Senin 11 Jan 2016 16:00 WIB

Chiropractic, Terapi Alternatif atau Medis?

Red:

Allya Siska Nadya (33 tahun) meninggal dunia pada 7 Agustus 2015. Kabarnya, kematian tersebut diduga karena terapi chiropratic yang dilakukan oleh Dr Randall Cafferty, praktisi chiropratic asal Amerika Serikat (AS) di klinik Chiropratic First, Pondok Indah, Jakarta Selatan.

Bagi sebagian orang, chiropractic adalah terapi yang belum umum didengar masyarakat. Apakah chiropractic dan bagaimana terapi itu diberikan, termasuk aman atau tidakkah terapi tersebut?

Dokter spesialis rehabilitasi medik dari RS Mitra Keluarga Cibubur, Dr Ade Sriwahyuni SpRM, mengatakan, terapi chiropractic itu dilakukan seperti layaknya layanan pada sebuah jasa pangkas rambut. Sang pencukur rambut akan mulai menggerak-gerak kepala ke kiri dan ke kanan sampai bunyi "krek". Namun, kata dia, untuk terapi chiropractic jauh lebih parah.

Pada umumnya, chiropratic kebanyakan dilakukan bukan oleh dokter, tapi hanya orang atau dokter umum yang belajar khusus tentang chiropractic. Para terapisnya kebanyakan berasal dari luar negeri, terlebih asal terapi ini adalah dari Kanada.

Ade mengungkapkan, dia tidak mengklaim bahwa terapi itu aman atau tidak. Tapi yang jelas, semua itu tergantung kasusnya. Bagi kasus tertentu, seperti orang yang menderita osteoporosis, terapi ini tidak boleh dilakukan karena tulangnya rawan patah. "Kalau patah akibatnya fatal," katanya saat dihubungi, akhir pekan lalu.

Menurutnya, ada dokter juga yang menjalankan terapi seperti chiropractic ini, namanya terapi manipulasi, tapi semua itu mengacu pada dasar dan  teori yang ada. "Kalau di dokter, terapi manipulatif masih aman karena tidak sampai bunyi 'kretek-kretek'," jelasnya.

Ade mengatakan, untuk terapi manipulasi ini semua itu tergantung indikasinya, tidak semua kasus mendapat diperlakuan sama. Tergantung kasus, karena pasti penangananya berbeda. "Kalau chiropractic itu saya lihat hampir semua kasus apa pun, perlakuannya sama," tambahnya.

Kalau dari pengamatan Ade dari pasien yang datang kepadanya, chiropractor melihat kelainan hanya dari satu sisi, hanya dari foto rontgen, tidak melihat apakah ini memang sisi tulangnya atau posturnya terkait umurnya atau ada faktor lain. Chiropractor mendiagnosis tulangnya selalu melengkung. Kalau dari sisi dokter dilihat penyebabnya, apakah struktural, karena postur, atau ada faktor lainnya. "Kalau misalnya struktural ada kelainan melengkung mau di-chiropractic seperti apa, di-'kretek-kretek', tidak akan balik," jelasnya.

Sebab, lanjutnya, yang digerak-gerakkan hingga berbunyi "kretek" itu hanya ligamennya saja. Bahayanya, karena ligamen sebagai pengikat tulang akan menjadi tidak stabil. Risikonya adalah cedera otot akibat over stretch, patah tulang dan saraf, serta masalah di pembuluh darah. Dampak terburuk dan paling fatal adalah kematian seperti yang dialami Allya.

Hal senada disampaikan dokter spesialis orthopedi dari RS Premier Bintaro, Dr Lukman Shebubakar SpOT. Menurutnya, chiropractic ini dalam dunia medis tidak ada. Menurutnya, terapi chiropractic secara medis berbahaya, terlebih terapi itu menangani tulang belakang dan persendian.

Dikatakannya, chiropractic masuk dalam pengobatan alternatif. "Kalau di dunia kedokteran mengobati orang tidak bisa dengan ide sendiri, mesti ada dasar ilmiah," ujarnya. Jadi menurutnya, chiropractic ini tidak aman karena seharusnya kita mesti tahu persis diagnosisnya.

Komplikasi chiropractic yang ditemuinya seperti di bagian leher itu banyak. Misalnya, stroke, pembuluh arteri sobek, saraf kejepit, bantalan tulang belakang jadi lebih jelek, dan komplikasi lainnya.

Praktisi kesehatan, dr Ari Fahrial Syam, menambahkan, secara medis tidak mengenal pengobatan chiropractic. Ia juga pernah mendapat kasus pasien mengalami kelumpuhan setelah menjalani terapi yang mirip chiropractic. "Masyarakat memang harus hati-hati mengenai bentuk-bentuk terapi alternatif, apalagi jika terapinya berdampak buruk seperti kasus Allya," ujarnya.

Ketua Ortopedi Spine Indonesia dr Didik Riyanto Librianto SpOT mengatakan, di dalam dunia kedokteran tidak terdapat istilah chiropractic dan dianggap sebagai terapi berbahaya. "Kalau di bidang kedokteran tidak boleh geser-geser tulang," ujar dia, Jumat (8/1).

Dia mengatakan, kalau chiropractic merupakan bagian dari pengobatan tradisional luar negeri. Tata laksananya, kata dia, adalah dengan terapi manipulasi leher pasien yang ditarik untuk mengembalikan strukturnya. Namun, kata dia, tindakan tersebut bisa berdampak buruk, seperti kelumpuhan dan stroke hingga meninggal dunia.

Untuk penanganannya sakit tulang belakang sendiri, dia menyarankan tidak memperbolehkan melakukan pengobatan dengan chiropractic, namun ke terapi ortopedi. "Penangannya pergi ke dokter ortopedi. Dokter dapat memutuskan secara medis pasiennya terkena penyakit apa melalui sejumlah pemeriksaan."

Ilmu pengobatan

Praktisi chiropractor, Dr Tinah Tan, mengatakan, chiropractic itu aman digunakan. Salah satu alasannya mengambil ilmu pengobatan tersebut karena ingin membantu keluarganya.

Untuk menjadi chiropractor pun tidak mudah, katanya. Seorang chiropractor harus menempuh pendidikan minimal lima tahun bahkan ada yang sampai delapan tahun. Jadi salah apabila ada yang mengatakan bahwa chiropractic tidak ada sekolahnya.

"Chiropractic bisa digunakan untuk siapa saja, baik anak maupun orang tua. Pada anak-anak chiropractic bisa untuk mengatasi kasus-kasus iritablity baby syndrome, biasanya karena proses kelahiran, bayi sungsang, tulang belakangnya ada stres levelnya, skoliosis atau tulang belakang tidak lurus, bisa juga untuk tumbuh kembang anak," jelasnya saat dihubungi, kemarin.

Sedangkan, pada orang tua, chiropractic bisa digunakan untuk mengatasi sakit pinggang, migrain, dan berbagai penyakit lainnya.

Bagaimana dengan sakit leher yang dikeluhkan Allya, yang diduga menjadi korban chiropractic? Apakah tepat penggunaan terapinya? Dia tidak bisa mengomentari hal ini karena harus melihat kasusnya dahulu dan pemeriksaan lengkap. Hal itu dibutuhkan karena chiropractic bisa menjadi primary healthcare. "Tidak semua kasus bisa dilakukan chiropractic," ujarnya.

Dia juga mengungkapkan, pedoman tata laksana chiropractic itu tertulis, bukan cuma tekuk sana-sini. Chiropractic itu juga bukan hanya lima sampai 10 menit saja. Faktanya, untuk terapi chiropractic membutuhkan waktu minimal 40 menit bagi pasien baru. Sedangkan, pasien lama sekitar 20 menit.

"Ada sekitar 100 lebih teknik. Seorang dokter akan memilih teknik yang sesuai dengan kasus pasien. Tidak selalu ada bunyi. Apalagi, kalau ada pengapuran atau penuaan sendi, tidak akan ada bunyi," ujarnya.

Pengobatan chiropractic ini sudah diakui di berbagai negara, salah satunya Australia. Di Indonesia sendiri hanya ada 33 orang chiropractor, 30 di antaranya dokter, dan tiga orang lainnya belajar langsung di Australia. Semuanya berasal dari Jakarta dan Surabaya. n ed: dewi mardiani

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement