Kamis 07 Nov 2013 11:50 WIB
Sudut Pandang Republika

Pro-Growth, tapi Belum Pro-Poor dan Pro-Job

Pengangguran (ilustrasi)
Pengangguran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Zaky Al Hamzah

E-mail: [email protected]

Pada 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memperkenalkan tiga pilar strategi pembangunan sosial-ekonomi, yaitu pro-growth, pro-poor, dan pro-job. Dua tahun kemudian, ketiga pilar tersebut ditambahi pro-environment. Namun, pertanyaan mendasar: benarkah pertumbuhan ekonomi saat ini telah menyejahterahkan masyarakat kecil?

Mari dikupas secara sederhana. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi triwulan III 2013 hanya 5,62 persen (year on year). Pertumbuhan ini kian melambat ketimbang pencapaian pada triwulan II 2013 yang mencapai 5,8 persen.

Menurut BPS, ada tiga penyebab utama dalam perlambatan ini. Pertama adalah nilai tukar dolar AS yang sempat mencapai angka di atas Rp 11.000, di mana sebelumnya berada pada kisaran Rp 9.800-an per dolar AS. Ini pastinya berdampak pada perdagangan luar negeri.

Penyebab kedua adalah kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) menjadi 7,25 persen pada September 2013 setelah sebelumnya di level 6 persen. Kondisi ini disebabkan keinginan bank sentral untuk ikut memperbaiki defisit transaksi berjalan. Situasi ini berdampak pada pembengkakan biaya produksi.

Alasan perlambatan ketiga adalah terkait inflasi yang melonjak di atas empat persen pada Agustus 2013. Penyebabnya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan pengaruh kenaikan harga bahan pokok selama Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tingginya daya beli masyarakat mendorong kenaikan inflasi.

Meski melambat dibanding bulan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi dinilai pemerintah masih lebih dari pertumbuhan ekonomi di negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, bahkan di sejumlah negara. "Semua dunia mengalami koreksi ke bawah. Kita cukup baik, kita nomor dua tertinggi setelah Cina," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Rabu (6/11).

Menurutnya, angka tersebut masih lebih bagus dibandingkan negara-negara lain yang mengalami koreksi ke bawah cukup jauh. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi di kisaran 5,8 persen sampai 5,9 persen.

Klaim pemerintah dan sebagian pengamat ekonomi, kondisi tersebut memang terlihat 'baik-baik saja', seakan perekonomian di Indonesia tetap kondusif dan stabil. Namun, faktanya, kualitas perekonomian di Indonesia lebih banyak ditopang pengelolaan sumber daya alam, seperti barang tambang, sumber daya mineral seperti air maupun industri keuangan, yang sebagian besar dikuasai perusahaan asing atau pemodal asing. Pendek kata, kebijakan ekonomi hanya menguntungkan para pemodal. Menggelembung di depan, tapi terkesan kosong di dalamnya.

Pertumbuhan ekonomi dipercayakan pada mekanisme pasar. Partisipasi masyarakat, terutama pedesaan—maupun industri padat karya—dalam pembangunan ekonomi nasional, masih rendah. Ini bukti, bila kualitas ekonomi masih belum pro-poor dan pro- job. Baru sebatas pro-growth. Padahal, pertumbuhan ekonomi seharusnya mengacu pada padat karya, kenyataannya sekarang pembangunan mengarah pada padat modal dan teknologi.

Mari tengok fakta di sekitar kita. Saat menggelar arisan atau reuni. Siapa pemilik produk air minum dalam kemasan (AMDK) terkenal? Di luar kepala, pasti akan menjawab perusahaan multinasional. Padahal, mesin teknologi produk AMDK ini sangat sederhana dan bisa dikuasai siapa saja.  

Kemudian, saat sajian makanan. Sejumlah makanan sudah banyak yang berbahan gandum. Impor gandum dari tahun ke tahun terus meningkat. Volume impor gandum Indonesia pada 2011 mencapai 5,4 juta metrik ton atau senilai 2,1 miliar dolar AS. Pada 2012, volume impor gandum Indonesia menjadi 6,2 juta metrik ton atau senilai 2,2 miliar dolar AS.

Pada periode Januari-April 2013, volume impor gandum Indonesia mencapai dua juta metrik ton, naik dibandingkan periode sama 2012, yaitu 1,9 juta metrik ton. Nilai impor gandum Indonesia pada Januari-April 2013 mencapai 771,4 juta dolar AS. Ini menguras devisa negara dan melemahkan petani lokal yang menanam padi, jagung, dan kedelai karena produk mereka tak disukai perusahaan makanan nasional dan multinasional yang memiliki pabrik di sini.

Indonesia mengimpor gandum paling banyak dari Australia (70,7 persen), disusul Kanada (14,9 persen), dan Amerika Serikat (11 persen). Indonesia juga mengimpor gandum dari India, Rusia, Pakistan, dan Turki.

Saat kongkow atau menemui klien di sebuah kafe, pasti memilih kafe brand global. Siapa pemiliknya? Tentu perusahaan asing. Meski sebagian besar faktor produksinya dimiliki dan dikuasai bangsa Indonesia, tapi perputaran uang atau fee akan dilarikan ke negara asalnya. Ingat laporan LP3ES beberapa tahun silam. Setiap satu dolar AS yang diinvestasikan, investor asing akan menangguk untung 1,8 dolar AS. Tak ada pengusaha yang rugi, kan? 

Kita lanjutkan. Saat menikmati batu bara atau gas, siapa yang mengelola dan mengeksplorasi? Anda benar. Investornya dari asing. Mayoritas pekerja pada produksi pertambangan di Indonesia adalah orang Indonesia yang berpendapatan rendah.

Sebaliknya, tenaga ahli, konsultan, hingga pemiliknya adalah ekspatriat yang umumnya bergaji jauh lebih tinggi. Laporan sebuah perusahaan tambang menjelaskan bahwa uang untuk membayar pekerja ekspatriat berbanding terbalik dengan jumlah tenaga kerjanya.

Artinya, meski lahan tambang yang dieksplorasi adalah milik Indonesia, penggunannya dikuasai oleh investor asing. Kalau untung pun, akan dikembalikan ke negara asalnya. Bila sumber daya alam tersebut habis, rakyat sekitar yang bergaji dan hidup jauh dari sejahtera mulai merasakan dampaknya, dari banjir dan tanah longsor.

Kalau dikupas lebih dalam, masih banyak pertumbuhan ekonomi yang kurang berpihak pada partisipasi rakyat Indonesia secara mayoritas. Penulis sebutkan sebagian kecil, yakni seperti industri jasa, perusahaan jasa penerbangan, perusahaan perbankan, perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan perusahaan logistik.

Termasuk juga perusahaan ritel raksasa. Sejak merangsek ke pasar Indonesia, sejumlah toko ritel milik pribumi tutup secara berurutan. Konsumen lebih memilih membeli kebutuhan pokok di perusahaan ritel di dalam pusat perbelanjaan yang sebagian besar sahamnya dikuasai investor asing. Memang daya beli naik, tapi produk yang dibeli adalah produk impor. Pertumbuhan daya beli konsumen terhitung dalam APBN, tapi 'duit' yang nyata beralih ke negara asal investor asing.

Pertumbuhan ekonomi didorong investasi luar negeri yang membuat sumber daya alam kian dikuasai asing. Pertumbuhan ekonomi didorong ekspor bahan mentah, seperti bahan tambang, migas, hasil perkebunan, dan hutan. Dengan demikian, tidak banyak menciptakan nilai tambah dan lapangan pekerjaan. Perusahaan akan memilih tenaga kerja murah atau menggunakan teknologi.

Karena modalnya dari mereka, tenaga ahli juga dari mereka, PDB-nya kelak akan lebih dinikmati mereka dalam jumlah besar. Pemerintah hanya menerima pajak atau royalti yang nilainya relatif kecil. Kalaupun mayoritas pekerja lokal, porsi gaji yang didapat dibandingkan dengan pendapatannya masih bak langit dan bumi.

Kondisi itu yang membuat ribuan buruh menggelar demo dan aksi mogok nasional. Kondisi inilah yang mengakibatkan perdagangan Indonesia masih mengalami defisit meski Indonesia sudah merdeka sejak 1945 hingga kini. Bahkan, ekonom Faisal Basri mengingatkan, bila demo buruh berlanjut, pengusaha akan memilih menggunakan mesin/teknologi daripada tenaga manusia dan ini berpotensi memangkas tenaga kerja dan menambah pengangguran.

Kembali ke data BPS. Menurut Kepala BPS Suryamin, secara teori, kesempatan kerja akan tercipta kalau ekonominya tumbuh. Faktanya, jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2013 meningkat 6,25 persen atau 7,39 juta orang dibanding Agustus tahun lalu. Bertambahnya jumlah pengangguran ini disebabkan adanya pelambatan ekonomi Tanah Air. Ekonomi yang melambat telah membuat beberapa perusahaan mengurangi bebannya. Kadang, teori tak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Jadi, benarkah pertumbuhan ekonomi nasional sudah pro-growth, pro-poor, dan pro-job? Lihat sendiri fakta di sekitar Anda. n

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement