Selasa 30 Jun 2015 14:00 WIB

siesta- Tayangan Bermutu Rendah

Red:

Belum lama ini, lembaga negara independen Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengevaluasi secara menyeluruh program televisi. Hal tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil survei indeks kualitas program televisi. Survei tersebut diselenggarakan di sembilan kota besar di Indonesia pada Maret hingga April 2015.

Hasil survei menunjukkan ada beberapa jenis program berkualitas rendah. Termasuk di dalamnya ialah tayangan sinetron yang berbau mistis dan fiksi. Dalam tayangan sinetron itu terdapat indikator tidak baik bagi pembentukan watak identitas dan jati diri seorang manusia. "Di samping itu, ceritanya tidak memuat unsur manusia yang beriman dan bertakwa," kata Ketua KPI Pusat Judhariksawan dalam konferensi pers di kantor KPI Pusat, Senin (22/6).

Selain itu, sinetron bermuatan kekerasan, horor, dan supranatural juga termasuk tayangan berkualitas rendah. Tontonan seperti itu tentunya tidak baik disaksikan masyarakat. "Lembaga penyiaran harus membenahi model sinetron seperti ini," jelas Judha.

Lembaga penyiaran kerap berdalih tema tersebut mengemuka atas permintaan masyarakat. Rating sinteron tinggi, padahal tidak didukung oleh kualitas yang baik. Kualitasnya justru bertentangan terhadap tujuan dan fungsi dari sebuah tayangan televisi. "KPI tidak akan membiarkan masyarakat disuguhkan tayangan yang tidak memberikan peningkatan bagi kualitas hidup, terutama sinetron dengan genre mistis," kata Judha.

Di balik sebuah tayangan ada peran film maker, seperti produser, sutradara, dan penulis skenario. Jumlah produser di satu stasiun TV cukup banyak dan masing-masing memiliki pemahaman berbeda. "KPI berupaya melakukan pendidikan dan pengetahuan teknis untuk menyamakan pendapat antarproduser," ungkap Judha.

Dengan digulirkannya pendidikan tersebut, KPI berharap produser meneruskan pemikiran kritis itu ke pembuat sinetron, termasuk penulis skenario. Di lain sisi, biasanya stasiun televisi merujuk pada hasil survei sebuah lembaga rating. Kalau ratingnya baik, tayangan akan diteruskan. Lantas, ketika permintaan berlanjut, tentunya seorang penulis skenario akan terus membuat kelanjutan cerita.

Rating acara yang tinggi biasanya mengundang pengiklan. Ini artinya ada potensi pemasukan yang besar bagi stasiun TV. Padahal, rating tak mencerminkan kualitas tayangan.

Rumah produksi sinetron atau film TV terkadang berdalih cerita mistisnya dibuat berdasarkan legenda. Padahal, mereka tidak boleh mengadaptasi legenda menjadi tayangan yang membodohi masyarakat. Legenda seharusnya menjadi pelajaran mengenai sejarah dan ada manfaat yang dipetik.

Pusat Studi Media dan Komunikasi Remotivi juga khawatir mengenai tayangan sinetron bergenre tersebut. "Acara tersebut tidak ada nilai edukasinya," kata Direktur Remotivi Muhamad Heychael. Anak-anak juga tidak pantas menontonnya karena bermuatan kekerasan.

Kalau dilihat dari segi pola, kekhawatiran mewakili tiga pola, yakni mistis, kekerasan, dan tidak sesuai dengan logika berpikir. Misalnya, dalam satu adegan pemain sedang berjalan di hutan. Tiba-tiba, ada seorang lawan yang muncul entah darimana asalnya. Hal tersebut tidak sesuai dengan logika berpikir manusia.

Bila pihak lembaga penyiaran menyebutkan naskah cerita sesuai legenda harusnya dibuat sesuai sejarah. Adegan tidak seharusnya direka dengan mencampuradukkan setting kondisi modern saat ini. Misalnya, ada adegan menggunakan mobil dan pakaian yang dikenakan pemainnya juga kekinian. Tidak cukup rasional untuk menggambarkan sinteron tersebut mewakili legenda.

Sinetron tersebut tidak memenuhi selera masyarakat, khususnya warga perkotaan. Akan tetapi, masyarakat disuguhkan tayangan demikian selama bertahun-tahun sehingga tontonan tersebut ikut membantuk selera masyarakat. "Itulah yang terjadi," jelas Heychael.

Terhadap bentuk keculasan seperti itu, Heychael memandang penegakan hukum dari pemerintah harus diperkuat. Lembaga penyiaran tidak bisa hanya diberikan sanksi tertulis, tetapi juga sanksi lainnya. Apabila tidak, masyarakat akan terus dirugikan. ed: reiny dwinanda

***

Tak Selaras dengan Kehidupan Modern

Cerita sinetron mistis dan supranatural tidak dibuat berdasarkan realitas kehidupan masyarakat saat ini. "Pada umumnya tontonan macam itu tidak bersifat mendidik," kata sosiolog Musni Umar. Penggambaran kisahnya tentu saja tidak sesuai dengan kehidupan modern.

Muatan mistis dan supranatural bertentangan dengan gaya hidup masyarakat sekarang. Namun, produsen selalu berkilah tayangan tersebut dibuat berdasarkan permintaan pasar. Sejatinya, sinetron dengan genre demikian mungkin tidak digemari masyarakat menengah ke atas, namun masih menjadi tontonan masyarakat menengah ke bawah.

Pengelola stasiun TV melihat apa yang disukai masyarakat karena terpaku pada rating. Hal ini tentu erat kaitannya dengan pengiklan. Stasiun televisi hanya ingin membuat produk tayangan yang laku dipasaran agar bisa mendatangkan banyak iklan, tanpa mempedulikan muatan edukasinya. Penulis naskah pun juga terbentur dengan realitas demikian.

***

Masyarakat Butuh Hiburan

Tayangan sinetron harus bersifat menghibur, namun produksinya tidak mengedepankan keuntungan semata. Tayangan yang menghibur memang perlu dibuat, tetapi tidak hanya sekadar dibuat. "Isinya harus bermanfaat," komentar Musni Umar, sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

Peran sebuah media begitu besar dalam membentuk karakter bangsa. Itu sebabnya konten yang disuguhkan hendaknya bersifat mendidik, bukan menjerumuskan. Ketika mengangkat cerita legenda, contohnya, buatlah satu naskah yang memuat kisah sejarah dan kedepankan unsur moral, rasa nasionalisme dan menghormati leluhur. "Insan film dan TV harus membuat karya yang menginspirasi penonton untuk membangun karakter bangsa menjadi lebih baik," jelas Musni.

Insan film dan TV harus bisa memilih jenis legenda yang memang masuk akal, bukan menyuguhkan tipu daya yang menyumbat logika berpikir masyarakat. Di tengah maraknya sinetron bergenre seperti itu, masyarakat harus bersikap kritis. Pilihlah tayangan televisi secara bijak. Jangan terpaku dengan kisah yang menarik atau pemerannya. Menonton hiburan memang diperlukan setiap orang. Tetapi, menyaksikan hiburan yang tidak memberikan efek positif bagi kehidupan sosial juga tidak ada gunanya.

Sinetron mistis, contohnya, tidak ada dampak positifnya, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak. "Tayangan seperti itu bisa memengaruhi pada pola pikir anak," kata psikolog anak, Anita Chandra MPsi. Dunia anak penuh dengan imajinasi. Sinetron bergenre supranatural bisa membuat anak membayangkan kekuatan demikian.

Anak bisa mempunyai bayangan "saya pahlawan dunia" bila mampu memiliki kekuatan seperti yang digambarkan pada sinetron tersebut. Ketika film Batman baru dirilis, contohnya, ada kasus anak jatuh dari apartemen dengan mengenakan baju Batman. Hal tersebut terjadi karena anak salah paham mengenai film. Anak merasa setiap manusia bisa terbang apabila mengenakan kostum demikian.

Sama halnya apabila anak merasa bisa memiliki kekuatan supranatural hingga berubah wujud menjadi binatang. Hal ini tentu fatal akibatnya bagi pola pikir anak karena mereka belum bisa membedakan antara fiksi dan kenyataan. Pengaruh sinteron terhadap pola pikir memang bergantung pada usia. "Sinetron demikian tidak pantas dikonsumsi untuk anak 12 tahun ke bawah," kata Anita.

Pada anak-anak usia empat hingga tujuh tahun, risiko salah tafsir mengenai cerita dan karakter masih sangat besar. "Anak pada usia ini baru sekadar memahami alur cerita, namun belum bisa mengartikan maknanya," jelas Anita. Pada usia tersebut, buah hati bisa keliru mengartikan cerita, karakter, atau efek film.

Anak juga bisa beranggapan ada manusia "jadi-jadian" di sekitarnya. Hal ini yang perlu diwaspadai orang tua. Pada anak praremaja berusia 12 tahun, mereka memang paham film tersebut berbumbu mistis. Akan tetapi, rasa penasaran mereka cukup tinggi. "Mereka akan terdorong mencari tahu dan mempelajari kekuatan supranatural dan mistis," kata Anita. Tayangan yang berunsur mistis akan membuat anak percaya manusia bisa mempunyai kekuatan demikian.

Orang tua sebaiknya tidak mengizinkan anak menonton tayangan mistis. Ayah dan ibu pun tak perlu menonton sinetron demikian. Meskipun dengan pendampingan orang tua, tayangan tersebut sama sekali tidak memuat unsur positif, baik dari segi edukasi moral, sosial, atau hal lainnya. Apabila anak sudah telanjur menonton, orang tua bisa mengarahkan opininya. Misalnya, dengan menceritakan bahwa sinetron tersebut dibuat dengan efek tertentu, adegannya bukan kenyataan. "Selanjutnya, jangan biarkan anak menontonnya lagi," jelas Anita.

Para pembuat film, termasuk penulis naskah, seharusnya bisa lebih peka terhadap perkembangan karakter anak bangsa yang menjadi penonton karyanya. Kalaupun ingin mengisahkan legenda, buatlah dalam versi edukatif yang bisa disaksikan anak-anak. Hindari unsur kekerasan maupun kisah percintaan. Orang tua sebagai benteng juga perlu menyortir siaran televisi di rumah. Menontonlah bersama anak dan pilih saluran televisi yang lebih memuat acara edukatif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement