Ahad 09 Jun 2013 08:53 WIB
Tempat Wisata Bandung

Saksi Bisu Sejarah di Savoy Homann

Gedung Sate Bandung
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Gedung Sate Bandung

REPUBLIKA.CO.ID, Bandung tempo dulu begitu banyak menyimpan cerita. Berbagai peristiwa penting sejarah bergulir dari waktu ke waktu di kota ini. Salah satunya adalah Konfernsi Asia Afrika (KAA) yang diselenggarakan pada 18-24 April 1955. Kala itu, tokoh-tokoh pemimpin dunia datang ke Bandung untuk menghadiri konferensi tersebut.

Di antara mereka ada Pandit Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir), dan Cho En Lai (Perdana Menteri Cina). Bilik bambuJika berkunjung ke Kota Bandung sekarang, Anda akan menjumpai sebuah bangunan hotel kuno di sebuah kawasan Jl Raya Asia Afrika. Namanya, Hotel Savoy Homann.

Ya, di situlah para tokoh penting itu menginap saat KAA berlangsung. Sesuai namanya, pemilik penginapan ini awalnya adalah keluarga Homann. Mereka berasal dari Jerman yang pindah ke Bandung pada 1870. Saat itu, pemerintah kolonial memberlakukan hukum agraria yang mengizinkan perusahaan-perusahaan swasta ataupun perorangan untuk memiliki tanah garapan di Hindia Belanda.

Hotel Savoy Homann pada era ini masih berupa rumah bilik bambu yang dimanfaatkan untuk penginapan. Dalam catatan R Teuscher, warga Jerman yang tinggal di Jl Tamblong, pada 1874 hanya ada tujuh bangunan berdinding tembok batu di Bandung. Wajar saja, kota ini pada masa itu masih berupa een kleine berg dessa alias desa pegunungan yang mungil.

Penduduknya hanya berjumlah 18 ribu jiwa. Orang-orang Eropa yang datang ke tempat ini pun “terpaksa” berbaur dengan masyarakat pribumi. Beberapa tahun kemudian, penginapan Homann berubah menjadi bangunan berdinding setengah tembok dan papan. Selanjutnya, penginapan milik keluarga Eropa ini direnovasi lagi hingga menjadi bangunan berdinding tembok seluruhnya. “Kala itu, penginapan ini sering digunakan para pengusaha gula dari Jawa Tengah dan Jawa Timur saat mereka mengadakan pertemuan di Bandung,” tutur Humas Hotel Savoy Homann Malinda Dinangrit.

Dibukanya jalur kereta api dari Batavia ke Bandung pada 1884 membawa perubahan besar terhadap kondisi sosial masyarakat di kota ini. Kehidupan pariwisata di Bandung pun semakin marak sejak itu. Seiring dengan perkembangan tersebut, penginapan Homann akhirnya berubah menjadi hotel.

Tempat ini pun kerap dibanjiri turis yang membutuhkan penginapan. Asrama opsir JepangHotel Homann semakin dipercantik dengan sentuhan arsitektur bergaya art deco yang banyak berkembang di Eropa pada 1920-an. Kesan mewah penginapan ini pun kian terpancar dengan pemberian hiasan interior, jendela kaca patri, juga penggantian mebel-mebel dan kap lampu yang semuanya berbau art deco.

Pada era ini, Hotel Homann dikelola oleh Fr JA van Es, seorang pakar perhotelan yang sebelumnya memiliki pengalaman mengelola Hotel Des Indes di Batavia. Di bawah pengelolaan Van Es, bangunan Hotel Homann diperluas dan dimodernisasi menjadi salah satu hotel paling terkemuka di Asia Tenggara. Renovasi besar-besaran yang dimulai sejak Februari 1937 ini melibatkan dua orang arsitek Belanda, yakni AF Aalbers dan R de Waal.

Perluasan bangunan dilakukan dengan mengambil tempat pada lahan pekarangan depan hotel, tepat di tepi Grote Postweg (kini Jl Asia Afrika). Tangan dingin Aalbers dan de Waal mampu menghadirkan ritme arsitektur yang elok dan megah dengan memanfaatkan garis-garis horizontal panjang yang diulang-ulang. Gedung baru yang kemudian diberi nama Savoy tersebut akhirnya rampung pada akhir 1939. “Inilah cikal bakal bentuk bangunan Hotel Savoy Homann seperti yang ada sekarang,” kata perempuan yang akrab disapa Linda itu.

Namun sayang, Perang Dunia II membawa kerusakan cukup parah pada bangunan hotel ini. Tamu-tamu mancanegara yang berkunjung ke tempat ini pun menurun drastis pada masa itu. Pada era pendudukan Jepang, Savoy Homann sempat menjadi asrama para opsir Jepang. Pada 1945, hotel ini diserahkan kepada Belanda dan difungsikan sebagai gedung Palang Mereh Internasional.

Setahun sesudahnya, barulah Savoy Homann dikembalikan pada JA van Es. Ia mengelola hotel ini sampai wafat pada 1952. Sepeninggal Van Es, Savoy Homann dikelola oleh sang istri. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Nyonya Van Es akhirnya menjual 60 persen saham hotel ini kepada RHM Saddak, seorang anggota DPR RI dan pengusaha yang bergerak di bidang ekspor impor di Jakarta. “Di bawah pimpinan Saddak inilah Savoy Homann menjadi tempat persinggahan para tokoh penting KAA,” terang Linda.

Mantan direktur PT Bidakara Savoy Homann Budi Sasongko menuturkan, daftar tamu KTT Asia Afrika tersebut diabadikan dalam Golden Book yang sekarang disimpan di salah satu ruangan hotel ini. Buku tersebut memuat tanda tangan dan komentar-komentar dari para tamu negara saat itu. “Karena menjadi saksi sejarah, buku ini kita simpan di tempat khusus agar tidak lapuk dimakan zaman,” ujarnya.

Kini, Savoy Homann masuk dalam daftar bangunan bersejarah di Bandung. Status cagar budaya membuat hotel ini masih mempertahankan sebagian besar desain asli bangunannya. Di antaranya, terdapat sebuah gedung lama di pekarangan belakang hotel yang sekarang berfungsi sebagai kantor administrasi.

Kamar-kamar yang pernah dihuni oleh Sukarno, Nehru, dan Cho En Lai ditetapkan sebagai kamar paling mewah di hotel ini dan diberi label Presidential Suite Room. Pengunjung yang ingin menginap di kamar-kamar tersebut pun harus merogoh uang yang tidak sedikit, yakni sekitar Rp 4 juta per malamnya. n

Fakta Seputar Savoy Homann

- Dengan usia yang lebih dari satu abad, Hotel Savoy Homann menjadi salah satu hotel tertua di Kota Bandung.

- Pada masa-masa awal pendiriannya, Hotel Savoy Homann (saat itu masih bernama penginapan Homann-Red) memanfaatkan burung beo sebagai penyambut tamunya.

- Hotel ini pernah disinggahi beberapa tokoh penting dan orang-orang terkenal. Di antaranya adalah komedian asal Inggris Charlie Chaplin, aktris Mary Pickford, Sunan Paku Buwono X, Sultan Deli, Raja Siam, dan masih banyak lagi.

- Pada 2005, dalam rangka memperingati 50 tahun Konferensi Asia Afrika, Sekretariat Negara RI memercayakan penyediaan kamar untuk para tamu negara kepada Hotel Savoy Homann. Konferensi yang berlangsung dari 19-24 April 2005 ini dihadiri 89 pemimpin atau utusan khusus negara-negara di Asia Afrika. Dengan begitu, hotel ini kembali mengulang sejarah yang sama. n

Warisan Budaya Kolonial di Kota Kembang

Sedikitnya ada enam kawasan yang menyusun tata ruang di Kota Bandung era kolonial. Pendiri Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage) Dibyo Hartono menyebutnya sebagai kawasan pusat kota bersejarah, pecinan, kawasan militer, kawasan etnik Sunda, perumahan villa, dan kawasan industri.

Berikut ini beberapa bangunan heritage yang masih tersisa.

1) Gedung Merdeka

Gedung yang terletak di Jl Asia Afrika No 65 Bandung ini pertama kali dibangun pada 1895. Saat itu, bentuk bangunan ini masih sederhana dan digunakan sebagai warung kopi. Selanjutnya, secara berturut-turut, yakni pada 1920 dan 1928 gedung tersebut diperbarui, sehingga menjadi gedung dalam bentuk yang sekarang. Desain akhir Gedung Merdeka dibuat oleh dua orang arsitek berkebangsaan Belanda, yaitu van Gallen Last dan CP Wolff Schoemaker.

Keduanya adalah guru besar pada Technische Hogeschool (ITB sekarang). Kemegahan Gedung Merdeka terlihat dari gaya art deco dan lantai marmer buatan Italianya yang mengilap. Gedung yang di masa itu bernama Sociteit Concordia ini dipergunakan sebagai tempat rekreasi oleh masyarakat Belanda yang berdomisili di Kota Bandung dan sekitarnya.

Berbagai kegiatan pertunjukan kesenian pun kerap diadakan di dalam gedung seluas 7.500 m persegi ini. Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI memilih Gedung Concordia sebagai tempat diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika (KAA). Menjelang KAA, Presiden Sukarno mengganti nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka.

2) Gedung Sate

Kota Bandung semakin berkembang sejak pemerintah kolonial berencana memindahkan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Dengan adanya rencana tersebut, beberapa pembangunan, baik untuk perkantoran maupun tempat tinggal mulai dilakukan. Gedung Sate yang kini berfungsi sebagai kantor gubernur Provinsi Jawa Barat merupakan bangunan yang punya hubungan paling erat dengan rencana pemindahan ibu kota tersebut.

Menurut informasi dari Bandung Heritage, pendirian Gedung Sate baru mencakup sekitar lima persen dari rencana pembangunan kompleks pusat perkantoran instansi pemerintah sipil Hindia Belanda. Awalnya, bangunan-bangunan itu akan menempati lahan di Bandung Utara seluas 27 ribu meter persegi yang disediakan oleh Gemeente van Bandoeng lewat Raadbesluit tertanggal 18 Desember 1929. “Namun sayang, resesi ekonomi yang melanda Hindia Belanda pada 1930-an, menyebabkan rencana pemindahan ibu kota negara ini tidak jadi terlaksana,” kata Sekretaris Bandung Heritage Koko Qomara.

3) Villa Isola

Villa Isola dibangun bergaya arsitektur modern dengan sentuhan art deco. Gedung yang mulai didirikan pada Oktober 1932 ini memiliki lima lantai. Lantai terbawahnya memiliki posisi yang lebih rendah dari jalan raya. Hal itu karena topografi yang tidak rata. Sudut dan dinding-dinding bangunan ini membentuk lengkungan seperempat lingkaran, membuat tampilannya tampak anggun dan menarik.

Sementara, area di sekeliling gedung yang luas dan terbuka dibuat menjadi taman yang berteras-teras mengikuti pola permukaan tanah. Villa Isola dulunya adalah milik seorang miliuner asal Italia DW Berretty untuk tempat bersantai dan beristirahat. Villa Isola berganti nama menjadi Bumi Siliwangi sejak 1954. Hari ini, bangunan tersebut berfungsi sebagai gedung rektorat Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

4) Kawasan Braga

Braga adalah sebuah kawasan eksotis di Bandung. Konon, Jl Braga di masa lalu merupakan jalan raya aspal pertama di kota ini. Sampai sekarang, sejumlah bangunan kuno yang berderet masih dapat dijumpai di sepanjang pinggir jalan kawasan ini. Sebagian besar bangunan tersebut berfungsi sebagai pertokoan dan tempat makan.

5) Penjara Banceuy dan Gedung Indonesia Menggugat

Kompleks Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bandung yang dulu berada di Jl Banceuy No 8 sekarang hanya menyisakan sebuah bangunan sel nomor 5 berukuran 1,5 x 2,5 meter. Di situlah Sukarno mendekam selama delapan bulan karena tuduhan yang bersifat politis dari pemerintah kolonial.

Di tempat ini pula presiden pertama RI itu menyusun pledoinya yang berjudul Indonesia Menggugat. Sukarno membacakan pledoi tersebut saat menjalani proses peradilannya di Gedung Landraad. Belakangan, gedung yang berada di Jl Perintis Kemerdekaan, Bandung, ini pun berganti nama menjadi Gedung Indonesia Menggugat (GIM). n fian novera ed: nina chairani

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement