Senin 29 Sep 2014 12:00 WIB

Bertani Mandiri dengan Konsep Tekno-Ekologis

Red:

Belasan peternak kambing di Desa Busungbiu, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleleng, Bali, boleh disebut sebagai perintis konsep pertanian tekno-ekologis. Kini, ratusan peternak ikut menerapkannya dengan memelihara lebih dari 1.300 ekor kambing. Yang lebih fantastis, Pemerintah Provinsi Bali merepro program itu dan menerapkannya di lebih 500 desa. Konsep itu kini dinamai Simantri, atau singkatan dari Sistem Pertanian Terintegrasi.

Menurut penanggung jawab program itu, Suprio Guntoro, konsep pertanian tekno-ekologis dikembangkan oleh Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) Kementerian Pertanian. Instansi yang berkantor di Denpasar, Bali, itu menaungi kegiatan pertanian tekno-ekologis melalui kegiatan Program Rintisan Akselerasi Pemasyarakatan Teknologi Pertanian (Prima Tani) pada 1999.

Ketika Prima Tani digagas, Indonesia kebanjiran kopi impor. Di antaranya berasal dari Vietnam. Akibatnya, harga kopi lokal pun jadi anjlok, dari sekitar Rp 12 ribu menjadi hanya Rp 3.500 per kilogram.

Petani kopi di Bali yang perkebunannya cukup luas pun ikut terkena dampak. Bahkan, sempat ada keinginan mereka untuk menerabas pohon kopi. Untungnya, hal itu tidak sampai terjadi. Suprio mengatakan, jika terjadi, Bali akan menghadapi masalah baru, yakni hilangnya kawasan resapan air di lereng gunung.

Perkebunan kopi di Bali mencapai 40 ribu dan terletak di lereng pegunungan, yang di bawahnya berkembang aktivitas pariwisata. Kawasan perkebunan kopi itu, antara lain, berada di Kintamani, Kabupaten Bangli, Baturiti (Tabanan), Petang (Badung), Sukasada dan Busungbiu (Buleleng).

"Kalau tanaman kopi ditebangi lalu diganti dengan tanaman sayur mayur, ini bisa menimbulkan bahaya keringan atau banjir. Kawasan pariwisata yang ada di bawahnya pun akan terkena dampaknya," kata Guntoro.

Dari situ, muncul gagasan bagaimana tetap mempertahankan tanaman dan kawasan kopi, tapi petani tidak jatuh penghasilannya. Lalu lahirlah ide membuat program peternakan terintegrasi yang pendanaannya dibantu oleh Bappeda Provinsi Bali.

Saat gagasan Prima Tani muncul, sejumlah petani di Kecamatan Busungbiu, sudah ada yang berternak kambing. Namun, kambing yang diternakkan jenis lokal dengan harga lepas sapihnya hanya Rp 150 ribu per ekor. Guntoro lalu mengusulkan mengganti kambing lokal dengan bibit kambing etawa, karena keturunannya lebih besar dan menghasilkan susu yang nilai jualnya tinggi.

Pejantan kambing etawa lalu didatangkan dari Pulau Jawa. Guntoro melakukan perkawinan silang melalui inseminasi buatan atau kawin suntik. Untuk mendapatkan  sperma kambing etawa pejantan, dibuat kelamin palsu untuk mengeluarkan sperma pejantannya, lalu diencerkan.

Dengan tehnik ini bukan saja memudahkan proses pembuahan. Namun, juga dari setiap sperma yang dikeluarkan bisa membuahi lebih banyak kambing betina, yakni 60 hingga 70 ekor.

Hasil dari kawin suntik itu, bisa mengangkat penghasilan petani di Busungbiu. Harga kambing lepas sapih hasil perkawinan silang inipun harganya tiga kali lipat dari sebelumnya, yakni Rp 400 ribu per ekor. Kambing hasil kawin silang ini juga memiliki bobot lebih besar sehingga harga jualnya lebih tinggi. ''Susunya juga dijual dalam kemasan susu segar sampai ke Kota Denpasar. Sebagian petani bahkan mengolahnya menjadi sabun susu kambing etawa,'' kata Guntoro.

Perkembangan ini membuat peternak di desa lain kemudian mengikutinya. Tanaman kopi yang tadinya akan ditebang, kini menjadi andalan bagi sumber pakan ternak kambing. Setiap pohon kopi, pasti memiliki tanaman penaung, seperti lamtoro, kaliandra, atau gamal. Tanaman penaung inilah yang diandalkan menjadi sumber pakan hijauan ternak kambing.

Dengan berkembangnya peternakan kambing, para petani mulai diarahkan memanfaatkan kotoran dan kencing kambing untuk menjadi pupuk tanaman kopi. Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Guntoro lantas memikirkn bagaimana melakukan rekayasa, agar kotoran dan kencing kambing bisa digunakan untuk penghijauan.

Ia lalu melakukan rekayasa teknologi dengan mencampurnya dengan rummino bachilus (rumminococus plavivacius bachilus turingiensis). Kotoran dan kencing kambing lalu diubah menjadi zat yang dapat memacu pertumbuhan tanaman pangan. Istimewanya  dan  rumminococus didapat dengan cara mengisolasi air liur sapi bali. Air liur sapi bali diketahui mengandung zat untuk memacu pertumbuhan tanaman pangan.

Bachilus adalah bakteri yang sangat terkenal yang dikembangkan di Israel untuk penghijauan. Bakteri itu digunakan untuk memecah senyawa-senyawa kompleks menjadi unsur hara atau mineral yang siap diserap akar tanaman. "Di samping itu, bachilus juga berfungsi untuk memproteksi tanaman dari bakteri-bakeri patogen atau penyakit. Itu untuk mengolah kotoran ternak,'' kata Guntoro.

Sedangkan kencing kambing diolah dengan menggunakan azoto bacterc, yakni bakteri yang punya kemampuan mengikat nitrogen di udara. Urea dikenal sebagai sumber nitrogen, namun hanya bisa ditangkap dengan menggunakan azoto bacterc. Dengan campuran azoto bacterc, nitrogen pada kencing kambing menjadi lebih tinggi dan bagus untuk pertumbuhan tanaman.

Untuk memacu pertumbuhan ternak kambing, selain memerlukan hijauan, juga diperlukan konsentrat. Dulu masyarakat menggunakan dedak padi. Namun, kini bisa menggunakan kulit kopi. Selama ini, menurutnya, kulit kopi dibuang oleh masyarakat. Tapi sekarang diolah menggunakan jamur aspergillus niger.

Proses fermentasi itu menaikkan protein kulit kopi dari enam persen menjadi 12 persen. Dengan tambahan konsentrat pada makanan ternak kambing sebesar 500-600 gram per hari, Guntoro mengatakan, susu kambing akan jadi lebih banyak. ''Selain untuk menyusui anaknya, masih ada sisa 750 cc susu per ekor per hari, yang bisa dijual petani seharga Rp 25 ribu per liter," kata Guntoro.

Pusat penerapan pertanian Tekno-Ekologis di Kecamatan Busungbiu Buleleng, ini pernah dikunjungi Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, pada 2011. Menurut Gubernur, apa yang diterapkan dalam konsep itu adalah konsep sebenarnya yang harus diterapkan oleh para petani Bali.

Guntoro mengatakan, pertanian tekno-ekologis bukan saja memberikan nilai tambah ekonomi yang besar bagi para petani. Namun, menjadikan petani mandiri dan sedikit demi sedikit bisa menghapuskan ketergantungan mereka kepada dunia luar.  N rep:ahmad baaras ed: andi nur aminah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement