Senin 02 May 2016 14:00 WIB

Sumbangsih Muslimah dalam Peradaban Islam

Red:

Peradaban Islam pada masa lampau tak bisa dilepaskan dari peranan dan sumbangsih kaum Muslimah. Hebatnya, tokoh-tokoh wanita Muslim itu tak hanya memberikan kontribusi pada bidang tertentu, tapi beragam bidang.

Ada yang aktif melestarikan hadis dan ilmu fikih, mengembangkan sastra Islam, serta membangun lembaga pendidikan. Bahkan, sejumlah studi dan penelitian membuktikan, perempuan dalam konteks sejarah perkembangan peradaban Islam ternyata aktif mengembangkan ilmu pengetahuan alam, teknologi, ilmu kedokteran, dan farmasi.

Adalah Sutaita al-Mahamali, salah satu Muslimah yang mencatatkan diri dalam sejarah perkembangan peradaban Islam. Ia adalah pakar matematika.

Sutaita hidup pada paruh kedua abad ke-10. Ia berasal dari keluarga berpendidikan di Baghdad. Kemahiran Sutaita dalam bidang matematika tak bisa dilepaskan dari peranan sang ayah, Abu Abdallah al-Hussein.

Selain dibimbing ayahnya, Sutaita juga menimba ilmu matematika dari beberapa ahli matematika pada masa itu, di antaranya Abu Hamza bin Qasim, Omar bin Abdul Aziz al-Hashimi, Ismail bin al-Abbas al-Warraq, dan Abdul Alghafir bin Salamah al-Homsi.

Dari sejumlah cabang ilmu matematika, Sutaita menunjukkan keahlian dalam bidang aritmatika.  Aritmatika merupakan cabang ilmu matematika yang mengkaji bilangan bulat positif melalui penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian serta implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa itu, aritmatika menjadi cabang matematika yang berkembang cukup baik.

Selain ahli aritmatika, Sutaita berhasil memecahkan solusi sistem persamaan dalam matematika. Catatannya tentang sistem persamaan pun banyak dikutip oleh para matematikawan lainnya.

Kepiawaiannya dalam matematika membuat Sutaita dipuji oleh para sejarawan kala itu, seperti Ibnu al-Jauzi, Ibnu al-Khatib Baghdadi, dan Ibnu Katsir. Sutaita tutup usia pada 987 M.

Selain Sutaita al-Mahamali, Muslimah lain yang perannya tercatat dalam sejarah perkembangan peradaban Islam adalah al-Ijlia. Dialah wanita yang berkontribusi dalam membuat dan mengembangkan instrumen astronomi yang disebut astrolabe.

Dengan astrolabe, seseorang dapat mengamati dan memprediksi posisi matahari, bulan, planet, bintang, serta letak bujur dan lintang. Pada peradaban klasik Islam, astrolabe dapat membantu seseorang untuk mengetahui waktu shalat dan arah kiblat.

Al-Ijlia mengembangkan astrolabe ketika dia bekerja di Istana Sayf al-Dawla di Aleppo, Suriah, antara 944-967 M. Kemahirannya membuat instrumen astronomi merupakan bakat yang diturunkan oleh sang ayah yang juga menekuni bidang tersebut.

Sayangnya, keterangan detail tentang al-Ijlia, seperti kapan dia lahir atau kepada siapa dan di mana dia belajar membuat astrolabe belum diketahui secara pasti. Yang jelas, al-Ijlia adalah satu-satunya perempuan yang tercatat dalam sejarah peradaban Islam klasik yang telah mengembangkan instrumen astronomi, yakni astrolabe.

Sejarah peradaban Islam juga mencatat nama Fatima al-Fehri. Siapa dia? Dialah yang membangun Masjid Qarawiyyin di Kota Fez, Maroko, pada 859 M. Masjid tersebut ia bangun menggunakan uang yang diwariskan sang ayah, Mohammed al-Fehri.

Selain dimanfaatkan untuk beribadah, Fatima pun menjadikan masjid ini sebagai lembaga pendidikan umat. Tanpa disangka, lembaga pendidikan yang dirintis Fatima menjadi tujuan belajar para pelajar dari seluruh dunia. Sebagian besar dari mereka tertarik mempelajari studi Islam, astronomi, bahasa, dan matematika.

Saat ini, Masjid Qarawiyyin masih berdiri kokoh dan menjadi salah satu masjid tertua di dunia. Lembaga pendidikan yang dirintis Fatima di masjid ini berabad silam pun disebut-sebut sebagai universitas pertama di dunia.

Karena hal itulah, Fatima tercatat sebagai tokoh perempuan yang memberi sumbangsih cukup signifikan dalam peradaban Islam pada masa silam. Berkat inisiatif dan tindakannya, ia telah berkontribusi memajukan pendidikan dan kebudayaan Islam.

Tata pemerintahan

Dalam bidang tata pemerintahan, sejarah peradaban Islam mencatatkan nama Dhaifa Khatun. Ia lahir di Aleppo, Suriah, pada 1186 M. Daifa merupakan anak dari Raja al-Adel yang berkerabat dengan Salah al-Din Al-Ayyubi dan Raja al-Kamel.

Lahir dari golongan bangsawan, Daifa pun menikah dengan Raja al-Zahir bin Salah al-Din, lalu menjadi ratu. Ia sempat memimpin Aleppo selama enam tahun.

Selama menjadi ratu, Daifa banyak meluncurkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Ia menghapus ketidakadilan, termasuk pajak-pajak yang sangat membebani masyarakat kecil di Aleppo. Tak hanya itu, ia pun mendirikan banyak lembaga amal untuk membantu perekonomian masyarakat miskin atau dhuafa. Tak heran bila Daifa sangat dicintai rakyatnya, terutama mereka yang berasal dari golongan miskin.

Selain kiprah politik dan sosialnya, Daifa pun disanjung karena perhatiannya yang besar dalam bidang pendidikan. Ia membangun dua sekolah, yakni al-Firdaus yang terletak di dekat Bab al-Makam di Aleppo dan Khankah yang berlokasi di Mahalat al-Frafera.

Al-Firdaus dikhususkan untuk pelajar yang ingin mendalami studi Islam dan hukum-hukum Islam, terutama yang bersumber dari Imam Syafii. Sedangkan Khankah, khusus untuk ilmu syariat dan bidang-bidang lainnya.

Dalam bidang keperawatan, peradaban Islam juga memiliki sederet nama tokoh perempuan. Satu yang cukup terkenal adalah Rufaida binti Saad al-Islamiah. Dialah perawat pertama dalam sejarah Islam.

Hidup pada masa Nabi Muhammad SAW, Rufaida kerap merawat korban terluka dan sekarat akibat perang. Pada Perang Badar, ia selalu meminta para prajurit yang ikut bertempur bersama Nabi Muhammad SAW untuk mengangkut korban luka ke tenda yang telah didirikan. Di dalam tenda, Rufaida pun merawat dan mengobati mereka dengan keahlian medisnya.

Sebagian besar pengetahuan Rufaida tentang dunia medis didapatkan dari ayahnya, Saad al-Islami, yang juga seorang dokter. Pengalamannya merawat para korban di tengah medan perang membuat ilmunya makin bertambah dan makin matang.

Ketika peperangan berakhir, Rufaida mengabdikan diri dengan merawat orang sakit, termasuk anak-anak yatim, cacat, dan miskin. Ia pun tak segan membagi ilmu dan wawasannya kepada perempuan-perempuan lain di masanya yang ingin belajar dan mendalami dunia medis atau keperawatan.

Selain Rufaida, sejarah Islam juga mencatat dua tokoh Muslimah lain yang menggeluti bidang medis. Mereka adalah al-Ahifa binti Abdullah dan Nusaiba binti Harits al-Ansari. Sejarah mencatat, mereka pernah merawat Rasulullah SAW ketika menderita luka-luka akibat peperangan.  c23 ed: Wachidah Handasah

***

Mereka Pun Membangun Infrastruktur

Meski terlahir sebagai wanita, tak menghalangi mereka untuk berkiprah di dunia yang biasanya digeluti kaum pria, yakni infrastruktur.

Adalah Zubaida binti Jafar al-Mansur salah satu wanita Muslim yang berkontribusi signifikan dalam bidang ini. Ia adalah istri dari Khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid.

Sebagai istri khalifah pada masa puncak kejayaan Abbasiyah, Zubaida dikenal sebagai perempuan yang bergelimang kemewahan. Bahkan, beberapa sejarawan Islam mengungkapkan, Zubaida kerap kesulitan berjalan akibat beban perhiasan yang melekat di tubuhnya, utamanya pada beragam acara

Meski bergelimang kemewahan, Zubaida adalah wanita yang sangat dermawan dan berbudi luhur. Ia tak segan menyumbangkan hartanya untuk membangun infrastuktur demi kemaslahatan rakyatnya. Salah satu jasa terbesarnya adalah ketika merintis dan merampungkan proyek pembangunan saluran air dari Baghdad hingga Tanah Suci Makkah.

Saluran air yang membentang ribuan kilometer tersebut merupakan upaya Zubaida untuk membantu rakyat yang hendak melaksanakan ibadah haji ke Makkah. Kala itu, ia prihatin menyaksikan rakyatnya kehausan ketika melakukan perjalanan ke Makkah untuk beribadah haji karena langkanya sumber air.

Dengan dana jutaan dinar, proyek saluran air pun berhasil dirampungkan. Sejak saat itu, tak ada lagi rakyatnya yang khawatir kekurangan air bersih ketika melakukan perjalanan dari Baghdad ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Zubaida juga membangun jalan sepanjang 1.500 kilometer yang terbentang dari Kufah di selatan Baghdad menuju Makkah. Di sepanjang jalan tersebut, ia membangun sumur-sumur air dan menara api untuk memberi penerangan ketika malam tiba.

Dalam bidang kepemimpinan, sejarah peradaban Islam mencatatkan sejumlah nama tokoh perempuan yang sukses melaksanakan tugas ini. Salah satunya adalah Syajarat al-Durr.

Ia merupakan penguasa Kairo, Mesir, pada 1250 M. Meski seorang perempuan, Syajarat cerdik dalam menyusun siasat peperangan menghadapi musuh-musuh.

Dialah tokoh sentral yang berperan memenangkan Mesir ketika Perang Salib ketujuh pecah pada 1249-1250 M. Bahkan, kala itu, Syajarat berhasil menangkap Raja Louis IX yang terjun dalam peperangan tersebut.

Kemampuan dan jasa Syajarat sebagai pemimpin pun diakui oleh para sejarawan Islam. Namun, ia tak cukup lama menikmati masa-masa itu. Sebab, pada 1257 M, ia meninggal dunia.

Dari paparan di atas terbukti bahwa majunya peradaban Islam pada masa silam bukan hanya sumbangsih kaum pria. Kaum wanita Muslim itu memberikan kontribusi yang tidak kecil.

Kendati demikian, studi tentang peran dan kontribusi perempuan Muslim dalam membangun peradaban Islam tak begitu banyak ditemukan. Hal ini karena minimnya data atau arsip yang menerangkan dan merisalahkan sejarah tersebut.  c23 ed: Wachidah Handasah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement