Ahad 26 Jun 2016 16:34 WIB

Gema Asmaul Husna dari Balik Tembok Penjara

Red: Arifin

Alunan merdu kumandang nama- nama Allah atau Asmaul Husna menggema memenuhi aula Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Muara Padang, Sumatra Barat (Sumbar).

Tiga perempuan muda berkerudung khusyuk memimpin rekan-rekannya menggemakan asma Allah. Lantunan puluhan wanita warga binaan berkelindan, berpadu membuat suasana makin syahdu.

Beberapa tampak lancar melantunkan Asmaul Husna, sebagian masih curi-curi pandang ke kertas karena belum hafal.

Puluhan wanita ini adalah warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Muara Padang yang sedang mengikuti pesantren Ramadhan, Sabtu (25/6).

Seakan tidak mau kalah dengan para pelajar tingkat SD hingga SMA di Padang yang juga tengah melaksanakan pesantren Ramadhan, para warga binaan itu serius mengikuti kegiatan yang diselenggarakan pihak lapas bekerja sama dengan pimpinan wilayah `Aisyiyah Sumbar.

"Semua orang pernah berbuat salah, namun selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri dengan bertobat," ucap Pimpinan Wilayah Aisyiyah Sumbar Meiliarni Rusli dalam ceramahnya.

Menyampaikan materi tentang tobat, ia menggugah puluhan warga binaan perempuan tersebut bahwa selalu ada kesempatan memperbaiki hidup. "Saya yakin, tidak ada seorang pun yang ingin berada di penjara. Tapi, jika memang sudah telanjur berbuat salah mari bertekad memperbaiki diri," lanjutnya.

Ia menekankan, belum tentu orang yang berada di luar jeruji besi akan lebih baik di sisi Allah dibandingkan orang yang ada dalam penjara. "Jangan pesimistis menjalani hidup, tidak perlu berkecil hati, kesempatan terbuka bagi siapa saja untuk jadi orang baik," katanya.

Puluhan warga binaan terlihat menggangguk mendengar pemaparan yang disampaikan dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang itu. Memakai pendekatan antara ibu dengan anak, Meiliarni menggugah hati para narapidana dengan lembut dan mengajak untuk bertobat. "Betapa pun besarnya kesalahan seseorang, kalau bertobat Allah akan mengampuni," katanya.

Ia melihat, sebenarnya para warga binaan tersebut berbuat kesalahan di mata hukum karena korban atau akibat kesalahan lingkungan pergaulan yang salah dan tidak ada tuntunan yang jelas.

Menurut dia, para warga binaan juga masyarakat biasa sebagaimana yang lain berhak mendapatkan bimbingan dan tuntunan agar kembali ke jalan yang benar.

Ia menilai, kedepan peran keluarga perlu diperkuat mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam tindak pelanggaran hukum. "Keluarga, masyarakat, sekolah harus bersinergi untuk menekan terjadinya individu-individu melakukan pelanggaran hukum," katanya.

Selain menggelar pesantren Ramadhan, Aisyiyah Sumbar juga memberikan pelatihan keterampilan kepada warga binaan perempuan, seperti membuat kerajinan dan merajut sebagai bekal ekonomi setelah keluar dari lapas.

Salah seorang warga binaan perempuan, Meli (bukan nama sebenarnya), merasa senang dapat mengkuti pesantren Ramadhan. Ia mengatakan, kegiatan di dalam lapas justru makin semarak saat Ramadhan.

"Pada bulan Ramadhan setelah makan sahur kami shalat Subuh berjamaah, pukul 09.00 WIB mengikuti pesantren hingga siang," katanya.

Usai pesantren, para warga binaan beristirahat atau melakukan aktivitas lain hingga waktu berbuka tiba. Malam harinya, mereka melaksanakan shalat Tarawih yang dilanjutkan dengan tadarus.

Memasuki tahun ketiga menghuni penjara Muaro, ia mengaku mulai bisa berdamai dengan keadaan. Saat Lebaran tiba, di saat umat Islam bersukacita merayakan Idul Fitri, Meli dan para warga binaan lainnya hanya bisa menahan kesedihan dari balik jeruji besi "Saya tak kuasa menahan tangis mendengar suara takbir. Orang lain bisa berkumpul dengan keluarga tercinta, kami terkungkung dalam penjara menjalani sisa hukuman," ucap perempuan yang divonis penjara lima tahun itu.

Sementara, salah seorang warga binaan lainnya, Idrianis, sejak pagi telah menyiapkan baju kurung bermotif hitam kecokelatan berbalut jilbab kuning. "Ada hal-hal yang selama ini tidak saya dapatkan. Setelah mengikuti pesantren, jadi lebih banyak tahu soal ajaran agama," katanya.

Ia mulai menyadari dan dapat menerima kenyataan mengapa harus berada di penjara sebagai jalan hidup yang harus dijalani. Terpidana korupsi yang dihukum lima tahun 11 bulan itu mengaku, semangat hidupnya bangkit dengan siraman rohani yang disampaikan penceramah. Oleh Hafidz Muftisany, antara

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement