Selasa 23 Sep 2014 19:00 WIB
siesta

Belajar dengan Riang

Red: operator

Menghafal Alquran tak seberat yang dianggap oleh kebanyakan orang.

Mengakrabkan anak dengan Alquran bisa dimulai sejak ia masih di dalam kandungan. Begitu ia lahir, teruskan kebiasaan ayah dan bunda membaca Alquran di dekatnya. Kelak, ketika anak belajar bicara, perkenalkan kata-kata Islami, seperti lafal “Allah” atau “bismillah”. Ini akan membantunya semakin familiar dengan bahasa Alquran.

Selain menyekolahkannya di pesantren atau rumah tahfiz, orang tua bisa mengajarkan anandanya untuk menghafal Alquran di rumah. Proses belajarnya dapat dimulai ketika anak berusia tiga tahun. "Meski belum bisa membaca, anak sudah meniru," jelas pengurus harian Daarul Qur'an Ahmad Jameel.

 

 

 

 

 

 

 

 

islamik.picture.com

Anak-anak usia sekolah dasar cenderung lebih cepat menghafal ketimbang mereka yang sudah duduk di bangku sekolah lanjutan. Pada fase itu, anak lebih mudah menangkap ketika mendengar sesuatu. “Mengingat anak cenderung lebih senang bermain, cara menghafal Alquran pun harus membuat anak riang," kata Sayuti Darajat, guru di Pesantren Ibadurrahman, Serang, Banten.

Idealnya, dalam satu kelas tahfiz, jumlah santri terbatas tujuh sampai 12 orang saja. Selain lebih efektif, pembatasan juga memudahkan guru dalam mengawasi anak-anak. “Biaya pendidikan sekolah dan tahfiz sekitar Rp 1 juta per bulan,” ujar Sayuti.

Sementara itu, di Daarul Qur'an, uang pendaftarannya sebesar Rp 17,5 juta untuk tingkat SD, SMP, dan SMA. Uang pendidikannya berkisar antara Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta per bulannya. ed: reiny dwinanda

Teknik Menghafal Alquran

Saat menghafal Alquran, anak-anak akan memerlukan pengulangan bacaan berkali-kali. Hafiz cilik biasanya memiliki target untuk hafal minimal tiga sampai lima juz per tahun. Juz pertama yang dihafal ialah yang paling akhir, yakni juz 30 yang berisi surat-surat pendek. Berikutnya, mereka akan melanjutkan hafalan ke surat pilihan, kemudian pindah ke juz 29, 28, dan 27. Bagaimana cara mudah untuk menghafalnya?

1. Metode nyanyian

Anak-anak tentu lebih mudah menyerap ilmu sambil bermain. Hafalan Alquran pun bisa dilakukan dengan cara menyenangkan, yakni dengan metode nyanyian. Anak bisa mencobanya ketika usianya sudah tiga tahun. "Bacakan Alquran sambil berayun-ayun dengan menggunakan nada," kata Ahmad yang juga pengajar dan pembina santri di Daarul Qur'an.

Orang tua juga dapat mengajak anak bergerak aktif ketika menghafal surat pendek. Misalnya, menghafal satu ayat dengan nyanyian sambil berlari dari satu sudut ke sudut lainnya di dalam ruangan. Jadikan proses menghafal Alquran menjadi menyenangkan bagi mereka.

Gunakan dua sampai tiga jenis nada yang sama. Terapkan pada ayat berulang-ulang dan bolak-balik. Lakukan pengulangan hingga 40 kali agar hafal. Untuk mendapatkan jenis nada-nada yang dipakai dalam membaca Alquran, orang tua bisa mencontohnya dari muratal.

2. Metode Alquran bergambar

Alquran bergambar dapat diberikan ketika anak-anak mulai timbul ketertarikan untuk membaca dan menghafal. Dengan ilustrasi yang menarik, Alquran bergambar akan membuat anak merasa membaca kitab suci sebagai aktivitas yang menyenangkan. Pada tahap awal, kenalkan huruf hijaiyah dan jenis-jenisnya, kemudian baru belajar makhraj dan tajwidnya.

3. Metode reward

Ada kalanya anak merasa jenuh menghafal surat yang sama berhari-hari. Untuk menyegarkannya, coba terapkan metode reward, yakni pemberian hadiah ketika ia berhasil menghafal. Di Daarul Qur'an, contohnya, siswa yang berhasil menghafal Alquran sesuai target waktu akan mendapatkan hadiah berupa jam bermain. Santri bisa futsal atau berenang sesuka hati dengan memanfaatkan jam bermain yang didapatkan berkat pencapaiannya. Di sana, santri juga mendapat reward berupa beasiswa jika mampu menghafal sekian juz. Metode yang sama juga bisa diterapkan oleh orang tua di rumah ketika anaknya rajin mengaji. Akan tetapi, anak juga mesti memahami prestasi menghafal Alquran merupakan bekal yang sangat baik bagi kebahagiaan kehidupannya di dunia dan akhirat kelak.

4. Metode jama'i

Metode ini dipakai untuk mereka yang sudah pintar mengaji sesuai makhraj dan tajwidnya. Santri menghafal secara berjamaah, membaca Alquran secara tartil, yakni perlahan dan dengan nyanyian yang indah. Pada tahapan ini biasanya santri sudah mulai menemukan ayat-ayat yang berulang dalam Alquran. Contohnya, lafaz “fabiayyi alaa irobbikuma tukadzdzibaan” dalam surah ar-Rahman. Saat ini sedang dilakukan pengembangan, yakni metode numerik. Ayat yang berulang-ulang akan diberikan nomor-nomor tertentu sehingga tidak tertukar antara ayat yang satu dan yang lain, kemudian ayat-ayat pengulangan ini bisa dipakai saat shalat sehingga semakin hafal.

Masa Keemasan

Anak akan mampu menghafal ketika sudah bisa merangkai kosakata menjadi kalimat. Kemampuan itu mereka dapatkan seiring dengan munculnya kemampuannya berbahasa. Sejak itu, anak sudah mampu melafalkan sesuatu meski belum sempurna, tak terkecuali ayat-ayat dalam kitab suci Alquran.

Untuk menghafal Alquran, tak ada patokan usia yang menandakan kesiapannya. Kemampuannya menghafal berkembang seiring dengan kemampuannya berbahasa. “Ini akan berlangsung alamiah,” komentar psikolog Islami Baiturokhim.

Ketika mampu berkomunikasi secara verbal, anak akan siap menerima pendidikan menghafal Alquran. Meski berbahasa Arab, ayat-ayat Alquran tak akan sukar untuk diingat anak. Proses belajarnya akan sama saja dengan saat mereka belajar mengucapkan kata-kata dalam bahasa ibu atau bahasa asing lainya. Pada usia dini, anak mengalami masa keemasan kemampuan berbahasa sehingga menghafal Alquran menjadi lebih mudah.

Menghafal ayat-ayat Alquran bukanlah hal yang berat. Secara psikologi, itu sama saja dengan mengajarkan anak menghafalkan lirik lagu. Anak yang mampu menghafal lagu-lagu yang didendangkan orang tua atau didengarnya dari radio akan mampu menghafal Alquran. Seiring usia, jumlah lagu yang dihafalnya akan semakin bertambah banyak. Begitu pula dengan ayat Alquran.

Tak heran jika kemudian banyak anak berusia empat tahun yang sudah hafiz, hafal 30 juz Alquran. Mereka bukanlah anak yang dikaruniai bakat spesial sejak lahir. "Hukum bakat tidak berlaku dalam psikologi Islam, hal ini harus diluruskan," kata psikolog alumus Universitas Airlangga ini.

Bakat atau talenta merupakan deskripsi dari ajaran psikologi Barat sehingga tidak sesuai dalam Islam. Bayangkan saja apabila membaca dan menghafal Alquran diterjemahkan ke dalam bakat yang dibawa seseorang sejak lahir. Manusia akan berpikir Allah SWT tidak adil karena hanya memberikan bakat pada hafiz cilik yang dikehendaki-Nya saja.

Dalam psikologi Islam, setiap orang bisa menghafal Alquran. Mereka bisa melakukannya sejak kecil. “Menghafal Alquran merupakan sebuah pembelajaran dan semua orang bisa belajar dan mampu menguasainya tanpa perlu bakat tertentu,” jelas Baiturokhim.

Orang tua yang bukan seorang hafiz tidak perlu menyerah untuk mendorong anaknya menjadi hafiz. Keluarga yang bukan turunan hafiz justru harus termotivasi untuk menjadikan keturunannya lebih baik. Idealnya, orang tua memang harus menjadi hafiz terlebih dahulu sehingga mudah membimbing anak. Namun, bagi mereka yang bukan hafiz bisa tetap menghafalkan Alquran secara sederhana. “Misalnya, dengan menghafal surah pendek dan surah pilihan atau terus mengaji setiap hari sehingga anak turut serta,” ujar Baiturokhim.

Segala sesuatu yang dilakukan orang tua akan diamati anak. Ketika orang tua mengaji, anak juga akan ikut mengaji. Saat orang tuanya menonton televisi atau lebih senang pergi ke mal, tentu saja anaknya akan mengikuti orang tuanya. Masalah akan muncul saat sang anak bertanya, “Ibu atau ayah saja bukan hafiz, kenapa saya harus jadi hafiz?”

Pertanyaan menohok tersebut bisa saja keluar dari mulut ananda. Orang tua perlu memberikan jawaban bijak dengan meyakinkan anak bahwa ia harus lebih baik dari orang tuanya. Ceritakan saja ayat-ayat Alquran yang menjanjikan hadiah indah dari Allah SWT untuk penghafal Alquran.

Ketika si kecil masuk pesantren, akan ada masanya ia jenuh terhadap rutinitas. Orang tua atau pengajarnya wajib memahami gaya belajar anak. Cari tahu kapan biasanya anak berkonsentrasi dan kapan ia memerlukan istirahat. Semua harus dilakukan secara teratur dan disiplin. Apabila anak mencapai titik jenuh, berikan ia cerita-cerita Islami yang menarik, seperti kisah orang-orang saleh yang disayangi Allah SWT karena menghafal Alquran. "Sebisa mungkin buatlah suasana belajar tidak tegang," kata psikolog yang juga founder dari Lembaga Bantuan Psikologi Islam Indonesia (LBPII) yang memiliki laman www.psikologi-islam.com.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement