Sabtu 10 Oct 2015 19:17 WIB

'Musim Semi ' di Al Hada

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH--Saya sudah menyimpan keinginan mengunjungi Taif, kota di bagian timur Makkah, Arab Saudi, sebelum menjejakkan kaki di Tanah Suci. Ada banyak cerita soal Taif.

Beberapa teman saya yang tumbuh dengan cerita Nabi Muhammad SAW mengenal Taif sebagai tempat hijrah pertama. Tahun ke-10 setelah kenabiannya, Rasulullah SAW berangkat ke Taif untuk mensyiarkan agama Islam. Beliau berharap mendapatkan perlindungan dan dukungan. Namun, harapannya meleset. Penduduk Taif justru melempari Rasulullah dengan batu.

Seorang teman yang vegetarian me ngenal Taif karena mawarnya. Menu rut dia, mawar dari Taif sangat terkenal. Bahkan, banyak perusahaan pewangi yang menggunakan sari pati mawar dari Taif. Dia pun mengingatkan saya untuk membeli air mawar dari Taif.

Ada juga yang menyebut Taif sebagai penyangga Kota Makkah. Penyangga karena Taif menyuplai sayur, buah, dan madu ke Makkah. Saya memang tidak sempat masuk ke Kota Taif.

Namun, saya bersama teman-teman dari Media Center Haji (MCH) Daerah Kerja Makkah berke sempatan `menyelinap' ke Al Hada, wilayah kecil di Taif, Arab Saudi, pada Senin (5/10).

Al Hada menjadi penghubung antara Makkah dan Taif yang berjarak 70 kilometer. Al Hada yang berada di ketinggian 1.800 dpl memang menjadikan Taif seperti anomali di Arab Saudi. Jika Madinah, Jeddah, dan Makkah sangat panas, tidak demikian di Al Hada. Matahari bersinar terang di atas Al Hada, tapi anginnya berembus dengan lembut dan sejuk.

Kami berangkat bakda Zuhur pada Senin lalu. Mobil yang dikendarai oleh Saifullah melaju kencang di jalan di sisi timur Makkah. Pegunungan berbatu gelap di kejauahan menjadi pemandangan utama sepanjang perjalanan menjauh dari Makkah.

Sejak checkpointmenuju Al Hada, keindahan sudah terlihat. Perlahan- lahan, warna pegunungan batu itu berubah dari gelap menjadi cokelat tua, kemudian cokelat muda. Warna- warna hijau juga terlihat di pegunungan batu tersebut.

Mobil melintas di jalan yang berkelok-kelok seperti ular yang sedang meliuk, berpindah dari satu lereng pegunungan ke lereng yang lain. Jalan itu mengingatkan kami pada jalan di wilayah Puncak, Bogor, Jawa Barat.

Hanya saja, tidak ada vila di sekitar lereng. Jalan berada persis di bibir tebing. Dari jalan yang meliuk-liuk itu, hanya ada satu bangunan di bagian atas pegunungan. Dari bangunan berwarna cokelat itu, kami bisa melihat skyliftatau kereta gantung menuruni lereng di pegunungan Al Hada.

Semakin naik, ukuran matahari semakin terlihat besar. Sinar matahari membuat batu-batuan yang berada di pinggir jalan seperti siluet. Kami juga memutuskan membuka kaca jendela mobil lebar-lebar untuk menikmati udara sejuk menuju Al Hada. Mobil terus naik. Saya tidak ingat berapa persisnya kelokan yang kami lintasi hingga mobil memasuki kelokan terakhir. Di kelokan ini, tepatnya di seberang kiri jalan menuju Al Hada, kami bisa melihat mobil-mobil berhenti untuk memberi makan kepada monyet-monyet. Beberapa meter dari tebing tempat monyet- monyet itu makan, mulai terlihat pedagang jagung. Tidak lama, kami melihat jajaran pedagang buah- buahan dan bunga di sisi kiri jalan.

Dari seberang jajaran pedagang ini, tampak papan petunjuk jalan ke Rumah Sakit Militer Al Hada. Setelah sempat berhenti, mobil kembali melaju melewati satu checkpoint masuk ke wilayah Al Hada. Jalan sudah tidak lagi menanjak dan berkelok. Terlihat jalan lurus dan mulus dengan tanaman-tanaman hijau di sisi kanan-kiri dan jalur tengah. Kami berhenti untuk menikmati secangkir teh daun mint setelah melewati masjid untuk miqat warga Taif, yaitu Wadi Mihram. Berdasarkan cerita, tempat miqat ini didirikan di lokasi Nabi Muhammad SAW ketika mendapat perlindungan di sebuah kebun anggur.

Perjalanan dilanjutkan dengan kembali ke jajaran pedagang buah. Ada delima Taif yang perlu dibeli. Penampilan delima khas Taif memang tidak meyakinkan. Kulitnya berwarna hijau, buahnya tidak terlalu merah, tapi rasanya sangat manis dan banyak air. Kami memutuskan membeli dua boks delima Taif. Harga per boks yaitu 40 riyal.

Pedagang mengklaim, setiap boks itu berisi 3,5 kilogram delima. Setelah puas menghirup udara di Al Hada, kami pun memutuskan turun. Apalagi, kabut mulai menghalangi pandangan. Warna matahari juga tidak lagi terang benderang, tetapi berubah jingga. Posisi matahari juga semakin turun. Kian lama, matahari semakin menghilang dari pandangan mengingatkan saya bahwa semua perjalanan akan menemui akhir.

Oleh Ratna Puspita

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement