Jumat 26 Jul 2013 13:30 WIB
Nilai Tukar Uang

Risiko Gagal Bayar Besar

Utang/ilustrasi
Foto: johndillon.ie
Utang/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelemahan rupiah yang terus terjadi diperkirakan dapat meningkatkan risiko gagal bayar utang luar negeri swasta yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat. Keberadaan utang tersebut juga diyakini dapat menimbulkan tekanan lebih lanjut terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menyatakan, pelemahan rupiah yang semakin dalam berpotensi meningkatkan potensi gagal bayar utang luar negeri swasta. Utang swasta yang berdenominasi dolar AS rawan terhadap volatilitas nilai tukar apabila belum diproteksi melalui mekanisme lindung nilai (hedging). “Saat ini, sekitar 15 persen utang luar negeri swasta belum dilindung nilai secara natural maupun institusional,” katanya, Kamis (25/7).

Agus pun mengingatkan pelaku bisnis swasta dan badan usaha milik negara (BUMN) agar tidak mencari keuntungan dari pelemahan nilai tukar rupiah karena risiko kerugiannya sangat besar. Oleh karena itu, BI meminta pelaku bisnis untuk fokus pada kegiatan utamanya. Ia mengimbau para pelaku usaha agar dapat mengelola risiko nilai tukar dengan baik.

Agus mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah tidak dapat dihindari. Kondisi global yang memburuk berdampak pada aktivitas perdagangan di Indonesia. Pelemahan nilai tukar di Tanah Air sebenarnya seiring dengan mata uang negara-negara regional. Misalnya, ringgit Malaysia, peso Filipina, dan bath Thailand terdepresiasi masing-masing 0,5 persen, 0,3 persen, dan 0,4 persen pada perdagangan hari ini.

Hal yang sama diungkapkan oleh Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa. Ia mengungkapkan, utang luar negeri swasta bisa berbahaya bila mereka meminjam dolar AS dalam jumlah banyak, sementara penghasilannya dalam rupiah. Hal ini, lanjutnya, perlu diedukasi pemerintah kepada pihak swasta. Semakin banyak pengusaha yang mengalami ketidakcocokan penggunaan jenis mata uang untuk membayar utang dan pendapatannya, dapat meningkatkan risiko gagal bayar.

Namun, Purbaya masih yakin, utang luar negeri swasta yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat tidak akan menekan rupiah lebih dalam. Menurutnya, untuk membayar utang tersebut swasta pasti sudah mengumpulkan dolar lebih dulu. “Tidak tiba-tiba mengumpulkan. Selama pendapatan bersih masih positif, tidak apa-apa,” ujarnya.

Sekretaris Komite Ekonomi Nasional Aviliani. Dia menilai, pemerintah perlu mewaspadai utang luar negeri swasta yang jatuh tempo dalam waktu dekat. Tergelincirnya rupiah ke level Rp 10 ribu akan meningkatkan kebutuhan valas. Hal ini membuat rupiah akan tertekan lebih dalam. Sementara, intervensi BI terhadap pasar keuangan saat ini tidak dapat sepenuhnya diandalkan.

Ke depan, pemerintah berencana untuk membatasi jumlah utang luar negeri swasta yang semakin tinggi dengan menetapkan batas rasio utang terhadap ekuitas (DER) dalam penghitungan pajak. Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan, kebijakan ini penting untuk menjaga kestabilan makro ekonomi Indonesia dan bukan hanya sebatas upaya menaikkan penerimaan pajak.

Posisi utang luar negeri swasta, sesuai statistik utang luar negeri Indonesia BI per Mei 2013 telah mencapai 131,547 miliar dolar AS. Nilai tersebut naik 16 persen dibandingkan dengan Mei 2012. Dari total utang luar negeri swasta tersebut, sebesar 22 miliar dolar AS dipinjam bank. Sisanya, sekitar 109,545 miliar dolar AS merupakan pinjaman perusahaan nonbank. Sekitar 32,12 miliar dolar AS akan mengalami jatuh tempo sepanjang satu tahun ke depan. Dari total utang jatuh tempo tersebut, sebesar 24,177 miliar dolar AS harus dibayarkan pada Juni hingga Desember tahun ini. n muhammad iqbal/satya festiani ed: fitria andayani

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement