Jumat 03 Jun 2016 17:00 WIB

Heri Kismo Rusima, Pemilik Batik Hafiyan: Agar Batik Trusmi Mengglobal

Red:

Demam batik terus melanda negeri ini. Batik memang bukan sekadar industri demi meraup untung dan mendapatkan penghasilan. Batik adalah identitas dan hakikat bangsa, yang harus digelorakan ke seluruh dunia.

Apalagi, sejak 2009 lalu batik sudah menjadi warisan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO. Bagi para produsen batik semangat untuk memperkenalkan batik ke belahan dunia lain merupakan misi yang harus diwujudkan.

Seperti langkah yang dilakukan pendiri dan pemilik CV Batik Hafiyan, di Jalan Trusmi Kulon, Plered, Cirebon Heri Kismo Rusima. Kepada wartawan Republika Elba Damhuri, alumnus Teknik Mesin ITB ini mengaku ingin mengglobalkan batik sehingga dunia makin mengenal Indonesia.

***

Heri memulai bisnis batiknya ini pada 2002 diawali dengan berdagang ke Jakarta dan Bandung. Saat itu ia menyuplai pakaian ke Pasar Baru Jakarta dan beberapa toko pakaian besar di Bandung. Kemudian, Heri mencoba membuka toko sendiri di Trusmi pada 2004. Modal yang dipakai berasal dari keuntungan usaha batik dan pinjaman bank. Pada awal-awal membuka toko, omzet usaha Heri berada pada rentang puluhan juta rupiah. "Pokoknya di bawah seratus juta rupiah," kata Heri.

 

Keuntungan dari membuka workshop di Trusmi, menurut Heri, para pengunjung dan konsumen datang sendiri. Mereka kebanyakan berkunjung memang untuk membeli batik, baik untuk digunakan sendiri maupun diberikan sebagai oleh-oleh untuk orang lain. Ada juga yang memesan batik besar-besaran untuk acara-acara tertentu dengan rata-rata harga dari Rp 25 ribu sampai Rp 5,5 juta.

 

Dari tahun ke tahun, omzet penjualan batik milik Heri terus naik, dari puluhan juta hingga ratusan juta. Kini, per bulan rata-rata penjualan semua produk batik Hafiyan mencapai Rp 1 miliar. Pada bulan-bulan tertentu malah bisa di atas angka Rp 1 miliar.

 

Peningkatan omzet pejualan batik Hafiyan didukung oleh kualitas yang bagus, motif yang disukai, dan dukungan permodalan yang kuat dari bank. Heri menjelaskan, pertama kali ia mendapat kredit bank sebesar Rp 80 juta. Seiring waktu, usaha Heri terus naik dan bobot pinjaman bank pun makin tinggi. Pada awal 2010 dia mendapat kredit hingga Rp 500 juta dari BNI Cirebon.

 

Pada 2012, jumlah pinjaman Heri sudah mencapai Rp 750 juta. "Pada tahun ini kita memang berencana ekspansi terutama dagang online," kata dia. Setahun kemudian Heri mendapat pagu kredit Rp 1 miliar dan diberi kelonggaran ruang kredit hingga Rp 2 miliar. Ia mengaku baru akan mengambil kredit hingga Rp 2 miliar ketika sudah melakukan ekspansi secara masif.

 

Modal dari kredit BNI tadi dia gunakan untuk pengembangan toko, membangun rumah yang menjadi workshopnya, dan meningkatkan kapasitas produksi batik. Tenaga kerja pun bertambah dari awalnya hanya empat orang, kini menjadi 50 orang pegawai. Di Trusmi, selain memiliki workshop sendiri, Heri juga patungan dengan adik dan kakaknya membangun workshop besar dengan produk batik yang lebih banyak.

 

Batik Hafiyan sempat membuka toko di Paris van Java Bandung. Namun, itu tidak bertahan lama dan kemudian ditutup. Heri fokus pada penjualan dan pemasaran di Trusmi, terutama untuk membuka pasar dari luar negeri.

Dari dagang online, reseller-reseller pun bermunculan yang sejauh ini memberikan pendapatan hingga 10 persen dari total pendapatan usahanya. Pendapatan sempat melonjak ketika pemerintah menjadi motor penggerak pemakaian batik di seluruh Indonesia.

Acara-acara lokal, nasional, maupun internasional kerap menggunakan batik. Event-event yang tidak ada hubungannya dengan aktivitas pemerintahan pun, kata Heri, sering kali menggunakan batik, sehingga penjualan produk batik menjadi tinggi.

 

Belakangan ini, Heri mengakui gebyar kegiatan nasional yang menjadikan batik sebagai pakaian resmi berkurang. Ia berharap, agar para pemimpin negeri untuk kembali menggelorakan penggunaan batik pada event-event daerah dan nasional, agar semangat publik menggunakan batik terus terjaga.

Heri memproduksi batik tulis, cetak, dan gabungan keduanya. Selain menggarap pasar lokal terutama di Pasar Batik Trusmi, Cirebon, Heri ingin meningkatkan penjualan batiknya ke luar negeri, terutama negara-negara Asia. Sejak 2013 ia pun memasarkan produknya secara online termasuk melalui Facebook dan Instragram.

 

Dia pun menggandeng toko-toko online seperti Lazada dan Bukalapak untuk memasarkan batik-batiknya. Mimpi globalnya pun makin mendekati kenyataan setelah toko online terbesar di dunia, Alibaba, melirik produk-produk Indonesia, termasuk batik.

 

Heri mengatakan, saat ini pihaknya masih dalam proses penyelesaian masuk Alibaba. Modal sebesar Rp 500 juta pun sudah dia siapkan untuk menggandeng toko online milik Jack Mae itu. Heri berharap pada tahun ini juga produk-produk batiknya bisa tampil di Alibaba, seraya berharap akan berdatangan para pembeli dari seluruh dunia.

 

Pemasaran dan penjualan ke luar negeri melalui pihak ketiga pun sudah dilakukan sejak lama. Jepang  dan negara-negara Asia lainnya menjadi tujuan perdagangan. "Sejauh ini para peminat batik datang dari negara-negara Asia. Dari Eropa dan Amerika masih sedikit," kata Heri.

 

Memang, dia menambahkan transaksi penjualan batiknya ke Asia masih terbilang kecil, dalam hitungan ratusan juta rupiah. Dengan bergabung Alibaba, bapak tiga anak ini mengaku optimistis pasar luar negeri produk batiknya akan semakin melebar.

 

Apalagi batik Cirebon memiliki banyak ragam hias atau corak, yang masing-masing memiliki ciri khas sendiri dan menarik. Heri mengungkapkan ada 400-an corak batik Cirebon seperti megamendung, wadasan, singabarong, dan lain-lainnya.

 

Bahan dasar tergantung impor

Setiap usaha ada tantangan-tantangannya. Begitu pun yang dialami para pengusaha batik di seluruh Indonesia. Hampir 90 persen dari semua kebutuhan bahan baku pembuatan batik berasal dari impor. Artinya, usaha lokal belum bisa menyediakan komponen-komponen dasar pembuatan batik, yang berdampak pada keluarnya devisa.

 

Heri menyebut, harus mengeluarkan dolar AS untuk semua transaksi terkait dengan impor bahan baku batik ini. Salah satunya adalah kapas yang harus diimpor dari Cina. "Untuk bahan-bahan pewarna harus dibeli dari Inggris dan India," kata Heri.

 

Untuk tekstil tidak terlalu dirisaukan para pengusaha karena di Pekalongan ada pabrik tekstil besar.  Beban impor ini yang menjadi persoalan, mengingat seharusnya di dalam negeri bisa tersedia semua kebutuhan pembuatan batik. Heri meminta pemerintah untuk dorong pengusaha lokal membangun pabrik komponen dan bahan baku batik tersebut.

 

Tantangan lain, terkait dengan sebutan batik yang menjadi sangat umum pada saat ini. Semua produk batik impor dari Cina, menurut dia, tidak pantas disebut batik karena prosesnya tidak ada lilin dan canting. Definisi batik itu harus melibatkan lilin dan canting dalam proses pembuatannya, tidak hanya dicetak seperti yang diimpor dari Cina.

ed: Ichsan Emrald Alamsyah

 

Data Kreatipreuner

Nama: Heri Kismo Rusima

Nama usaha : Batik Hafiyan

Alamat : Jl.Trusmi Kulon No.187A Plered Cirebon

No Kontak : 0231-325379

Web: www.batikhafiyan.com

Instagram: Batik Hafiyan

FB: Batik Hafiyan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement