Ahad 02 Jun 2013 06:40 WIB
Refleksi

Ketika Umat Islam Mayoritas

  Ribuan umat Islam mengikuti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan Majelis Rasulullah di kawasan Silang Monas, Jakarta Pusat, Kamis (24/1).  (Republika/Aditya Pradana Putra)
Ribuan umat Islam mengikuti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan Majelis Rasulullah di kawasan Silang Monas, Jakarta Pusat, Kamis (24/1). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

Penghargaan World Statesman Award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) oleh sebuah yayasan internasional di Amerika Serikat pada 30 Mei, yakni Appeal Of Condience Foundation (ACF), mengundang polemik di Tanah Air yang menarik untuk dicermati.

Isu utama yang menimbulkan pro dan kontra seputar penghargaan itu adalah berkaitan dengan keberhasilan Indonesia dalam membangun kerukunan antarumat beragama. Sebagian besar organisasi kemasyarakatan Islam secara terbuka menyampaikan dukungan atas pemberian penghargaan terkait kerukunan dan toleransi kehidupan beragama di Indonesia itu.

Kalangan Muslim memandang bahwa penghargaan yang diberikan bukan semata-mata hanya untuk Kepala Negara, namun juga diberikan kepada seluruh umat beragama di Indonesia yang mayoritasnya adalah Islam.Sementara, kelompok lain menentang penghargaan tersebut dengan alasan masih terjadinya kasus-kasus intoleransi beragama di Indonesia, seperti yang terjadi dalam pembangunan gereja, kasus Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya yang dianggap sebagai bentuk pengabaian negara terhadap kemerdekaan beragama dan hak-hak minoritas.

Kita perlu menganalisis persoalan kerukunan dan toleransi beragama ini dengan sudut pandang yang adil dan objektif, bukan dengan sikap apriori. Kerukunan dan toleransi beragama bagi umat Islam merupakan bagian dari akidah dan bukan strategi politik atau taktik pengembangan agama.

Dikatakan demikian karena kitab suci Alquran satu-satunya kitab suci agama yang menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama (lihat QS al-Baqarah: 256 dan QS Yunus: 99). Alquran melarang umat Islam memusuhi umat beragama lain yang tidak memusuhi umat Islam dan mengusir dari kampung halamannya (QS al-Mumtahanah: 8). Juga umat Islam dilarang menghancurkan tempat ibadah agama lain, mencela Tuhan-Tuhan yang mereka sembah (QS al-Anam: 108).

Lebih jauh lagi, umat Islam diingatkan bahwa janganlah karena kebencianmu terhadap suatu golongan menyebabkan kamu berlaku tidak adil terhadap mereka. Dasar-dasar kerukunan dan toleransi antarumat beragama dalam perspektif Islam tentu saja tidak membenarkan mencampur aduk akidah dan ibadah.

Dalam hal ini secara jelas dan tegas berlaku prinsip lakum diinukum waliyadiin(bagimu agamamu, bagiku agamaku). Prinsip Alquran ini mengilhami konsep dan pendekatan baru kerukunan dan toleransi beragama sejak awal 1970-an yang dicetuskan oleh menteri agama waktu itu, Prof Dr HA Mukti Ali (almarhum), yaitu konsep agree in disagreement.

Sejarah Islam selama 15 abad menunjukkan bahwa ketika umat Islam memegang kekuasaan atau merupakan mayoritas di suatu negara, umat beragama lain terlindungi hak-haknya dalam memeluk agama. Rasulullah SAW setelah memimpin Madinah dan ketika menaklukkan Kota Makkah memberikan perlindungan atas jiwa dan harta benda penduduk setempat tanpa membedakan agamanya.

Tidak ada umat non-Muslim yang tertindas dan terlindas oleh umat Islam di negara-negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas Muslim. Hal itu bukan hanya diakui oleh para sejarawan Muslim, melainkan juga oleh sejarawan non-Muslim yang bersikap objektif.

Dalam bukunya, Holy War, Karen Amstrong menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Umar bin Khattab sebagai berikut. “Pada tahun 637 M, Umar bin Khattab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius.

Sang Khalifah minta agar dibawa segera ke Haram al-Syarif dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan malamnya (maksudnya Isra dan Miraj).Sang uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berpikir ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel.

Pastilah, Umar RA adalah sang anti-Kristus yang akan melakukan pembantaian dan menandai datangnya hari kiamat. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti.” Terbukti, setelah itu, penduduk Palestina hidup damai, tenteram, tidak ada permusuhan dan pertikaian meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda, Islam, Kristen, dan Yahudi.

Sejarah mencatat, di Andalusia (Spanyol sekarang), kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan selama berabad-abad di bawah naungan kekuasaan Islam. Tidak ada pemaksaan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk memeluk agama Islam. Pengembangan Islam di seluruh penjuru dunia dilakukan melalui dakwah, bukan dengan senjata dan tekanan politik.

Begitu pun di Indonesia, kerukunan dan toleransi beragama lebih mudah diciptakan dan dipelihara karena peranan, andil, dan pengorbanan umat Islam sebagai umat beragama yang mayoritas. Kita ingat pernyataan tokoh politik nasional dan mantan menteri almarhum Letjen TNI Alamsjah Ratu Perwiranegara yang menegaskan, “Pancasila adalah hadiah dan pengorbanan terbesar umat Islam terhadap kemerdekaan dan persatuan bangsa.”

Seperti diketahui, umat Islam sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia telah berkomitmen untuk menerapkan sikap toleransi kepada pemeluk agama lain dalam membangun kehidupan bangsa dan negara. Tetapi, ada kelompok kecil membangun opini bahwa umat Islam sebagai mayoritas menghambat pembangunan rumah ibadah agama lain.

Padahal, berdasarkan data Badan Litbang Kementerian Agama RI, dalam 10 tahun terakhir, perkembangan rumah ibadah umat Islam hanya 64,22 persen. Sedangkan, pembangunan rumah ibadah umat Kristen sebesar 131 persen, rumah ibadah umat Katolik sebesar 153 persen, rumah ibadah umat Hindu sebesar 368,9 persen, dan rumah ibadah umat Buddha 475,25 persen.

Karena itu, kita mendukung sikap Menteri Agama Suryadharma Ali yang mengatakan akan tetap mempertahankan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang isinya, antara lain, mengatur tentang pendirian rumah ibadah karena sangat diperlukan sebagai pedoman dalam pembangunan rumah ibadah di Indonesia.

Sekiranya, tidak ada aturan dalam pembangunan rumah ibadah akan meningkatkan kerawanan di dalam masyarakat karena potensi konflik cukup besar. Kasus-kasus yang meletup di beberapa tempat, seperti pembangunan gereja HKBP Bekasi, Geraja Yasmin Bogor, dan lainnya, akar permasalahannya adalah pada soal kepatuhan terhadap aturan dan persyaratan dalam mendirikan rumah ibadah.

Jika ada pihak yang mengatakan umat Islam menghambat pembangunan rumah ibadah agama lain, anggapan itu tidak benar.Di daerah yang umat Islam merupakan minoritas juga tidak bebas leluasa mendirikan masjid, bahkan ada masjid yang sampai dirobohkan, tapi umat Islam tidak mau ribut dan tidak pernah mengangkat persoalan tersebut untuk memengaruhi opini masyarakat dunia.

Berbeda dengan kelompok atau umat lain ketika membangun tempat ibadah. Sumber gangguan kerukunan antarumat beragama di Indonesia bukan berawal dari umat Islam, melainkan dari kelompok atau sekte agama lain yang mendirikan tempat ibadah tanpa memperhatikan situasi lingkungan atau ada sekte dalam agama yang melakukan penistaan simbol-simbol agama. Kalaupun ada di antara umat Islam yang melakukan anarkistis terhadap kelompok agama lain, itu karena terpancing dan terbakar emosi massa.

Dapat disimpulkan, berdasarkan fakta, karena umat Islam yang mayoritas, kerukunan dan toleransi antarumat beragama di Indonesia dapat kita wujudkan dan pertahankan sepanjang perjalanan republik ini dengan segala dinamika dan tantangannya.

Ketika ada umat Islam bereaksi karena pendirian tempat ibadah agama lain yang tidak mematuhi aturan atau tindakan penyiaran suatu agama ditujukan kepada umat yang telah memeluk agama tertentu, tidak tepat dipandang sebagai sikap intoleransi.

Di samping itu, perlu diingat, semua umat beragama di negara kita memiliki tanggung jawab yang sama dalam membangun dan memelihara kerukunan dan toleransi beragama yang bersifat dinamis dan bukan hanya tanggung jawab diletakkan di pundak umat yang mayoritas. Wallahu alam bish shawab. n

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement