Senin 25 Jul 2016 15:00 WIB

Dampak Vaksin Palsu Bagi Anak

Red:

Sejak kasus vaksin palsu marak ditemukan pada awal bulan ini, orang tua yang anak-anaknya telanjur diberikan vaksinasi tersebut merasa cemas. Mereka khawatir pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya kelak. Apalgi, bukan tidak mungkin tubuh mereka menjadi kebal terhadap salah satu vaksin, yang sebenarnya justru berfungsi mencegah penyebaran penyakit berbahaya ke dalam tubuh.

Apakah sebenarnya imunisasi itu? Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, Piprim Basarah Yanuarso, menjelaskan, imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terkena penyakit itu dia tidak menjadi sakit.

Kekebalan yang diperoleh dari imunisasi dapat berupa kekebalan pasif maupun aktif. Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan pasif disebut imunisasi pasif, dengan cara memberikan antibodi atau faktor kekebalan kepada seseorang yang membutuhkan.

"Kekebalan aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpapar antigen secara alamiah atau melalui imunisasi," katanya beberapa waktu lalu di Bandung, Jawa Barat. Imunisasi yang diberikan untuk memperoleh kekebalan aktif disebut imunisasi aktif dengan memberikan zat bioaktif atau vaksin, dan tindakan itu disebut vaksinasi.

Kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi berlangsung lebih lama daripada kekebalan pasif, karena adanya memori imunologis, walaupun tidak sebaik kekebalan aktif yang terjadi karena infeksi alamiah. "Untuk memperoleh kekebalan aktif dan memori imunologis yang efektif maka vaksinasi harus mengikuti cara pemakaian dan jadwal yang telah ditentukan melalui bukti uji klinis yang telah dilakukan," ujarnya.

Anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini menambahkan, tujuan imunisasi adalah mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang. Fungsi lainnya adalah menghilangkan penyakit tersebut kepada sekelompok masyarakat (populasi), atau bahkan menghilangkannya dari dunia, seperti kita lihat pada keberhasilan imunisasi cacar variola.

Namun, dengan kasus vaksin palsu, tentunya akan memberikan dampak buruk, terutama terhadap anak. Menurut spesialis gizi klinik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr Nurul Ratna Manikam SpGK, jika anak diberikan vaksin palsu, dikhawatirkan kekebalan tubuhnya rendah dan kebal terhadap vaksin, sehingga memudahkan mereka terserang berbagai macam penyakit.

"Vaksinasi palsu efek jangka panjangnya bisa membuat anak menjadi resistan, contohnya saja saat vaksinasi polio atau campak. Bukan tidak mungkin jika anak diberikan vaksin palsu lantas mereka justru dapat terserang penyakit tersebut di kemudian hari. Ujung-ujungnya vaksin palsu ini sangat berisiko mengganggu tumbuh kembang anak," jelasnya kepada Republika di Jakarta, pekan lalu.

Meskipun banyak orang tua merasa khawatir dan cenderung protes kepada rumah sakit dan meminta anaknya di vaksin ulang, namun tidak sedikit pula yang tidak peduli. Sebab, mereka berpikir kondisi anaknya saat ini terlihat baik-baik saja, tanpa adanya gangguan perkembangan atau penyakit apa pun.

Tetapi, Nurul tetap menyarankan agar anak mengikuti program pemerintah dengan cara booster vaksin jika usianya beranjak tujuh tahun. Booster vaksinasi ini dapat dilakukan oleh dokter anak yang berfungsi agar anak tetap memiliki kekebalan tubuh yang kuat.

"Orang mengenalnya dengan vaksinasi ulang, tapi ini kembali ke pilihan orang tua. Kalau sangat aware terhadap kesehatan anaknya, kami menyarankan untuk melakukan booster vaksinasi. Syaratnya cukup membawa kartu pasien, sehingga dokter anak nantinya bisa melakukan booster vaksin sesuai dengan vaksinasi palsu yang pernah dilakukan sebelumnya," katanya menambahkan.

Ketika datang ke dokter anak untuk booster vaksinasi, sebaiknya anak harus dalam kondisi sehat, tidak batuk, maupun flu. Proses vaksinasinya pun dapat dilakukan tanpa melalui rujukan bagi pasien umum yang menggunakan asuransi atau pribadi dalam proses administrasi. Namun, bagi pasien pengguna kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tetap harus dirujuk dan mungkin prosesnya sedikit lebih rumit jika dibandingkan pasien umum.

Sementara itu, menurut Dr Marius Widjajarta selaku ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), bagi orang tua yang anaknya menjadi korban vaksin palsu sejauh ini memang tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu keputusan sidang kasus tersebut. Tujuannya, agar pemerintah dapat melanjutkan tindakan medis yang tepat dan sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku.

Walau pun demikian, dia menilai, banyak orang tua yang gegabah dengan cara meminta anaknya dilakukan vaksinasi ulang oleh dokter lain. "Mengganti dokter untuk melakukan vaksinasi ulang bisa saja dilakukan, tanpa melalui proses rujukan dari dokter yang menangani sebelumnya asalkan pasien memiliki buku resume medis," kata dia ketika dihubungi belum lama ini.

Dia mengatakan, resume medis berguna agar dokter pengganti bisa mengetahui secara pasti jenis vaksin palsu apa saja yang sudah diberikan dokter sebelumnya. Namun, ternyata banyak pula pasien tidak diberikan buku resume medis saat melakukan vaksinasi. Sehingga, untuk melakukan rujukan ke dokter lain, tak jarang banyak rumah sakit yang menolak.

Padahal, menurut Marius, buku resume medis itu merupakan hak pasien sebagai catatan untuk mengetahui apa saja tindakan yang sudah dilakukan oleh dokter. Ia juga mengimbau, jika pihak rumah sakit atau puskesmas tidak memberikan resume medis, pasien berhak meminta dan menanyakan.    rep: Aprilia Safitri Ramdhani, Desy Susilawati, ed: Dewi Mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement