Kamis 10 Mar 2016 15:00 WIB

Indonesia, Negara Demokrasi yang Religius

Red:

JAKARTA--Indonesia merupakan negara yang berdiri dengan napas keagamaan. Umat dari enam agama yang hidup di dalamnya dijamin dapat melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.

''Posisi agama yang begitu penting bagi masyarakat membuat Indonesia menjadi negara yang sangat religius,'' kata Asisten Profesor Studi Global di Universitas Boston, Amerika Serikat (AS), Jeremy Menchik, dalam diskusi di Maarif Institute, Senin (7/3).

Dibandingkan negara-negara demokrasi lainnya di dunia, menurut dia, Indonesia jauh lebih religius. Berdasarkan data yang ia miliki, persentase masyarakat Indonesia yang menganggap posisi agama sangat penting mencapai 98,8 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan masyarakat AS dengan 71,6 persen dan India mencapai 80,7 persen.

Persentase masyarakat Indonesia yang menganggap tempat ibadah dapat memberi jawaban persoalan sosial juga cukup tinggi, yakni 70 persen. Persentase itu, kata Jeremy, menjadi yang tertinggi dibandingkan negara demokrasi lain, seperti AS dengan 41,4 persen dan India 27,7 persen.

Sementara, jumlah masyarakat Indonesia yang sering menghadiri acara-acara keagamaan mencapai 64,5 persen (setidaknya sekali sepekan). Persentase itu juga merupakan yang tertinggi dibandingkan AS yang mencapai 34,5 persen dan India sebanyak 41,7 persen.

Jeremy juga menilai, Indonesia merupakan negara yang sangat menjaga toleransi. Kemampuan dalam bertoleransi itulah, menurutnya, yang membuat Indonesia mampu menerapkan demokrasi.

"Indonesia bukan yang terbaik, melainkan demokrasi jelas berhasil di Indonesia," ujarnya.

Ormas-ormas Islam yang jumlahnya banyak di Indonesia juga dinilai berperan besar dalam menjaga toleransi dan pelaksanaan demokrasi. Hal itu, menurut Jeremy, karena ormas-ormas besar, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, senantiasa menjunjung tinggi demokrasi. Mereka meyakini bahwa demokrasi memberikan keadilan dan persamaan derajat.

''Demokrasi yang diterapkan di Indonesia saya rasa lebih berhasil dibandingkan demokrasi di AS saat ini,'' katanya.

Hal itu terlihat jelas dari Islamofobia yang melanda hampir seluruh penjuru AS dengan jumlah kasus mencapai 3.000-4.000 per tahun. Pada saat yang sama, kata Jeremy, kasus-kasus intoleransi juga terus terjadi di AS, seperti ujaran kebencian dengan jumlah kasus mencapai 6.000 per tahun.

Pada forum yang sama, Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq mengatakan, keragaman komunikasi membuat toleransi semakin mudah dikembangkan. ''Semakin heterogen komunikasi, semakin toleran seseorang, semakin homogen komunikasi, semakin sempit pandangan sosial seseorang," kata Fajar.

Media sosial, menurutnya, telah menjadi fenomena dalam dunia modern. Namun, media sosial juga menyuguhkan tantangan berat dalam perkembangan toleransi. Media sosial membuat banyak orang lebih cepat menangkap dan memercayai sebuah pemberitaan. Padahal, pemberitaan yang ada belum tentu memiliki kebenaran.

Karena itu, menurut dia, penting untuk memberikan edukasi kepada para pengguna media sosial bahwa pemberitaan yang tersebar atau disebarkan tidak selalu merupakan fakta. Bahkan, acap kali pemberitaan yang beredar di media sosial memicu atau meningkatkan konflik.

Ia mencontohkan, kasus rasial yang terjadi di Inggris dan disebabkan oleh sebuah pesan dari Blackberry Messenger (BBM) menjadi peringatan tegas akan pentingnya mengelola isu yang berkembang di media sosial.

''Sikap kritis dalam menanggapi isu-isu yang beredar di media sosial menjadi salah satu langkah tepat untuk kontrol diri.''  c25, ed: Wachidah Handasah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement