Rabu 14 Dec 2016 17:00 WIB

Mengatasi Deraan Nyeri Kanker

Red:

Zubeadah (54 tahun) sering merasa kesakitan saat nyeri mendera perut bawahnya. Kanker rahim stadium tiga yang dideritanya saat ini terasa menyiksa. Tak jarang, dia harus dibawa kembali ke rumah sakit untuk mengatasi nyerinya itu. Tapi, rasa sakitnya tak juga hilang.

Rasa nyeri akibat penyakit kanker kerap menjadi momok menakutkan bagi para pasiennya. Pasalnya, sebagian besar pasien kanker akan mengalami nyeri, baik sering atau sewaktu-waktu. Walaupun, memang ada juga pasien kanker yang tidak merasakan nyeri.

Dari mana sumber nyerinya? Nyeri tersebut dirasakan bisa karena saraf yang ada di sekitarnya mendapatkan tekanan dari massa kanker yang terus berkembang. Rasa nyeri itu juga muncul sebagai efek samping terapi, seperti kemoterapi, pembedahan, dan obat-obatan. Bahkan, nyeri ini dapat menetap meski penderita tersebut telah dinyatakan bebas dari kanker.

"Pasien kanker biasanya merasakan nyeri kanker sedemikian hebat. Karena itu, nyeri kanker penting dan harus diatasi. Penanganan yang diperlukan untuk mengatasi nyeri harus baik dan terkontrol," ujar Pakar Nyeri dari Klinik Nyeri dan Tulang Belakang Jakarta Prof dr Darto Satoto SpAn(K) saat membahas tema tersebut di Jakarta, pekan lalu.

Derajat nyeri yang berkaitan dengan kanker dapat bervariasi dari penderita satu ke penderita lain. Hal ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti jenis, stadium kanker, dan kepekaan pasien terhadap nyeri. Nyeri ini umumnya dapat dikendalikan melalui berbagai cara dan obat. "Semakin cepat diterapi, kemungkinan nyeri teratasi juga semakin besar," jelasnya.

Darto mengungkapkan, 10 tahun lalu penanganan nyeri kanker belum sebagus dan sesempurna sekarang. Banyak pasien meninggal dengan keadaan nyeri yang menyedihkan, sehingga sebelum meninggal kualitas hidupnya menurun.

Semua kini dapat diatasi berkat panduan penatalaksanaan nyeri kanker yang dipublikasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di dalam panduan itu, kata dia, terdapat pemahaman mengenai berbagai modalitas analgesik, sehingga penanganan nyeri pada penderita kanker telah jauh lebih baik dibanding dahulu.

Berdasarkan step-ladder WHO, nyeri yang bersifat ringan hingga sedang dapat diterapi menggunakan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid. Sedangkan, nyeri derajat sedang hingga berat dapat diatasi dengan pemberian obat dari golongan narkotik, seperti kodein, morfin, dan lain-lain.

"Pasien kanker punya hak mendapatkan pengobatan dengan analgesik kuat, seperti narkotik. Masyarakat kita belum paham. Mendengar kata morfin, dianggap morfinis," ujarnya.

Meski demikian, studi menunjukkan bahwa penerapan step-ladder WHO tidak adekuat pada sekitar 14 persen penderita nyeri kanker. "Pada pasien ini, nyeri tidak dapat diatasi meski telah dilakukan kemoterapi, operasi, radiasi, dan pemberian obat-obatan pereda nyeri," ujarnya. Karena itu, kehadiran terapi intervensi sebagai pilihan penanganan nyeri yang efektif tidak kalah pentingnya.

Terapi intervensi nyeri pada kanker

Menurut studi, 10 sampai 20 persen pasien nyeri kanker dengan respons rendah terhadap terapi opioid atau bermasalah dengan efek sampingnya, dapat memperoleh manfaat dari prosedur intervensi untuk memutuskan sinyal nyeri dari saraf tepi ke otak. "Terapi ini juga dapat membantu mengurangi kebutuhan dan efek samping terhadap obat analgesia, terutama golongan narkotik," jelas Darto.

Pakar nyeri dari Klinik Nyeri dan Tulang Belakang Jakarta dr Mahdian Nur Nasution SpBS mengatakan, umumnya pasien dapat ditangani melalui obat pereda nyeri tradisional. Tapi, ada sebagian dari mereka tidak dapat menikmati fase bebas nyeri.

Karena itu, kata dia, butuh penanganan yang lebih kompleks pada pasien-pasien ini dengan teknik atau terapi intervensi dan peranan dokter ahli di bidang nyeri sangat diperlukan. Namun, terapi ini masih terbatas, bahkan di pusat kanker sekali pun.

Darto menjelaskan, ada dua teknik intervensi yang dilakukan untuk mengatasi nyeri kanker, yaitu teknik destruktif dan teknik nondestruktif. Teknik destruktif merupakan teknik perusakan jaringan saraf guna menghentikan impuls nyeri secara irreversible. Salah satu caranya adalah dengan pemberian agen farmakologis, radiofrekuensi, dan pembedahan.

Teknik destruktif umumnya dapat dilakukan hanya satu kali, meskipun mungkin memerlukan pengulangan di kemudian hari. Dengan demikian, teknik ini lebih menguntungkan dari segi biaya dan kenyamanan. Tapi, efek sampingnya adalah kerusakan saraf dan jaringan lain di luar sasaran.

Sedangkan teknik nondestruktif untuk menghentikan impuls nyeri secara reversible melalui obat-obatan atau rangsangan elektrik. Bentuk terapinya berupa prosedur yang dilakukan secara berkala, pemberian infus anestesi lokal (tanpa steroid) terus-menerus, atau melalui perangsangan saraf.

Cara-cara terkait penyuntikan sejumlah obat analgesia terbukti pada sejumlah studi dapat menurunkan kebutuhan obat pereda nyeri sistemik pada pasien nyeri kanker derajat berat dan cukup populer. "Untuk mendapatkan efek jangka panjang, teknik ini dapat dikombinasikan dengan pemasangan implan kateter," jelas Darto.

Selain itu, bisa juga diterapkan perangsangan sumsum tulang dengan menanamkan elektroda di dalam rongga epidural setinggi daerah spinal yang hendak diatasi nyerinya. Elektroda ini mengantarkan stimulus yang menurunkan sensasi nyeri di daerah yang dituju. Tapi, teknik ini belum banyak digunakan pada pasien kanker.

Mahdian menambahkan, stres juga dapat memicu kanker. Stres akan menurunkan sistem kekebalan tubuh dan merusak sistem hormonal. Pada saat imunitas tubuh turun maka seseorang bisa terserang kanker.

 

Sebenarnya, setiap hari, kata dia, tubuh manusia terdapat sel yang bisa mengganas. Ketika imun tubuh menurun, sel kankernya malah terus berkembang biak. "Kalau imunitas tidak bagus, apabila terjadi perubahan sifat sel jadi mengganas maka tubuh tidak bisa mengatasi," ujarnya.

Selain imunitas, makanan juga bisa menyebabkan sel kanker semakin banyak. Makan yang tidak sehat, misalnya, makan makanan yang mengandung pengawet, bahan kimia, atau bahan lainnya yang bersifat karsinogenik bisa menyebabkan sel kanker tumbuh tidak normal. Karena itu, sebaiknya pilih makanan yang sehat.     rep: Desy Susilawati, ed: Dewi Mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement