Kamis 25 Apr 2013 08:40 WIB
Bom Boston

Teror AS Dipicu Motif Pribadi

Tamerlan Tsarnaev.
Foto: IST
Tamerlan Tsarnaev.

REPUBLIKA.CO.ID, BOSTON -- Perang Afghanistan dan Irak yang diluncurkan oleh Amerika Serikat diduga menjadi motif di balik aksi peledakan bom Boston. Tersangka tidak senang dengan kebijakan perang AS. Hal itu berdasarkan pengakuan tersangka Djohar Tsarnaev kepada penyidik, seperti dikutip CNN, Selasa (24/4).

Djohar kini sudah dapat sedikit berkomunikasi setelah mengalami luka tembak di bagian leher. Dalam proses introgasi, Djohar lebih banyak menjawab secara tertulis.

Jaksa telah menuntut Djohar dengan pasal penggunaan senjata pemusnah massal yang menghancurkan properti serta menyebabkan kematian. Jika terbukti, dia dapat dikenakan hukuman mati.

Dalam keterangan polisi, Djohar mengaku dia dan kakaknya Tamerlan Tsarnaev yang tewas di tangan peluru aparat tidak memiliki hubungan dengan jaringan teroris internasional. Meski demikian, kata seorang penyidik, mereka akan tetap memeriksa rekening keduanya.

"Ini adalah orang-orang yang beroperasi di negara kita tanpa terkait dengan kegiatan terorisme di luar negeri,'' kata seorang pejabat intelijen AS, seperti dikutip Washington Post, Selasa (23/4).

Masih menurut keterangan sepihak penyidik, Djohar mengatakan bahwa kakaknya menjadi radikal sendiri setelah belajar melalui media internet. Mahasiswa Universitas Massachusetts ini mengaku kakaknya Tamerlan merupakan dalang dari semua aksi itu. Pelaku tidak senang serangan AS ke Afghanistan dan Iran yang dianggap mencederai umat Islam.

Dua penyidik mengatakan Tamerlan secara rutin membuka situs gerakan radikal. Di antaranya, termasuk majalah Inspire, situs berbahasa Inggris yang dioperasikan oleh jaringan Alqaidah berbasis di Yaman. Majalah itulah yang menjadi panduan Tamerlan untuk membuat bom. Penyidik menjelaskan, majalah itu dua kali menerbitkan artikel tentang cara pembuatan bom panci.

Namun, keterangan penyidik sepertinya belum mampu meyakinkan kerabat pelaku. Said Tsarnaev yang tinggal di Grozny, Chechnya, menuduh Moskow terlibat dalam insiden tersebut. Mereka telah mengirimkan informasi palsu kepada AS yang menggambarkan saudaranya terkait gerakan radikal.

Moskow, kata dia, ingin meyakinkan Barat bahwa aksi pemberontak di Kaukasus Utara Rusia (Chechnya) telah mengglobal. "Rusia ingin menunjukkan kepada AS bahwa Chechnya adalah teroris."

Penyelidik menyatakan akan menelusuri kunjungan Tamerlan ke Dagestan, Rusia, pada 2012. Kedua orang tuanya membantah Djohar dan Tamerlan terlibat. Rusia telah meminta Biro Investigasi AS (FBI) memeriksa Tamerlan pada 2011.

Disebut-sebutnya kembali Islam dalam kasus peledakan bom Boston menjadi senjata baru bagi para pengusung Islamofobia. Hal itu disampaikan Juru Bicara Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) kepada Philadelphia Inqueirer. "Namun, saya yakin Amerika dapat lebih dewasa untuk menyikapi kasus ini," katanya, seperti dikutip Onislam. Serangan pertama terhadap Muslim datang dari kontributor Fox News Erick Rush. dalam kicauannya di Twitter, dia mengatakan, semua Muslim harus dibunuh sebagai respons terhadap ledakan bom Boston. 

Istri Tamerlan Tsarnaev, Katherine Russel mengaku kaget mendengar suaminya terlibat dalam insiden bom tersebut. Melalui pengacaranya, Amato DeLuca, dia mengatakan Katherin melihat suaminya pada Kamis malam pekan lalu beberapa jam sebelum terbunuh polisi. Dia memegang putrinya yang berusia dua tahun sebelum bekerja.

Insiden bom Boston terjadi Senin (15/4) pekan lalu. Setidaknya tiga orang tewas dan 200 lainnya terluka akibat ledakan di dekat garis finis lomba lari maraton.

Hingga kini petisi dukungan agar Djohar mendapatkan hak-hak sipil semakin menguat. Setidaknya sudah ada 6.000 orang yang mengajukan petisi, yang dilayangkan kepada Presiden Barack Obama. 

Di tempat terpisah, Jaksa AS membatalkan tuntutan kepada tersangka Paul Kevin Curtis yang dituduh mengirimkan surat berisikan zat beracun risin kepada Presiden Barack Obama. Dengan keputusan ini, maka kasus ini kembali dibuka dan polisi mencari tersangka baru. n bambang noroyono/ap/reuters ed: teguh firmansyah

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement