Kamis 04 Jul 2013 01:13 WIB
Sidang Itsbat

Upayakan Penyamaan Awal Puasa dan Idul Fitri

 Sidang Itsbat penentuan 1 Syawal 1433 H di Kenterian Agama, Jakarta, Sabtu (18/8).(Yudhi Mahatma/Antara)
Sidang Itsbat penentuan 1 Syawal 1433 H di Kenterian Agama, Jakarta, Sabtu (18/8).(Yudhi Mahatma/Antara)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sejumlah organisasi kemasyarakatan sudah menetapkan awal bulan Ramadhan 1433 H. Beberapa ormas yang sudah menetapkan awal bulan puasa di antaranya ialah Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad. Sedangkan, Nahdlatul Ulama (NU) belum menentukan dan tetap mempertahankan metode rukyat atau melihat hilal sebagai penanda awal bulan.

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Islam (Persis) Maman Abdurrahman mengatakan, perbedaan awal puasa dan Idul Fitri yang kerap terjadi setiap tahun memang menjadi perhatian bagi kalangan organisasi kemasyarakatan (ormas). Karenanya, kata dia, upaya keras penyamaan awal puasa dan Idul Fitri harus terus disuarakan, apa pun halangan dan kendalanya.

Langkah penyamaan ini, menurut dia, adalah upaya untuk memperkuat umat Islam. "Memang perlu upaya keras. Karena, perlu adanya penyamaan standar setiap ormas Islam. Sedangkan, setiap ormas Islam memiliki metodologi perhitungan masing-masing. Cara yang lebih baik sementara ini adalah menghargai perbedaan itu bila ada penetapan dari beberapa ormas yang berbeda," terangnya, Rabu (3/7).

Pengurus Pusat (PP) Persatuan Islam (Persis) juga telah menetapkan awal bulan Ramadhan dan Syawal 1433 H. PP Persis mengumumkan awal bulan Ramadhan 1433 H jatuh pada Rabu (10/7) dan awal bulan Syawal 1433 H jatuh pada Kamis (8/8). Menurut Maman, penentuan awal Ramadhan dan Syawal 1433 H PP Persis menggunakan sistem astronomi hisab. "Untuk awal Ramadhan tahun ini, berdasarkan perhitungan PP Persis, ijtimak akhir Sya'ban terjadi pada Senin, 8 Juli, pukul 14.14 WIB," ujarnya.

Dan pada Selasa (9/7), kata dia, walaupun hilal sudah masuk, namun dianggap belum imkanur rukyat. Sebab, Persis memiliki standar tinggi hilal 4 derajat pada waktu maghrib. "Belum wujudul hilal, jadi istikmal pada 9 Juli. Dan, kemudian awal Ramadhan dipastikan jatuh pada Rabu (10/7) juli," katanya. Hal itu berlaku pula pada awal Syawal, yaitu Kamis (8/8), yang ijtimaknya terjadi pada Rabu (7/8).

Persis, kata Maman, mengikuti hadis Rasulullah SAW, "Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang, maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh." Walau sudah memutuskan awal Ramadhan dan Syawal, Persis tetap akan menunggu keputusan pemerintah saat sidang itsbat.

Terkait dengan upaya penyatuan kalender Hijriah, Ketua PP Muhammadiyah KH Yunahar Ilyas menilai dialog penyamaan kalender Hijriah sudah sering dilakukan. Ia sadari memang hingga saat ini belum ada satu kesamaan antarormas Islam untuk menyamakan metodologi kalender Hijriah itu, khususnya untuk awal Ramadhan dan Idul Fitri. "Saya pikir untuk menyatukan ormas ini harus ada pihak sebagai penengah yang tidak memihak ke salah satu ormas," ujarnya.

Yunahar menghargai upaya Kementerian Agama (Kemenag) selama ini, namun ia mengkritisi seringkali Kemenag selain menjadi "wasit" juga bertindak sebagai "pemain". "Ini seharusnya tidak terjadi untuk menyatukan suara ormas," kata dia.

Selain itu, menurut Yunahar, penyamaan metodologi ini harus didudukkan pada sisi keilmuan dan berdalil pada dasar agama yang kuat, bukan pada pengaruh salah satu kelompok. Namun demikian, Yunahar yakin suatu saat penyatuan metodologi kalender Hijriah ini pasti akan terwujud.

NU Tetap Berpegang Rukyat

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengatakan, NU akan tetap mempertahankan metode rukyat atau melihat hilal sebagai penanda awal bulan.

"Sesuai dengan sabda Nabi SAW, puasalah kamu dengan melihat bulan, dan berlebaranlah dengan melihat bulan. Untuk itu, NU akan tetap berpegang pada metode rukyat dalam penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri," kata Said.

Ia menambahkan, pihaknya menolak anggapan pilihan penentuan awal bulan melalui metode rukyat adalah bentuk ketertinggalan dari kemajuan teknologi. "Lajnah Falakiyah kami juga canggih, mau menentukan tanggal sampai 3.000 tahun ke depan juga bisa. Ini bukan soal canggih atau tidak canggih, tapi mengikuti apa yang dijalankan Rasulullah," tegasnya.

Terkait sering munculnya mendung dalam metode rukyat yang mengakibatkan penentuan awal bulan terkendala, Said mengatakan, ada petunjuk lain dari Rasulullah untuk penggenapan bulan menjadi 30 hari.

Mengenai perbedaan tanggal pelaksanaan puasa dan Hari Raya Idul Fitri yang sering terjadi di Indonesia, Said dengan tegas menyampaikan penyesalan. Dia mencontohkan, perbedaan menjadi hal yang wajar terjadi di Timur Tengah, tapi bukan dalam satu negara, melainkan di negara-negara yang berbeda. n amri amrullah ed: chairul akhmad

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement