Selasa 28 Jan 2014 06:25 WIB
Persiapan Pemilu 2014

Tantangan Ekonomi di Tahun Pemilu

Spanduk sosialisasi pemilu terpasang di jalan Rawajati Timur, Jakarta, Ahad (29/12). jenis media sosial dan teknologi informasi bisa dimanfaatkan KPU untuk meningkatkan partisipasi, keingintahuan, serta aktifitas masyarakat dalam pelaksanaan pemilu 2014.
Foto: Tahta Aidilla/ Republika
Spanduk sosialisasi pemilu terpasang di jalan Rawajati Timur, Jakarta, Ahad (29/12). jenis media sosial dan teknologi informasi bisa dimanfaatkan KPU untuk meningkatkan partisipasi, keingintahuan, serta aktifitas masyarakat dalam pelaksanaan pemilu 2014.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Satya Festiani

Indonesia akan menghadapi pemilihan umum (Pemilu) tahun ini. Pemilu dinilai tidak akan mengganggu perekenomian Indonesia. Hal itu terlihat dari sejarah Pemilu di Indonesia.

Mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla (JK) mengatakan, Indonesia akan mengalami pemilu yang ke-10. Selama 60 tahun, pemilu hampir seluruhnya terjadi dalam damai. "Tak ada konflik besar. Hanya pada 1982 di Jakarta dan 1987 di Banjarmasin yang konflik," ujarnya. Oleh karena itu, menurutnya, adanya kekhawatiran bahwa pemilu akan mengganggu ekonomi, sedikit berlebihan.

Apalagi, menurut JK, pemerintahan baru yang akan terpilih pada pemilu kali ini  tidak akan mengubah kebijakan ekonomi yang diterapkan di Indonesia. Dia mengatakan, siapa pun pemerintahnya akan sangat pragmatis. "Tak mudah untuk mengambil kebijakan ekstrem. Kadang-kadang kebijakan ekstrem itu hanya dilakukan selama dua tahun dari lima tahun," ujarnya.

Masyarakat pun jangan mengharapkan pemerintah akan mengambil kebijakan yang tidak pro-rakyat, seperti menaikkan bahan bakar minyak (BBM). Ia mengatakan, tidak mudah untuk meminta calon presiden mengungkapkan kebijakan ekonomi secara gamblang, terlebih lagi untuk kebijakan yang tidak populis.

Namun, pemerintahan yang baru diharapkan berani mengubah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tengah mengalami defisit. Menurutnya, sistem ekonomi di Indonesia mengalami hal yang dilematis.

Sistem ekonomi mengikuti sistem politik yang terbuka, tetapi Indonesia memiliki subsidi yang tinggi. "Siapa pun boleh masuk ke Indonesia, tapi di lain pihak APBN sangat berat dengan anggaran yang penuh subsidi. Ruang pemerintah mengambil kebijakan sempit sekali," ujar dia.

Belanja pemerintah pusat pada 2014 terdiri atas belanja pegawai Rp 263,977 triliun, belanja barang Rp 201,88 triliun, belanja modal Rp 205,84 triliun, pembayaran bunga utang Rp 121,28 triliun, dan subsidi energi sebesar Rp 282,1 triliun. Belanja subsidi energi terdiri atas BBM Rp 210,7 triliun dan listrik Rp 71,4 triliun.

Angka subsidi BBM  jauh lebih tinggi dibandingkan pada 2013 yang mencapai Rp 199,7 triliun. JK mengatakan, subsidi memang penting. Namun, bila porsinya 20 persen dari APBN, itu cukup berat. Subsidi yang besar membuat negara tidak akan dapat memperbaiki jalan atau lingkungan. Menurutnya, subsidi yang ideal adalah sebesar 10 persen dari APBN.

Cara mengurangi subsidi tersebut adalah dengan mencabut subsidi BBM dan tidak menambah biaya dana dan pegawai pemerintah. "Kita tak bisa potong gaji, biaya kesehatan, dan pendidikan. Yang bisa dipotong yang mengurangi kesenangan orang mampu," tegas dia.

Ekonom dari Standard Chartered Fauzi Ichsan menambahkan, kebijakan ekonomi yang akan diambil pemerintah baru masih akan bergantung pada defisit transaksi berjalan. Setidaknya untuk dua hingga tiga tahun ke depan. Ia menilai, salah satu cara yang tepat untuk menekan defisit adalah mengurangi subsidi BBM. Namun, hal itu tidak bisa segera dilakukan karena bukan kebijakan yang populis.

Ekspor juga akan sulit untuk memperbaiki defisit tersebut. Ekspor Indonesia didominasi oleh komoditas. Sedangkan harga komoditas saat ini tengah anjlok. "Artinya, untuk mengurangi defisit transaksi berjalan tersebut impor harus dikurangi. Caranya dengan menaikkan suku bunga," ujarnya. n ed: fitria andayani

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement