Senin 17 Jun 2013 08:54 WIB
Wawancara dengan Karen Armstrong

Karen Armstrong: Alquran Mengajarkan Belas Kasih

Orang membaca Alquran
Foto: Republika/Imam Budi Utomo
Orang membaca Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, Wawancara Karen Armstrong Pakar Agama: Alquran Mengajarkan Belas Kasih

Di ambang pintu, Karen Armstrong menyungging senyum. Ia mempersilakan masuk, menyapa ramah, dan mengucapkan “How do you do?” Lalu, ia duduk di sofa putih di kamar hotel ia menginap. Perempuan Inggris ini mengisahkan konsep belas kasih yang ia dengungkan, Islam, dan dirinya kepada wartawan Republika, Ferry Kisihandi, dan fotografer, Prayogi, Jumat (14/6) sore. Berikut petikannya.

Sebegitu pentingkah belas kasih bagi Anda?

Saya pikir ini merupakan hal terpenting di dunia. Ini juga menjadi ujian bagi pemeluk agama untuk menjalankannya. Di Alquran, misalnya, bertebaran ajaran yang mendorong untuk berlaku belas kasih terhadap orang lain. Di antaranya, memperlakukan orang dengan hormat, menyantuni fakir miskin, dan menciptakan masyarakat berkeadilan.

Menurut saya, ini merupakan tantangan dan kesempatan bagi semua agama. Ini juga sarana untuk membantu kita bertahan. Jika kita memperlakukan orang lain dengan buruk tentu dampaknya juga akan menimpa diri kita. Dan, kita melihat dunia sekarang mengalami hal seperti ini. Maka, sudah seharusnya kondisi semacam itu tak lagi berlangsung. Saya melihat Sang Buddha, Konfusius, dan Yesus semuanya bekerja di sebuah masyarakat yang penuh keserakahan. Tapi, mereka mampu bertahan dengan menggerakkan sikap belas kasih.

Bagaimana mempraktikkannya di tengah dunia yang sekarang sarat kekerasan dan konflik ini?

Saya akui, kini kita tinggal di tempat yang sangat terpolarisasi dan berbahaya. Tapi, pada dasarnya, kita tak bisa mengabaikan pengembangan ide belas kasih ini. Karena itu, sangat mendesak membangun kesadaran global soal ini. Lalu, membangun hubungan lebih baik dengan orang-orang yang berbeda dengan kita.

Semua sudah melihat, hampir semua musnah oleh senjata yang manusia buat. Demikian pula kalau merunut pada sejarah perang ratusan tahun silam. Itu berulang dan meletuslah perang di Afghanistan, Irak, dan sekarang terjadi di Suriah. Ini situasi berbahaya. Bila agama tak mampu tampil dengan pesan belas kasih yang ada pada ajarannya, mereka akan gagal mengatasi ini semua. Dengan demikian, mereka harus mampu. Apa yang mereka lakukan adalah untuk generasi kita sekarang.

Anda optimistis agama bisa memainkan perannya dengan baik?

Tergantung. Kita semua mempunyai jejak rekam bagus dalam mendorong upaya yang baik. Namun, karena rasa malas, hal itu tak berkembang. Saya bahagia dengan respons terhadap pesan belas kasih yang kemudian dituangkan dalam Piagam Belas Kasih. Muncul gerakan yang begitu aktif di Amerika Serikat (AS), Yordania, dan Pakistan juga di Indonesia. Jadi, secara alamiah, saya optimistis.

Tapi, kita masih menghadapi kendala utama, yaitu prasangka walaupun telah ada serangkaian dialog antarkeyakinan yang digelar?

Ini sisi alamiah manusia dan pada prinsipnya prasangka harus diatasi. Anda dapat melakukan seperti apa yang ditempuh Islamic Society of North America (ISNA), sebuah organisasi Muslim besar di Amerika Serikat dan Kanada. Beberapa tahun lalu mereka menegaskan untuk menerapkan prinsip belas kasih lewat Piagam Belas Kasih.

Imam masjid yang memimpin kegiatan ISNA menetapkan tekad menciptakan masjid yang penuh belas kasih. Ini maknanya, masjid harus ramah gender dan pemuda, mesti memperluas dialog antarkeyakinan, serta mempelajari cara dalam mengahadapi terjadinya penyalahgunaan agama oleh segelintir orang.

Mereka juga menyebarkan pesan belas kasih yang juga terdapat pada ajaran Islam dalam berbagai pelatihan imam. Maka intinya, akar rumput menjadi bagian yang vital. Di sisi lain, saya melihat adanya dialog di antara para pemimpin agama. Namun sebaiknya, ini tak berakhir pada konferensi. Dan, cara terbaik adalah dengan bekerja bersama-sama.

Langkah ini dapat dilakukan oleh Yahudi, Muslim, Kristen, Buddhis, maupun pemeluk Hindu. Karena itu, alangkah baiknya setiap masjid, gereja, maupun kuil saling menjalankan program untuk saling merangkul dan berdialog dengan orang lain.

Tak jarang, peristiwa semacam pengeboman di Boston membuat seluruh komunitas Muslim disalahkan?

Saya pikir, komunitas Muslim perlu benar-benar proaktif. Terkadang tak ada yang menaruh perhatian penuh saat muncul pernyataan bahwa Islam menentang pembunuhan terhadap orang tak berdosa. Tak pernah digambarkan oleh media mainstream. Di sisi lain, umat Islam harus terus memperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari bahwa Muslim berbelas kasih dan menentang kekerasan.

Apakah Anda berpikir Muslim akan mampu melakukannya?

Saya tidak tahu. Muslim harus mencoba melakukannya sendiri. Tuhan menyatakan, Dia tak akan mengubah nasib suatu kaum jika mereka tak mengubahnya. Ini pernyataan yang terkandung dalam Alquran. Saya pikir, jihad sebenarnya adalah berusaha menjadikan hal itu terwujud.

Anda pernah menulis buku tentang Muhammad, kapan pertama kali tertarik mengkaji Islam?

Saat saya bekerja di televisi. Saya membuat program mengenai Perang Salib. Ini berarti saya harus mempelajari tentang Islam. Banyak orang memandang miring agama ini, saya tak paham apa yang mereka katakan. Saya dapat mempelajari Islam dengan baik. Lalu, saya ingin membuat Islam dapat diakses bagi warga Barat sehingga mereka lebih memahami agama ini.

Bagaiman pandangan Anda tentang Muslim di Indonesia?

Saya diundang oleh penerbit buku (Mizan) saya di sini. Dalam kurun 10 tahun ini saya sibuk bepergian ke sejumlah tempat. Pernah juga singgah ke Malaysia. Bagi saya, mesti tinggal beberapa saat dulu di Indonesia, berbicara dengan orang-orangnya, dan mempelajarinya, baru saya bisa menyampaikan opini mengenai Muslim di sini. Saya baru berada di sini pada Rabu (12/6) malam lalu.

Anda menikmati saat berbicara dari satu kuliah umum ke kuliah umum lainnya?

(Karen menjawab sambil tertawa). Tidak benar-benar. Saat kuliah umum, saya selalu mengatakan kepada setiap orang tentang apa yang mesti dilakukan. Saya pergi dari sini kemudian menuju tempat lainnya. Meski tak benar-benar menikmati, saya terkesan dengan sambutan-sambutan yang hangat dan saya sangat menghargainya. Anda tahu, sebenarnya saya adalah seorang yang sangat soliter.

Saya hidup sendiri, saya menyukai keheningan. Saya membutuhkannya termasuk saat menulis. Terlalu berat bagi saya untuk selalu berada di tengah orang banyak. Ini bukan nature saya. Tapi, dalam kunjungan ke Indonesia ini, saya tersentuh. Sebab, ada sambutan hangat dan banyak yang berbuat baik kepada saya. n ed: nur hasan murtiaji

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement