Kamis 16 May 2013 01:47 WIB
Ujian Nasional

Nasib UN Melalui Konvensi Nasional

Sejumlah siswa mengikuti Ujian Nasional (UN) mata pelajaran Bahasa Indonesia di SDN Balimester 01, Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (6/5).  (Republika/Prayogi)
Sejumlah siswa mengikuti Ujian Nasional (UN) mata pelajaran Bahasa Indonesia di SDN Balimester 01, Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (6/5). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Nasib pelaksanaan Ujian Nasional (UN) akan ditentukan melalui konvensi nasionai. Konvensi pendidikan direncanakan digelar September 2013.

"Jadi, nasib ujian nasional akan ditentukan nanti melalui konvensi. Jika setiap tahun selalu saja ramai mempermasalahkan ujian nasional, bisa habis energi," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh di Yogyakarta, Rabu (15/5).

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Mei, menyebutkan pemerintah menugaskan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk menyelenggarakan Ujian Nasional di tingkat pendidikan dasar dan menengah dikecualikan untuk jenjang SD/MI/SDLB atau sekolah sederajat lainnya.

Nuh mengatakan, perlu pencermatan dalam mengartikan kalimat dalam peraturan tersebut. “Memang ada pengecualian, tetapi bisa saja bukan BSNP yang menyelenggarakan ujian nasional," ucapnya.

Seperti saat ini, lanjut Nuh, ujian nasional di tingkat SD/MI/SDLB atau sederajat lebih banyak dilakukan dengan pengembangan soal oleh daerah berdasar kisi-kisi yang ditetapkan. Persentasenya 75 persen soal dari daerah dan 25 persen dari pusat.

Karena itu, kata Mendikbud, nasib UN tunggu saja nanti hasil konvensi nasional. “Jika dihapus maka apa gantinya. Atau jika dipertahankan, bagaimana pelaksanaannya," ujarnya.

Ditanya soal wacana penghapusan UN tingkat Sekolah Dasar (SD), Nuh mengatakan, itu juga ditentukan pada konvensi nasional. Dia menyebut Pasal 72 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) jelas menerangkan soal itu.

Informasi publik

Terkait hasil investigasi UN, Indonesia Corruption Watch (ICW) yang tergabung dalam Koalisi Pendidikan meminta semua temuan diinformasikan kepada publik. Permintaan itu diajukan karena Mendikbud tidak mengungkapkan nama pejabat dan perusahaan yang bertanggung jawab atas UN 2013.

Peneliti ICW bidang pendidikan Febri Hendri mengemukakan, pengungkapan semua temuan Itjen akan membantu pengusutan kasus keterlambatan dan indikasi korupsi dalam pengadaan jasa percetakan dan distribusi UN 2013.

Menurut Febri, laporan Itjen atas kekacauan UN 2013 adalah informasi publik sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). “Ini diperkuat lagi dengan pengungkapan laporan Itjen oleh Mendikbud melalui konferensi pers pada Senin (13/5),” tuturnya di Jakarta, Rabu (15/5).

Apalagi, kata dia, pemeriksaan Itjen didanai oleh APBN. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan bagi Mendikbud dan jajarannya untuk menahan memberikan laporan tersebut atau menunda pengungkapannya kepada publik.

Febri menuturkan penundaan pengungkapan akan semakin meningkatkan ketidakpercayaan publik kepada Mendikbud dan jajarannya dalam mengelola pendidikan nasional. Pengunduran diri Kabalitbang, menurut Febri, tidak akan berdampak terhadap proses pemindaian dan penilaian UN.

Menurut dia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harusnya dapat mengantisipasi, mengganti penjabat atau staf yang terkait dengan teknis pelaksanaan UN 2013. "Sebaliknya, dengan mempertahankan pejabat yang bermasalah justru mengundang pertanyaan publik, apakah ada pejabat yang dikorbankan dan ada yang diselamatkan," ujarnya.

 

Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemendikbud Ibnu Hamad mengatakan, salinan hasil investigasi Itjen merupakan dokumen informasi publik. Tapi, kata dia, untuk mendapatkan dokumen tersebut perlu ditempuh melalui prosedur yang ada.

Dia mengatakan, jika ICW ingin meminta hasil investigasi yang merupakan bagian dari dokumen informasi publik, sebaiknya ditempuh melalui tata cara permintaan dokumen informasi publik yang sudah ada sesuai UU KIP. 

Selain itu, harus melalui prosedur yang ada di Kemdikbud seperti mengajukan surat resmi, mengisi formulir, dan menunggu dokumen keluar sesuai tenggat waktu 14 hari. "Jika sesuai prosedur, kami akan layani," ujarnya.

Namun, ia menyatakan belum mengetahui apakah itu termasuk dokumen yang dapat diunggah pada publik atau dokumen yang dikecualikan atau tidak dapat dibuka pada publik.

Karena itu, ia tidak dapat memberikan kepastian apakah jika telah sesuai prosedur, salinan hasil investigasi dapat diberikan atau tidak. "Intinya permintaan ICW boleh saja asal sesuai prosedur," katanya. n yulianingsih/fenny melisa ed: burhanuddin bella

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement