Rabu 10 Apr 2013 01:00 WIB
Konglomerasi Bank

16 Bank Terendus Konglomerasi

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad (kanan).
Foto: Antara/Fanny Octavianus
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menduga ada 16 bank yang teridentifikasi melakukan praktik konglomerasi bank. Mereka biasanya membentuk badan usaha (holding) dan menguasai hampir 60 persen dari total industri keuangan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad menyebutkan, 16 bank itu terdata mempunyai anak perusahaan investasi, multifinance, dan operasionalnya dilakukan lintas sektoral. Saat ini, bank sementara diawasi oleh Bank Indonesia (BI), sedangkan anak-anak usahanya diawasi oleh lembaga berbeda, seperti pasar modal yang saat ini diawasi OJK.

“Saat ini, kami meminta bank yang membentuk holding itu mengawasi anak-anak usahanya yang berbentuk perusahaan. Sementara, OJK akan memanggil bank-bank bersangkutan, khususnya bank yang sudah membentuk holding,” ujar Muliaman di Jakarta, Selasa (9/4). OJK mendata kelemahan sesungguhnya terdapat pada anak-anak usaha bank bersangkutan.

Tahun depan, Muliaman melanjutkan, OJK akan sepenuhnya mengawasi sektor perbankan. Untuk mengoptimalkan pengawasan dan edukasi di daerah, OJK juga akan membuka kantor-kantor di setiap daerah. Misalnya, kantor yang sudah ada saat ini di Surabaya (Jawa Timur) dan Makassar (Sulawesi Selatan).

Ke depannya, OJK mengemban tugas berat mengawasi praktik-praktik lembaga keuangan, misalnya terkait konglomerasi bank atau kartel bank.

Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, BI tak melihat adanya indikasi kartel di Indonesia dengan beberapa faktor. Pertama, saat ini secara individu bank wajib melaporkan besaran suku bunga dasar kredit (SBDK). Kedua, kondisi SBDK saat ini sudah memperlihatkan kondisi bank sebenarnya. “Bukan hasil kesepakatan dengan bank lain,” ujar Perry.

Ketiga, saat menentukan besaran suku bunga kredit, bank tetap bersaing untuk menarik minat masyarakat. Sehingga, suku bunganya relatif sama. Meski ada sedikit perbedaan, n Perry menegaskan hal itu bukan praktik kartel. Alasannya, tak ada unsur persekongkolan. Adapun faktor keempat, suku bunga kredit dan deposito di Indonesia cenderung menurun. Jika ada oligopoli, suku bunga minimal pasti stabil dan tak akan turun.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengatakan, praktik kartel bank di Indonesia sulit dibuktikan. Mengenai konglomerasi, industri keuangan memang dikuasai pelaku besar tertentu. Setidaknya, di Indonesia ada 14 bank besar. Kecenderungan saling menjaga kepentingan antarpelaku perbankan mau tak mau pasti terjadi. Namun, hal itu bukanlah kartel atau konglomerasi.

Saat ini, kata Bambang, yang perlu didorong adalah bank-bank BUMN menurunkan suku bunga. “Sebab, mereka (bank BUMN) menjadi referensi tingkat bunga oleh bank lain,” ujar Bambang.

Menurut Bambang, otoritas dan regulator keuangan di Indonesia perlu melakukan pendalaman pasar keuangan untuk memperluas investor di instrumen lain, misalnya pasar saham, reksa dana, dan obligasi. Apabila masyarakat sudah merata memperluas instrumen nonperbankannya, indikasi praktik konglomerasi dan kartel bank tak akan ada.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengharapkan, OJK bisa mengawasi sistem keuangan agar stabil dan berdaya saing. Masyarakat dan seluruh industri jasa keuangan berharap OJK bisa memainkan fungsi terintegrasinya terhadap perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Jika dibandingkan negara lain, kata Rosan, banyak negara yang menyatukan fungsi pengawasan bank dalam otoritas bank sentral. Namun, ada juga beberapa negara yang kemudian menyerahkan fungsi pengawasan tersebut kepada lembaga lain di luar bank sentral.

Dia mencontohkan Singapura dengan Monetary Authority of Singapore (MAS), Amerika Serikat dengan The Federeal Reserve, Australia dengan The Australian Prudential Regulation Authority (APPRA), Inggris dengan Financial Services Authority (FSA), dan Korea Selatan dengan Financial Spervisory Commision (FSC). n mutia ramadhani ed: eh ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement