Senin 20 Jan 2014 12:23 WIB
Politik Mesir

Mesir Masih Terbelah

Demonstran di Mesir
Foto: ROL
Demonstran di Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pemerintah Mesir gagal mencapai target jumlah pemilih dalam referendum konstitusi. Berdasarkan hasil resmi yang diumumkan, akhir pekan lalu, jumlah partisipan refendum hanya 38,6 persen.

Angka ini masih di bawah 55 persen yang sebelumnya diprediksikan Kementerian Dalam Negeri. Referendum digelar selama dua hari dan berakhir pada Kamis, pekan lalu. Hasil penghitungan pemerintah sementara menyebut, dari seluruh total pemilih, 98,1 persen menyetujui konstitusi baru. 

Rendahnya angka partisipan menjadi senjata baru bagi aliansi menolak yang dipimpin Ikhwanul Muslimin. "Meski sebanyak 38 persen para pemilih menggunakan haknya, tapi masih ada 62 persen lain yang menolak pemerintahan sementara," ujar Imam Youssef, anggota koalisi Ikhwanul Muslimin yang menolak kudeta presiden Muhammad Mursi pada Juli 2013. "Mereka mencoba melegitimasi kudeta."

Ikhwanul Muslilim telah masuk daftar hitam oleh pemerintahan sementara Mesir. Selain dilarang berpolitik, mereka juga sudah dikategorikan sebagai organisasi teroris.

Ketua Komisi Tertinggi Pemilihan (SEC) Nabil Salib mengatakan, 38,6 persen atau sekitar 20,613 juta pemilih menggunakan hak suara. Dia menilai, raihan ini lebih baik dibandingkan referendum konstitusi pada era Mursi 2012 yang hanya 32 persen.  Setidaknya, jelas Salib, 19,985 juta partisipan mendukung konstitusi. SEC mengungkapkan, lebih dari 53,423 juta orang memiliki hak suara dalam referendum kali ini. 

Banyak analis menilai, konstitusi memberikan kewenangan cukup besar kepada militer. Militer memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang dianggap tepat untuk menjabat sebagai menteri pertahanan.  

Konstitusi juga memberikan ruang cukup luas bagi militer untuk menggunakan anggaran mereka.  Konstitusi melarang pendirian partai berdasarkan agama. Di sisi lain, konstitusi tetap memberikan ruang bagi rakyat sipil untuk berpartisipasi dalam politik dan memberikan jaminan kebebasan bagi wanita.

Para aktivis dan kelompok pemantau menyuarakan keprihatinannya pada referendum Mesir, baru-baru ini. Kelompok Demokrasi Internasional mengatakan, penyebaran pasukan keamanan dan tata letak sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) mengancam pemilih untuk memberi suara secara rahasia.

"Memang tak ada bukti masalah tersebut secara substansial memengaruhi hasil referendum, tapi ini dapat memengaruhi integritas dan kredibilitas dari proses pemilu di masa depan," ujar kelompok tersebut dalam pernyataannya.

Saat pemungutan suara berlangsung, polisi kerap menangkap mereka yang menyerukan “tidak” pada referendum. Hal ini meninggalkan sedikit sekali ruang untuk berdebat menentang konstitusi baru.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry pun menyuarakan keprihatiannya. Kerry mendesak Pemerintah Mesir untuk memenuhi janjinya menghormati hak-hak sipil dan memperluas pemerintahan melalui pemilu yang bebas dan adil.

Referendum konstitusi merupakan pemilihan pertama di bawah pemerintahan sementara yang didukung militer. Persetujuan atas konstitusi kian membuka kesempatan bagi Panglima Militer Jenderal Abdul Fattah al-Sisi untuk menjadi presiden. Sisi merupakan tokoh sentral di balik penggulingan Mursi.

"Berdasarkan permintaan masyarakat, al-Sisi adalah presiden," ujar Hoda Hamza, seorang ibu rumah tangga dalam poster yang dibawanya saat turun ke alun-alun Tahrir, akhir pekan lalu. 

Setelah referendum ini, pemerintah sementara akan menjadwal pemilihan presiden dan parlemen dalam beberapa bulan ke depan. Belum ditentukan mana yang akan digelar terlebih dahulu. 

Juru Bicara Kepresidenan Ehab Badawy mengatakan, meskipun di tengah pergolakan sosial yang intens dan berbagai tindakan teror serta sabotase Mesir tetap dapat menjalankan peta jalan demokrasi.

Wakil Perdana Menteri Hossam Eissa mengatakan, referendum merupakan pukulan telak bagi Ikhwanul Muslimin dari arena politik. "Mereka tak bisa mengalahkan kehendak 20 juta orang," ujar Eissa.

Amr Moussa tokoh anti-Mursi yang menyusun undang-undang dasar menilai, Ikhwanul Muslimin memiliki kesempatan untuk kembali menjadi bagian dari Mesir. n gita amanda/ap/reuters ed: teguh firmansyah

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement