Ahad 24 Jul 2016 18:53 WIB

Di Balik Sebungkus Sego Kucing

Red: Arifin

Sejak beberapa tahun terakhir, nasi kucing mulai mengisi resto di Ibu Kota. Sejatinya nasi kucing itu dijual di gerobak-gerobak di Yogyakarta atau di Solo. Meski seporsi `nasi untuk kucing' tapi harganya sudah berlipat kali di tempat asalnya.

Nasi kucing yang bahasa aslinya sego kucing mendapat namanya dari porsi yang dibuat. Sebuah porsi kecil bagaikan porsi nasi untuk makan kucing, dibungkus dengan daun pisang. Selain itu, lauk di dalamnya pun sederhana: cuilan bandeng dan sambal. Lauk lainnya seperti telur, ayam, ikan, tempe, tahu bisa ditambahkan, diambil dari yang dijajakan si penjual, angkringan di Yogyakarta atau hik di Solo alias Surakarta.

Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko mengungkap, ia menemukan data tentang angkringan di Solo pada 1912 dalam koran Jawi Hisworo. Sejak 1902, saat listrik masuk Solo, para urban menikmati kehidupan di keramaian kota di malam hari.

Datanglah orang-orang pinggiran Solo menyediakan makanan murah meriah di malam hari. `'Terminologi `angkringan' muncul pada 1912 itu,'' katanya. Dalam berita koran itu, kata Heri, dikisahkan pencopet bersembunyi di dalam angkring, tempat menaruh makanan.

Heri mengamati istilah nasi kucing muncul pada 1980-an. Ketika manusia penjaja sudah `menerima' makan seperti kucing dengan bandeng sedikit, cukup secuil, dan sambel. `'Manusia pembeli sudah merasa nikmat dan cukup dengan menyantap hidangan khas ala kucing itu,'' katanya.

Berpendapat nasi kucing berasal dari Solo, Heri menyebut nasi yang sama di Yogyakarta pun serupa isinya. Begitu pula istilah angkringan yang digunakan di Yogyakarta dan hik di Surakarta. Keduanya sinonim.

Heri melihat sisi lain dari nasi kucing. Yakni, maknanya dalam kacamata perempuan Solo. Yakni, etika perempuan Jawa di meja makan. `'Wanita kala makan kudu sopan, cimat-cimit, tidak menunjukkan lahapnya di depan publik,'' katanya.

Harga nasi porsi hemat Rp 1.500 - Rp 2.000-an ini amat cocok dengan kantong mahasiswa. Tak heran bila nasi kucing menjadi populer di kalangan ekonomi `pas-pasan' termasuk tukang becak hingga buruh di kota Yogyakarta dan Solo.

Bila di kota-kota lain warung tegal (warteg) dan mungkin juga nasi padang adalah harapan bagi mereka, di dua kota ini nasi kucing yang ada di angkringan atau hik. `'Harganya terjangkau selain menawarkan suasana santai,'' ungkapnya.    Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement