Kamis 20 Jun 2013 10:37 WIB
Pasal Lapindo

PDIP Kecolongan Pasal Lapindo

Semburan Lumpur Lapindo
Semburan Lumpur Lapindo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tercantumnya perluasan tanggung jawab pemerintah dalam menanggulangi luapan lumpur Lapindo pada APBN-P 2013 tak dicermati sebagian besar anggota DPR. Fraksi PDI Perjuangan mengatakan kecolongan dengan ikut disahkannya pasal tersebut.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Achmad Basarah mengatakan, PDI Perjuangan terlalu fokus menyoroti pasal-pasal terkait kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam RUU APBN-P 2013. Akibatnya, pasal-pasal lain luput ditelaah. “Sehingga, pasal yang melegitimasi dukungan APBN pada lumpur Lapindo kurang mendapat perhatian secara lebih cermat. Kami terjebak pada pembahasan BBM,” kata Basarah di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (19/6).

Semburan lumpur yang berpusat di Porong, Sidoarjo, bermula pada 29 Mei 2006 menyusul pengeboran tambang yang dilakukan Lapindo Brantas Inc (LBI). Sebagian besar saham di perusahaan ini dimiliki keluarga Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.

Pada 2007 pemerintah mewajibkan LBI membayar ganti rugi kepada warga di 12 desa dan tiga kecamatan yang tanah dan rumahnya terbenam luapan lumpur. Pembayaran ganti rugi senilai Rp 3,8 triliun tersebut kemudian didelegasikan LBI pada PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ).

Pemerintah sejak 2007 juga menganggarkan dana untuk penanggulangan kejadian di Porong. Total dana yang sudah digelontorkan negara untuk kejadian itu sejak 2007 sekitar Rp 9 triliun. Jumlah tersebut untuk penanggulangan dan ganti rugi lahan warga di luar area terdampak.

Dalam APBN-P 2013, dana yang dikucurkan untuk penanganan Lumpur Lapindo senilai Rp 2,2 triliun. Selain itu, diatur juga soal perluasan wilayah di luar peta terdampak yang mesti ditangani pemerintah. Sementara untuk kegiatan mitigasi lumpur Lapindo oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), disediakan Rp 155 miliar.

Basarah menegaskan, keberadaan pasal-pasal tersebut patut dipertanyakan. Pasalnya, tidak tertutup kemungkinan pasal tersebut dijadikan instrumen tawar-menawar antara Partai Demokrat dan Partai Golkar. Tujuannya, untuk mengegolkan rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. “Saya tak mau curiga. Tapi, faktanya Golkar menyetujui APBN-P dan ada dana Lapindo. Biarkan publik yang menilai,” ujarnya.

Terlepas dari kecurigaan itu, menurutnya, pemerintah semestinya cermat memberikan bantuan terhadap korban lumpur Lapindo. Basarah mengatakan, harus ada jangka waktu target penanganan terhadap para korban agar tidak terus-menerus membebani APBN. “Sampai kapan negara menanggulangi harus ada batasan jelasnya,” katanya.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan, terlambat mengetahui adanya pasal soal Lapindo dalam APBN-P 2013. Anggota Fraksi PDI Perjuangan itu menyatakan baru tahu keberadaan pasal tersebut dalam forum lobi sidang paripurna. "Saya ingin jawab jujur. Sebagai pimpinan saya baru mengetahui hal ini di forum lobi," ujar Pramono.

Menegaskan penyataannya, Pramono bersumpah tidak tahu-menahu soal keberadaan pasal Lapindo. Kemungkinan besar hal ini bisa terjadi karena pimpinan DPR tidak memberi tahu secara mendetail mengenai UU APBN-P 2013 saat masih berbentuk rancangan undang-undang. "Saya yakin Pak Marzuki Alie juga baru tahun di forum itu (lobi)," katanya.

Pramono mempersilakan masyarakat yang tidak puas dengan 'pasal Lapindo' melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. "Paripurna produk DPR, maka saya tidak mendukung uji materi. Tapi, kalau ada yang tidak puas, monggo-monggo saja," ujarnya.

Wakil Ketua DPR Sohibul Iman menyepakati, lolosnya pasal Lapindo sebagai bentuk kelalaian partai oposisi. Menurut politikus PKS itu, upaya pemerintah membantu korban lumpur Lapindo cukup diatur dalam peraturan pemerintah. “Seharusnya ada di peraturan pemerintah,” kata Sohibul.

Sohibul terkejut dengan keberadaan Pasal 9 UU APBN-P 2013. Menurutnya, redaksional dalam Pasal 9 APBN-P 2013 yang mengatur penanggulangan lumpur Lapindo terlalu mendetail. Kendati begitu, Sohibul enggan berspekulasi makna di balik pasal tersebut. "Silakan diartikan sendiri," ujarnya.

Masyarakat yang kecewa dengan Pasal 9 UU APBN-P 2013 bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Sohibul menyatakan, akan mendukung langkah tersebut. “Silakan saja masyarakat yang punya legal standing mengajukan ke MK. Pasti kita mendukung bila diujimaterikan,” kata Sohibul.

Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Setya Novanto membantah melakukan pembahasan khusus soal alokasi anggaran APBN-P 2013 untuk korban lumpur Lapindo di Badan Anggaran (Banggar) DPR. Setya mengatakan, tidak tahu-menahu soal alokasi anggaran sebesar Rp 155 miliar yang disiapkan pemerintah dalam postur APBN-P 2013.

Menurutnya, kewenangan penanganan lumpur Lapindo berada di bawah perusahaan swasta (PT Minarak Lapindo Jaya) dan pemerintah. “Yang berkaitan dengan penanganan oleh pemerintah kita (Golkar) tidak ikut campur,” ujarnya.

Perluasan tanggung jawab pemerintah terkait lumpur Lapindo sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 33/2013 tentang BPLS. Perpres ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Mei 2013.

Perluasan area yang ditanggung pemerintah dalam RUU APBN-P 2013 persis dengan yang diatur dalam perpres tersebut. Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengatakan, perluasan tanggung jawab dilakukan karena pemerintah ingin kasus Lapindo selesai selekasnya. Kendati demikian, ia menegaskan, pihak PT Minarak Lapindo Jaya mesti sesegera mungkin melaksanakan kewajiban ganti rugi yang masih kurang sekitar Rp 800 miliar. n m akbar wijaya ed: fitriyan zamzami

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement