi yang ada selalu bisa diakali ketika kesadaran etis tidak ada,” ujar Sohibul.

Menurut Sohibul, pimpinan DPR secara rutin meminta fraksi-fraksi untuk memotivasi dan memaksa anggotanya agar patuh pada kode etik dan tugas yang diembannya. Namun, semuanya kembali pada kesadaran etis masing-masing anggota DPR. Dia juga meminta agar publik dan media terus mengawasi kinerja anggota legislatif agar memiliki kesadaran etis tinggi. Alasannya, kunci lahirnya tanggung jawab adalah dari tingginya kesadaran etis masing-masing anggota wakil rakyat.

Ketua Badan Kehormatan DPR Trimedya Panjaitan mengatakan, masa sidang Januari-Maret 2014 merupakan masa sulit dalam hal tingkat kehadiran anggota. Hal ini karena masa pemilu sudah semakin dekat. BK DPR sudah meminta fraksi agar mendorong anggotanya bisa membagi waktu antara tugas di dewan dan persiapan menghadapi pemilu. “Sehingga, kinerja wakil rakyat tetap berjalan sebagaimana mestinya menjelang hajatan demokrasi pada April,” katanya. n  riga nurul iman/ira sasmita ed: eh ismail

Informasi dan berita lainnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement