Selasa 21 Oct 2014 15:00 WIB

parenting- Bela yang Lemah

Red:

Sepekan terakhir, video kekerasan yang dialami oleh siswi sekolah dasar di Bukittinggi, Sumatra Barat tersebar luas melalui beragam cara. Dalam video berdurasi satu menit 52 detik yang diunggah ke Youtube itu tampak gadis berkerudung yang sedang dianiaya oleh beberapa teman sekelasnya. Pelakunya tak cuma anak laki-laki.

Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Vera Itabiliana K Hadiwidjojo mengatakan, peristiwa kekerasan tersebut bisa dihentikan jika anak-anak lain berani melerai, membela yang lemah. Kenyataannya, tidak ada satu pun siswa yang berusaha menghentikan perbuatan negatif teman sekelasnya itu. Ada yang memilih merekam, memprovokasi agar serangan berlanjut, dan sebagian besar beraktivitas tanpa menghiraukan penderitaan korban.

Vera berpendapat, ada beberapa kemungkinan yang menjadi alasan anak-anak enggan melerai. Hal yang paling mungkin adalah karena hal itu sudah biasa sehingga mereka tidak ada dorongan menghentikannya. Kalau bukan itu, kemungkinan anak-anak lainnya takut lantaran yang melakukan kekerasan tidak hanya satu orang dan bisa saja mereka adalah anak-anak dominan di kelas. Penyebab lainnya, mereka tidak terlatih berempati sehingga cuek terhadap penderitaan temannya.

Supaya bisa melerai, anak-anak harus memiliki rasa empati yang terasah sejak kecil. Ketika mereka membiarkan terjadinya kekerasan terhadap teman sekelasnya, guru mesti menelusuri penyebab muridnya bersikap demikian. Kalau anak-anak menganggap biasa peristiwa kekerasan, berarti mereka sering melihat atau bahkan mengalami hal itu dalam kesehariannya. "Bisa lewat konsumsi tontonan berbau kekerasan atau penerapan disiplin di keluarga yang mengandung unsur kekerasan," kata Vera.

Agar anak tumbuh sebagai individu yang mampu berempati, bisa melindungi yang lemah, dan mampu melerai teman yang bertikai, orang tua dituntut selektif memilihkan tontonan dan game anak serta mengevaluasi penerapan disiplin di rumah. Penerapan disiplin yang masih memakai unsur kekerasan, seperti memukul dan kekerasan verbal, harus dihilangkan. "Peristiwa yang terjadi dalam video tersebut termasuk dalam kasus bullying sehingga butuh kerja sama semua pihak untuk menghentikannya," tutur Vera.

Anak-anak akan mampu melerai begitu mereka sudah bisa membedakan hal yang benar dan yang tidak benar serta terbiasa mengekspresikan diri. Jika tidak terbiasa mengekspresikan diri maka anak akan takut melerai meskipun ia tahu polah temannya tidak baik. Oleh sebab itu, orang tua harus melatih anaknya agar berani mengekspresikan diri. "Caranya, dengan pembiasaan di rumah, tapi anak harus tahu dulu bahwa menyelesaikan masalah dengan kekerasan itu salah," ujar Vera.

Orang tua harus mengajarkan penyelesaian masalah yang baik lewat jalan negosiasi dan diskusi. Jika anak telah paham hal itu, selanjutnya ayah dan ibu bisa melatih kemampuan anak mengekspresikan diri, misalnya, melibatkan anak dalam memutuskan sesuatu. "Pengasuhan seperti ini membuat anak mempunyai kesempatan menyampaikan pendapatnya," kata Vera.

Meski anak telah memiliki kemampuan melerai, bukan berarti ia akan selalu mampu memisahkan setiap pertikaian yang terjadi di sekitarnya. Anak pun mesti bisa menimbang keselamatan dirinya saat mencoba memisahkan teman yang berkelahi atau menghentikan sebayanya yang memukul teman lain. Di samping itu, ia pun harus tahu waktu dan situasi yang tepat untuk melapor dan meminta bantuan dari orang dewasa.  Vera memahami tidak mudah bagi anak-anak melakukannya karena mereka cenderung takut dicap sebagai tukang mengadu. Orang tua bisa memperkenalkan alternatif cara untuk mengadu, entah lewat surat atau pesan singkat melalui ponsel kepada guru. Mengadukannya secara bersama-sama dengan teman yang lain pun bisa menjadi solusi.

***

Pengaruh Game

Di setiap kelas biasanya ada anak yang bersifat dominan. Anak-anak tipe ini membutuhkan kesempatan untuk menunjukkan diri. Ada kalanya, mereka menunjukkannya lewat cara negatif. Di sinilah peran guru diperlukan agar anak mendapatkan kesempatan untuk melakukan hal positif. Guru bisa melihat kelebihan anak tersebut dan kemudian memberi wadah untuk mengekspresikannya. "Dengan begini, nanti lama-lama sifat dominannya hilang," ujar Vera.

Mengajarkan anak untuk memaafkan dan tidak membalas dendam ketika dicela tidaklah mudah. Tapi, bukan berarti orang tua tidak bisa mengajarkannya. Vera mengatakan, pelaku bullying verbal maupun nonverbal akan menyingkir ketika korban mampu melawan. Bukan melawan dengan fisik, melainkan dengan keberanian membela diri. Misalnya, jika dijuluki 'jerapah' karena memiliki kaki yang panjang, anak bisa membela dirinya dengan mengatakan itu dapat menjadi modalnya untuk mencapai cita-cita sebagai peragawati.

Saat ini, akses informasi kian deras sehingga tak jarang orang tua keteteran. Vera menduga, adegan memukul dan menendang yang terjadi di video tersebut hasil tiruan  dari game online. Dia bercerita, pernah suatu kali di salah satu pusat perbelanjaan ada orang tua yang langsung mengiyakan permintaan anak untuk mengunduh sebuah game. Padahal, game tersebut diperuntukkan bagi pengguna gadget usia 18 tahun ke atas. Anak tersebut terselamatkan dari konten tak sesuai usianya berkat kesigapan pelayan toko yang menolak pembelian game tersebut untuk konsumen ciliknya. "Orang tua harus cermat memilih apa yang boleh dan yang tidak boleh ditonton sang anak," ucap Vera mengingatkan.

Game bermuatan kekerasan dapat menginspirasi anak melakukan bullying. Beredarnya beragam game di dunia maya memicu anak meniru hal serupa dan mempraktikannya di lingkungan sekitarnya. Peran serta keluarga perlu lebih ditingkatkan lagi terkait pengawasan akses anak terhadap game di internet ataupun yang diunduh ke gadget. Orang tua tidak boleh melepas anak begitu saja untuk bebas bermain game. Pastikan game yang mereka mainkan sesuai dengan usia yang disarankan dari game tersebut. "Jelaskan pula alasan ayah dan ibu melarang anak memainkan game yang tengah populer, tetapi tak baik untuk dimainkan," papar Vera.

Orang tua bisa ikut bermain game bersama anak-anak. Dengan begini, mereka dapat memantau apa yang dimainkan anak mereka. Cara ini juga membuat anak tidak merasa diawasi dan merasa senang sebab orang tuanya juga paham dunia mereka. Saat bermain dengan anak-anak, tanamkan berbagai sugesti tentang kehidupan sebagai bekal di masa depan. "Ayah dan ibu sebaiknya mengikuti tren game apa yang sedang booming di kalangan anak-anak sehingga bisa memeriksa kontennya," ucapnya.rep: qommarria rostanti  ed: reiny dwinanda

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement