Jumat 13 Dec 2013 05:36 WIB
Pajak

Penerimaan Pajak Tertekan

Mari Bayar Pajak
Foto: Ditjen Pajak
Mari Bayar Pajak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menurunnya perekonomian menekan penerimaan pajak pada tahun ini. Realisasi penerimaan pajak hingga 6 Desember sebesar 81,87 persen dan diperkirakan tidak akan mencapai target sebesar Rp 995,214 triliun hingga akhir tahun.

Hal ini sangat disayangkan, mengingat pada periode yang sama tahun lalu, pencapaian pajak mencapai 85,35 persen dari target Rp 835,225 triliun. Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengakui, sulit untuk menutupi kekurangan sekitar 18 persen pada tahun ini walaupun penerimaan pada akhir tahun biasanya melonjak.

Rendah atau bahkan minusnya pertumbuhan domestik bruto sejumlah lapangan usaha amat berpengaruh pada penerimaan pajak tahun ini. “Misalnya, pada bidang pertambangan yang selama ini memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan pajak,” ujarnya dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa di Jakarta, Rabu (11/12) malam.

Pada kurun 2011-2012, sektor pertambangan dan penggalian mengalami pertumbuhan hingga 14,85 persen. Pertumbuhan itu sangat membantu mendorong penerimaan pajak pada 2012. Sedangkan, pada 2013 pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor tersebut hanya mencatat angka 0,5 persen.

Bahkan pada sektor minyak dan gas bumi mencatatkan angka minus 1,15 dan pertambangan bukan migas mengalami pertumbuhan negatif 1,32 persen. Hanya penggalian yang masih mencatatkan pertumbuhan 12,93 persen. Ini sejalan dengan tren penurunan harga komoditas yang terjadi.

Meskipun demikian, terjadi peningkatan yang tinggi pada penerimaan pajak di sejumlah sektor usaha lainnya. Sektor konstruksi, misalnya, pertumbuhan tahun ini mencapai 26,29 persen. Demikian pula, sektor real estat yang mencapai 33,13 persen. Namun, sumbangan pajak dari kedua sektor itu terhadap penerimaan total tidak besar.

Fuad mengatakan perlunya terobosan untuk menggali pajak dari sektor-sektor yang tumbuh, seperti konstruksi, jasa keuangan, transportasi, dan perdagangan. Namun, berbeda dengan sektor tradable, seperti tambang, sektor-sektor tersebut memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak karena berhubungan dengan jumlah wajib pajak yang banyak namun nilai pajaknya kecil-kecil.

Ia mencontohkan, potensi pajak dari perdagangan di Pasar Tanah Abang, Jakarta, sangat tinggi. Namun, selama ini potensi tersebut tak tergarap dengan baik karena keterbatasan tenaga pajak. Untuk menggali pajak dari perusahaan tambang besar, katanya, cukup dengan dua tenaga bisa dapat hingga Rp 10 triliun. Tapi, di Tanah Abang, dua orang tenaga pajak hanya akan dapat penerimaan dalam hitungan juta saja.

Namun, menurut Fuad, justru sektor seperti itulah yang lebih stabil mendukung perekonomian bangsa. Karena itu, ia berharap Ditjen Pajak memperoleh tambahan tenaga secara signifikan untuk menggali potensi pajak dari sektor yang tumbuh tinggi dan stabil tersebut.

Dirjen Pajak membutuhkan lebih banyak pegawai pajak demi meningkatkan penerimaan. Saat ini, Ditjen Pajak memiliki 31.316 pegawai, sedangkan kebutuhannya mencapai 60 ribu orang. Ia sudah berkali-kali meminta pemenuhan pegawai. Namun, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemeneg PAN) hanya menjatahnya sedikit-sedikit setiap tahun.

Dibandingkan negara-negara lain, menurut Fuad, jumlah pegawai pajak Indonesia terbilang sedikit. Jerman, misalnya, memiliki 110 ribu pegawai pajak untuk 80 juta penduduk. Australia memiliki 25 ribu pegawai pajak untuk 25 juta penduduk. Selain itu, Jepang yang memaksimalkan penggunaan teknologi informasi pun memiliki 66 ribu tenaga pajak untuk 120 juta penduduk.

Pengamat perpajakan Universitas Indonesia Danny Septriadi menilai Ditjen Pajak telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak. Namun, situasi ekonomi yang terjadi saat ini menghambat mereka untuk mencapai target yang ditetapkan. Namun penerimaan yang lebih besar bukan tidak mungkin didapatkan bila Ditjen Pajak menerapkan kebijakan baru dan memaksimalkan program yang telah berjalan.

Salah satu pengaturan yang harus segera dilakukan, menurut Danny, adalah penerapan batas rasio utang terhadap ekuitas (DER). “Ini wacana sudah lama. Harus segera dijalankan agar bisa membantu mengatasi masalah penerimaan,” ujarnya. Intensifikasi maupun ekstensifikasi penerimaan perpajakan juga harus terus digalakkan. Identifikasi terhadap pihak-pihak yang selama ini belum terjangkau pajak harus terus berjalan. n arys hilman/muhammad iqbal/satya festiani ed: fitria andayani

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement