Senin 30 Nov 2015 13:00 WIB

Penyakit Paru Obstruktif Mengancam Jiwa

Red:

Meningkatnya pendapatan ekonomi di Indonesia mengakibatkan sejumlah perubahan di dunia kesehatan, seperti pada usia harapan hidup, transisi epidemiologi, dan perubahan pola penyakit. Hal ini berdampak pada meningkat pula jumlah penderita penyakit tidak menular.

 

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Global Report on Noncommunicable Disease pada 2014, persentase kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) sebesar 68 persen. Kurang lebih 40 persennya terjadi pada usia di bawah 70 tahun.

 

WHO juga menyebutkan, 10 penyakit penyebab kematian di dunia rata-rata adalah penyakit kardiovaskuler, seperti jantung, stroke, dan obesitas. Namun, penyakit pneumonia, tuberkulosis, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) ternyata juga menjadi penyebab kematian tertinggi di antara seluruh penyakit lainnya.

 

Di Indonesia, menurut staf Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr Faisal Yunus PhD SpP (K), berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2012, jumlah penderita PPOK, asma, dan bronkhitis kronik terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini diakibatkan oleh jumlah perokok yang tinggi, peningkatan usia harapan hidup seseorang, serta tingkat polusi udara yang juga sangat tinggi.

 

"Semakin tua umur seseorang, terutama bagi perokok aktif, semakin mudah pula orang tersebut terkena PPOK. Selain itu, meningkatnya polusi dari kebakaran hutan, asap kendaraan bermotor, dan paparan polusi lainnya juga semakin meningkatkan risiko terkena penyakit tersebut," ungkap Faisal dalam pemaparannya di Rumah Sakit Persahabatan, beberapa waktu lalu.

Berdasarkan dua studi terkait PPOK di Indonesia, hasilnya juga cukup memprihatinkan, yakni sebanyak 14 persen penduduk diketahui menderita PPOK. PPOK sendiri, menurutnya, adalah penyakit kronik yang menyerang saluran pernapasan yang dapat dicegah dan diobati.

 

"Bisa dicegah kalau tidak merokok, tapi kalau diobati juga belum tentu sembuh. Tergantung seberapa besar paparan polusi yang masuk ke paru-parunya selama kurang lebih 15-20 tahunan," katanya.

 

PPOK ini juga ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya dapat mengalir kembali dan bersifat progresif. Hal ini terkait dengan adanya inflamasi kronik sebagai respons terhadap suatu partikel atau gas yang berbahaya.

 

Penyakit ini berbeda dengan asma. Dalam PPOK, aliran udara napas baliknya semakin lambat. Ini terjadi akibat adanya udara yang terperangkap di dalam paru-paru. Sehingga, penyakit ini masuk ke dalam golongan penyakit eksaserbasi atau penyakit yang kerap mengalami serangan berat.

 

"Kalau penyakit ini terus didiamkan, khawatir pada 2020, PPOK naik peringkat sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler. Selain itu, penyakit ini juga membutuhkan penanganan yang tepat untuk mengurangi gejala dan mengurangi risikonya," lanjut Faisal.

 

Tujuan penatalaksanaan penanganan PPOK ini, antara lain, menghilangkan gejala, memperbaiki toleransi latihan agar pasien dapat hidup mandiri tanpa bantuan orang lain, memperbaiki status kesehatan, mencegah perburukan penyakit, mencegah dan terapi eksasebrasi, serta mengurangi angka kematian. Upaya ini penting untuk dilaksanakan guna mengurangi angka penderita PPOK di Indonesia.

 

Meski begitu, menurut Faisal, semakin meningkatnya jumlah penderita PPOK tak lain adalah akibat jumlah perokok di Indonesia yang juga sangat banyak. Bahkan, diketahui, banyak pula anak-anak kecil yang mulai merokok sejak usia lima tahun.

 

"Kontribusi rokok dalam naiknya jumlah penderita PPOK sangat besar. Kita tidak sulit menemukan banyaknya iklan rokok di mana-mana, rokok juga sangat mudah didapatkan di sini, harganya pun sangat murah. Selain itu, belum ada peraturan tegas tentang larangan pembelian rokok bagi anak-anak," kata Faisal.

 

Untuk itu, ia mengimbau agar masyarakat semakin sadar akan bahaya dari merokok. Tidak hanya bagi perokok aktif, paparan asap rokok juga berbahaya bagi mereka yang tidak merokok sehingga menjadikan mereka sebagai perokok pasif. Maka, masyarakat perlu mewaspadai hal tersebut karena selain asap polusi, asap rokok juga kerap mengintai kita di mana saja. n c04 ed: dewi mardiani

***

PPOK Berbeda dengan Asma

Ketika seseorang sudah menderita PPOK, salah satu gejalanya adalah mudah lelah walau hanya melakukan sedikit aktivitas fisik. Terlebih lagi, jika penderita PPOK tersebut merupakan seorang perokok aktif.

 

Namun, menurut Prof Dr Faisal Yunus SpP(K), ternyata tidak semua orang sadar bahwa ia mengidap PPOK. Sering kali pasien hanya menganggap dirinya terkena penyakit asma biasa saja dan tidak menangani penyakitnya secara tepat ke dokter.

 

"Yang paling sering itu dikira mengidap asma. Karena memang gejalanya mirip, yakni sesak napas dan mudah lelah, jadi pasien sering ngos-ngosan kalau melakukan aktivitas fisik walau kadarnya ringan," katanya.

 

Ketika pasien itu diterapi dengan pengobatan asma, sakitnya tak kunjung sembuh, bahkan gejala yang ditimbulkan semakin parah. Faisal mengungkapkan, bisa jadi ini merupakan tanda bahwa orang tersebut positif terkena PPOK.

 

Ia melanjutkan, meskipun sama-sama menyerang saluran pernapasan, PPOK ternyata berbeda dengan asma. Pada kasus asma, saluran pernapasan yang menyempit saat terjadi serangan akan kembali seperti semula. Pasien pun dapat kembali bernapas normal. Berbeda halnya pada PPOK. Saluran pernapasannya menyempit perlahan-lahan seiring bertambahnya umur dan saluran pernapasan ini juga tidak kembali normal layaknya serangan asma.

 

"Kalau asma begitu ada serangan, diberi obat, bisa normal kembali saluran napasnya. Sementara, pada PPOK, obat hanya berfungsi untuk menghambat penyempitan dan tidak bisa mengembalikan saluran napas kembali normal," jelasnya.

 

Selain itu, untuk mengobati PPOK dan asma, jangka waktu pengobatannya pun berbeda. Pasien asma yang mampu menjaga kesehatan dan tidak mendapat serangan selama tiga bulan maka akan dikurangi dosis obatnya dan akhirnya menyetop obat sama sekali. Sementara, PPOK merupakan penyakit kronis dan pengobatan dilakukan terus-menerus seumur hidup. n c04 ed: dewi mardiani

***

Cara Mencegah Terkena PPOK

Berbeda dengan penyakit asma, dalam menangani PPOK, belum ada obat yang pasti guna menyembuhkan penyakit tersebut secara total. Pengobatan penyakit ini kebanyakan hanya bertujuan untuk menurunkan perkembangan penyakit, mengurangi gejala, serta mencegah kekambuhan.

 

Perawatan penyakit ini, menurut Prof Dr Faisal Yunus SpP(K), dapat berbentuk obat-obatan dan penanganan melalui terapi rehabilitasi paru-paru, seperti terapi menggunakan oksigen dan pembedahan. Namun, setelah itu, pasien tetap harus mengonsumsi obat-obatan sepanjang hidupnya. Untuk mencegah penyakit ini, Faisal mengimbau agar masyarakat memerhatikan beberapa hal berikut ini:

1. Tidak merokok

Rokok merupakan salah satu penyebab seseorang dapat terkena penyakit PPOK. Untuk itu, sebaiknya penting untuk menghindari konsumsi rokok sedini mungkin.

 

2. Menghindari paparan polusi berlebihan

Terutama, bagi mereka yang bekerja di luar ruangan, penggunaan masker sangat penting dilakukan guna mencegah debu-debu dan partikel-partikel kecil masuk ke dalam paru-paru.

 

3. Tetap melakukan aktivitas fisik

Hal ini selain berguna untuk melatih otot, ternyata juga berguna untuk melatih fungsi paru-paru agar tetap sehat. Namun, aktivitas fisik ini perlu diatur sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan tubuh.

 

4. Menjauhi orang yang merokok

PPOK memang identik dengan para perokok aktif, namun tak jarang juga banyak kasus yang menemukan penyakit ini disebabkan oleh paparan asap rokok yang dihirup oleh perokok pasif. Karena, menghirup asap rokok dari udara kurang lebih sama bahayanya dengan merokok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement