Selasa 30 Jun 2015 14:00 WIB

Menenun Masa Lalu

Red:

Dari khazanah budaya nusantara, kita mengenal satu etnis negeri ini, yaitu suku Mongondow. Dahulu suku ini memiliki kerajaan yang bernama Bolaang Mongondow, yang kemudian pada tahun 1958 secara resmi bergabung ke dalam Indonesia serta menjadi Kabupaten Bolaang Mongondow.

Nama bolaang sendiri berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut. "Bolaang" atau "golaang" dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap. Namun, secara istilah kata bolaang atau bolang adalah berarti perkampungan yang ada di laut, sedangkan mongondow adalah perkampungan yang ada di hutan atau gunung. Suku ini mayoritas bermukim di Sulawesi Utara dan Gorontalo.

Latar belakang laut, hutan, serta gunung suku ini pun menghadirkan warna tersendiri dalam ragam sejarah dan budaya negeri ini. Salah satunya bisa terlihat lewat kain tenun bermotif khas. Sayangnya, jika ingin menyaksikan kain tenun asli suku ini, kita harus jauh-jauh datang menyambangi Museum Haarlem Gotteborg, Swedia.

Namun, desainer Itang Yunasz ternyata mampu menghidupkan kembali tenun masa lalu itu sebagai koleksi indah yang elegan. Inspirasi itu memang datang dari tiga kain tenun yang kini disimpan di museum Swedia tersebut, yaitu kain tenun sikayoe, kinatola, dan songket. Namun, tentu saja Itang tidak menggunakan kain tenun asli sebagai bahan dasar koleksinya itu.

Itang memilih memakai motif kain-kain tenun yang biasa digunakan sebagai mahar, alas tempat duduk pengantin, hingga persinggahan tamu kehormatan itu.

Dalam website resminya, Itang mengaku berusaha mengangkat tiga kain tersebut melalui teknik cetak digital printing yang diaplikasikan di atas bahan waffel poly bertekstur, katun dan chiffon untuk dijadikan 26 koleksi busana siap pakai yang trendi, hingga busana Muslim.

Beragam bentuk pun teraplikasi indah dengan motif tersebut di antaranya model kardigan, rok sarung, pleated pants, busana boho, kaftan, dan tunik dalam sentuhan kekinian. Warna merah tampak mendominasi sejumlah koleksi. Namun, dia juga memasukkan beragam warna orisinal dari bahan tenun tersebut, seperti ungu magenta, nude dan yellow ochre.

Itang pun tidak ragu untuk membuat koleksi busana yang bertumpuk dan terasa "padat" dengan motif tenun tersebut. Tak ketinggalan, dia juga melengkapi dengan aksesori tradisional, seperti kalung besar hingga tas jinjing yang juga kental bernuansa etnik.

Menyaksikan parade koleksi ini, kita seolah disadarkan tentang betapa beragamnya budaya nusantara. Sayang, kita pun tersadarkan pula bahwa kita tidak lagi memiliki koleksi asli budaya kita sendiri dan harus menyambangi negeri nun jauh di sana untuk mengagumi kekayaan budaya sendiri.

 ed: endah hapsari

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement