Sabtu 27 Jul 2013 08:52 WIB
Dugaan Korupsi

Rekan Hotma Sitompoel Jadi Tersangka

 Durapati Sinulingga (tengah) berama rekan pengacara dari Kantor Pengacara Hotma Sitompul and Associate saat mendatangi gedung KPK di Jakarta, Kamis (25/7) malam.
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Durapati Sinulingga (tengah) berama rekan pengacara dari Kantor Pengacara Hotma Sitompul and Associate saat mendatangi gedung KPK di Jakarta, Kamis (25/7) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan Mario C Bernardo sebagai tersangka, Jumat (26/7). Pengacara pada Hotma Sitompoel and Associates itu diduga menyuap pegawai Mahkamah Agung (MA) Djodi Supratman. KPK juga sudah menetapkan Djodi sebagai tersangka. "KPK sudah menetapkan untuk meningkatkan status dua orang yang ditangkap kemarin ke tahapan selanjutnya," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto melalui pesan singkat, Jumat (26/7).

Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, Mario dijerat dengan Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Ancaman pidana penjara 1-5 tahun dan denda mulai Rp 50 juta hingga Rp 250 juta.

Mario diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan memberi atau memberikan janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pemberian uang diduga terkait dengan penanganan kasasi tindak pidana penipuan atas nama terdakwa berinisial HWO di MA.

Johan menyatakan, Mario sebenarnya bukan tim pengacara HWO dan pemohon kasasi kasus ini adalah jaksa. Karena itu, penyidik masih terus mengembangkan kasus ini untuk melihat adanya keterlibatan pihak lain. “Pengembangan pada dua-duanya, baik dari sisi pemberi ataupun penerima," kata dia.

Berdasarkan info perkara pada laman Mahkamah Agung, kasasi tindak pidana penipuan yang diajukan oleh jaksa dan melibatkan terdakwa berinisial HWO tercatat dengan nomor perkara 521 K/PID/2013. HWO dalam kasus tersebut, yaitu Hutomo Wijaya Ongowarsito.

Perkara Hutomo masuk pada 9 April 2013. Kasasi diajukan oleh jaksa pada Kejari Jakarta Selatan. Status perkara itu sudah masuk dalam tahap pemeriksaan majelis hakim. Majelis hakim kasus itu, yaitu Gayus Lumbuun, Andi Abu Ayyub Saleh, dan M Zaharuddin Utama. Sedangkan, panitera pengganti adalah M Ikhsan Fathoni.

Kasus yang menjerat Mario dan Djodi bermula dari informasi yang diperoleh KPK. Pada Kamis (25/7), petugas KPK kemudian menangkap Djodi di sekitar Monas, Jakarta. Petugas KPK mendapatkan uang Rp 78 juta dari tas Djodi. KPK juga menemukan uang sekitar Rp 50 juta yang berada di rumah Djodi. Selanjutnya, penyidik KPK mengamankan Mario yang sedang berada di kantor Hotma Sitompoel and Associates.

Seusai melakoni pemeriksaan, Mario membantah menyuap pegawai MA. “Saya hanya bisa bilang saya tidak pernah memberikan uang dalam rangka menyuap," ujar Mario. Namun, dia memilih bungkam mengenai uang yang disita KPK dari Djodi.

Mario pun tidak memberikan komentar keterkaitan kasus ini dengan kantornya Hotma Sitompoel and Associates. Mario keluar dari gedung KPK menggunakan baju tahanan KPK berwarna oranye. Ia kini menjalani penahanan di Rutan KPK. Kepada penyidik, Djodi mengakui uang itu commitment fee untuk pengurusan kasasi tersebut sebesar Rp 200 juta. Untuk Djodi, Johan Budi menyatakan, dijerat dengan Pasal 5 Ayat 2 atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara itu berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Ancamannya, pidana penjara 1-5 tahun dan denda mulai Rp 50 juta hingga Rp 250 juta.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansur mengatakan, Djodi merupakan staf Pusdiklat dan mantan anggota aatuan pengamanan (satpam). MA menyerahkan sepenuhnya kepada penegak hukum untuk memproses yang bersangkutan. Terkait keterlibatan pihak lain, MA menyerahkan kepada Badan Pengawas. "Badan Pengawas kan prosedurnya menindaklanjuti. Apakah ada keterkaitan dengan personel lain," kata Ridwan.

Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki mengatakan, penangkapan pegawai MA dan pengacara itu menunjukkan buruknya penegakan hukum di Indonesia. Permainan bahkan tidak hanya dilakukan aparat yang berhubungan langsung dengan kasus.

Suparman mengatakan, semua orang yang berada dalam lingkungan penegakan hukum, seperti di kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman berpikir bisa memainkan kasus. "Semua orang di semua level berasumsi semua kasus bisa dipermainkan, bisa diperjualbelikan," ujar Suparman.

KY belum bisa menyimpulkan bahwa penangkapan pegawai MA terkait dengan hakim. “Kami tidak bisa mereka-reka," kata dia. Menurutnya, ada juga kemungkinan pegawai MA hanya menjual nama hakim yang menangani kasus itu. n irfan fitrat/antara ed: ratna puspita

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement